Internasional

PM Boris Johnson Disebut Buat Malu Inggris, Kok Bisa?

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
14 September 2020 16:17
Britain's Prime Minister Boris Johnson reacts during a speech on domestic priorities at the Science and Industry Museum in Manchester, Britain July 27, 2019. Rui Vieira/Pool via REUTERS
Foto: PM Inggris Boris Johnson (Rui Vieira/Pool via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia -Perpolitikan Inggris kini panas. Bahkan sang perdana menteri dituding hendak merusak reputasi negara itu.

Mantan Jaksa Agung Inggris, Geoffrey Cox, bahkan menyebut Perdana Menteri Boris Johnson mempermalukan negara karena berniat memberlakukan RUU Pasar Internal Inggris (UKIM).

Sebab, langkah Johnson itu dianggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap kesepakatan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan bisa membuat negara terkena sanksi dari UE.

"Tidak diragukan lagi implikasi yang tidak menyenangkan dari Perjanjian Penarikan (Brexit) diketahui ketika PM menandatanganinya," tulis Cox di Times, sebagaimana dilaporkan BBC, Senin (14/9/2020).

"Kami, pemerintah Inggris dan Parlemen, telah memberikan janji kami. Kehormatan kami, kredibilitas kami, harga diri kami, dan pengaruh masa depan kami di dunia semuanya bergantung pada kami menjaga janji itu."


Cox merupakan pendukung Brexit dan menjadi penasihat hukum utama pemerintah ketika Perjanjian Penarikan Inggris dari Uni Eropa dibuat.

Cox lebih lanjut mengatakan bahwa ada cara yang sah bagi pemerintah untuk menangani keprihatinannya, seperti menggunakan prosedur yang diatur dalam perjanjian untuk mengambil tindakan "sementara dan proporsional" untuk melindungi kepentingan Inggris jika disetujui oleh House of Commons.

"Apa yang tidak boleh dilakukan oleh para menteri, betapapun terprovokasi atau frustrasi yang mungkin mereka rasakan, adalah mengambil atau menggunakan kekuasaan secara permanen dan sepihak untuk menulis ulang bagian dari kesepakatan yang dengan bebas dimasuki negara ini beberapa bulan yang lalu," tambahnya.

Menurut Institute for Government, RUU Pasar Internal Inggris merupakan aturan yang dibuat untuk memastikan tidak ada hambatan baru untuk perdagangan bisnis di seluruh Inggris Raya setelah Brexit. Menurut laporan, RUU itu bergantung pada prinsip saling mengakui dan non-diskriminasi.

Pemerintah Inggris berpendapat bahwa RUU ini akan diperlukan untuk mendukung berfungsinya pasar internal Inggris setelah akhir masa transisi, tetapi pemerintah Skotlandia dan Welsh menentang pendekatan ini.

Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk mengelola setiap kemungkinan hambatan baru untuk perdagangan melalui kerangka kerja umum yang disepakati bersama di bidang kebijakan tertentu.

Pemerintah juga telah menggunakan RUU ini untuk memberi para menteri wewenang untuk mengubah bagaimana Inggris dapat menerapkan protokol di Irlandia Utara jika tidak dapat mencapai keputusan penting dengan UE.

Padahal sebelumnya protokol antar wilayah sudah disetujui sebagai bagian dari Perjanjian Penarikan. Pemerintah juga telah mengatakan akan menggunakan RUU Keuangan untuk memberi para menteri kekuasaan lebih lanjut terkait dengan protokol Irlandia Utara.

Penentangan terhadap upaya pemberlakuan RUU Pasar Internal Inggris bukan hanya datang dari Cox. Menteri Kehakiman Robert Buckland juga mengatakan tidak setuju dengan RUU tersebut.

Buckland mengatakan kepada BBC bahwa ia yakin apa yang diupayakan para menteri tidak akan pernah dibutuhkan Inggris. Ia juga mengancam akan mengundurkan diri jika Inggris akhirnya melanggar hukum internasional dengan cara yang menurutnya tidak dapat diterima.

Mantan Perdana Menteri Tony Blair dan Sir John Major juga memiliki pandangan yang sama atas isu tersebut.

"Johnson mempermalukan Inggris," kata mereka, yang juga mendesak anggota parlemen untuk menolak upaya memalukan tersebut, sebagaimana tertulis dalam artikel yang dimuat Sunday Times.

"Tindakan pemerintah tidak bertanggung jawab, salah pada prinsipnya dan berbahaya dalam praktiknya." kata mereka.

[Gambas:Video CNBC]


(res/sef) Next Article Panas! Prancis Ngamuk ke Inggris, Ancam Bikin Gelap Gulita

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular