
Warning Deflasi RI: Kalau Lihat Pengalaman Jepang, Ngeri Euy!

Jakarta, CNBC Indonesia - Terletak di kawasan Asia Timur, Jepang merupakan negara yang identik dengan keindahan bunga sakura yang mekar pada Maret. Jepang merupakan dengan etos kerja yang tak diragukan lagi.
Sebagai negara dengan perekonomian sebesar US$ 5 triliun sekaligus terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan China, Jepang ternyata memiliki penyakit yang parah dan kronis. Selain populasi yang terus menua, Jepang mengalami penurunan harga-harga atau yang lebih dikenal sebagai deflasi dalam istilah ekonomi.
Deflasi di Jepang terjadi setelah asset price bubble pecah pada awal 1992. Sejak 1986-1991, harga saham dan properti di Jepang melesat signifikan hingga kejatuhan pun menjadi tak terelakkan. Setelah itu, pertumbuhan ekonomi Jepang melambat signifikan.
Saat melihat ekonomi secara menyeluruh, deflasi menyebabkan penurunan penjualan dan keuntungan perusahaan yang memacu terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan atau penurunan upah.
Konsumen kemudian menahan pengeluaran sebagai depan dari ketidakpastian. Kemudian, persaingan antar perusahaan menjadi lebih ketat, menyebabkan terjadinya perang harga yang justru semakin memperburuk keadaan.
Fenomena penurunan harga yang terjadi terus menerus hingga menjadi penyakit menahun ini disebut juga dengan fenomena downward spiral of deflation. Deflasi berkepanjangan sangat berpengaruh terhadap sentimen konsumen yang berpikir bahwa harga dan upah tak akan naik lagi.
Deflasi membuat nilai riil mata uang meningkat. Konsumen pun menganggap harga akan terus menurun sehingga mereka lebih suka menyimpan uang tunai mereka dan membeli barang dan jasa di kemudian hari.
Para pelaku usaha akan menahan investasi dan akan melakukan berbagai langkah efisiensi di sana sini termasuk melakukan pemotongan gaji. Biasanya, sektor korporasi adalah jaringan peminjam, tetapi, sebagai akibat dari deflasi, di Jepang selama ini tahun 1990-an sektor ini berubah menjadi net saver.
Menurut gubernur bank sentral Jepang (BoJ) Haruhiko Kuroda, Akibat lain dari deflasi yang terus-menerus adalah tingkat bunga riil tetap tinggi. Suku bunga riil merupakan pengurangan suku bunga nominal dari komponen inflasinya. Ini merupakan salah satu indikator ekonomi.
Ketika ekspektasi inflasi berubah menjadi negatif, tingkat bunga riil akan tetap tinggi dibandingkan dengan tingkat nominal, mengurangi produktivitas dan inovasi sekaligus menghambat efektivitas kebijakan moneter.
Bayangkan saja dalam suatu negara, kebanyakan penduduknya lebih suka menabung dan perusahaan lebih suka menaruh uangnya di deposito perbankan daripada melakukan ekspansi. Sementara perbankan lebih suka membeli obligasi pemerintah daripada menyalurkan kredit ke masyarakat.
Jepang selama bertahun-tahun lamanya merasa kesulitan untuk mencapai target inflasi di angka 2% secara stabil. Paradigma deflasi membuat masyarakat Jepang menjadi enggan atau risih dengan istilah inflasi yang mengindikasikan adanya kenaikan harga.
Deflasi pada akhirnya akan menjadi penyakit mengerikan. Parahnya lagi deflasi bisa menyebabkan output perekonomian menyusut. Di tengah situasi pelik akibat pandemi seperti sekarang ini, deflasi juga menjadi cobaan bagi setiap negara tak terkecuali Indonesia.
Lockdown berbulan-bulan yang skalanya masif membuat roda ekonomi seolah berhenti berputar. Mobilitas publik sangatlah terbatas. Kota yang tadinya ramai dengan hiruk pikuk berbagai aktivitas berubah menjadi seolah mati suri.
Pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan ganda bagi perekonomian global baik dari sisi pelemahan permintaan maupun disrupsi rantai pasok. Meskipun tak menerapkan lockdown, PSBB di banyak wilayah di Tanah Air sudah berhasil membuat ekonomi RI menyusut dalam dengan kontraksi sebesar 5,32% (yoy) pada kuartal II.
Soal deflasi, bukan hanya jadi penyakit Jepang saja. Saat ini Indonesia pun mengalami periode deflasi. Deflasi di dalam negeri masih menjadi penyakit akut akibat shock pandemi Covid-19.
Dua bulan beruntun Indonesia mencatatkan deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli sebesar 0,1% (mom) dengan begitu inflasi secara tahunan berada di angka 1,54% (yoy). Kemudian pada Agustus deflasi tercatat sebesar 0,05% (mom) dan inflasi tahunan di angka 1,32% (yoy).
Masalahnya, deflasi kemungkinan masih akan terjadi. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di dalam negeri berdasarkan survei pemantauan harganya (SPH) melihat harga-harga masih mengalami penurunan.
"Penyumbang utama deflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas daging ayam ras sebesar -0,05% (mtm), bawang merah sebesar -0,03% (mtm), cabai merah dan telur ayam ras masing-masing sebesar -0,02% (mtm), serta cabai rawit, jeruk, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (mtm)." tulis BI.
Jika bulan September ini masih terjadi deflasi, maka deflasi genap terjadi tiga bulan berturut-turut atau sepanjang kuartal ketiga tahun 2020. Tipisnya angka inflasi atau malah deflasi bisa terjadi akibat banyak faktor mulai dari pasokan yang terjaga dan ekspektasi inflasi yang terkendali.
Namun inflasi yang rendah atau justru deflasi juga bisa mengindikasikan bahwa ada tekanan dari sisi permintaan juga mengingat output selama masa pandemi juga tak bisa diharapkan. Tekanan demand ini menunjukkan ekonomi RI sedang tidak sehat.
Selama PSBB berlangsung untuk menekan angka kenaikan kasus infeksi Covid-19 dilakukan, banyak pekerja baik di sektor formal maupun informal yang terdampak. Jutaan pekerja harus dirumahkan dan terkena PHK. Imbasnya pendapatan menurun dan daya beli tergerus.
Tekanan terhadap daya beli ini juga bisa diamati dari melambatnya tingkat inflasi inti dalam beberapa bulan belakangan ini. Inflasi inti di bulan Agustus tercatat sudah sangat mendekati angka 2%. Padahal sebelumnya masih berada di angka hampir 3% (yoy).
Salah satu tanda ada masalah dengan daya beli masyarakat RI adalah penjualan ritel yang masih anjlok. BI melaporkan penjualan ritel di bulan Juli masih mengalami kontraksi 12,3% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Daya beli yang tergerus jelas menjadi mimpi buruk bagi RI. Pasalnya lebih dari 55% pos pembentuk output perekonomian (PDB) Indonesia disumbang oleh konsumsi domestik. Ketika konsumsi domestik terkontraksi lebih dari 5% (yoy) pada kuartal kedua, pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama juga menyusut 5,3%(yoy).
Jika pada kuartal ketiga deflasi terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin kontraksi konsumsi rumah tangga masih terjadi dan pertumbuhan ekonomi bisa minus lagi. Kalau kuartal tiga minus lagi. Indonesia sah jatuh ke dalam jurang resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada, Deflasi di Indonesia Itu Sebenarnya Ngeri!