Pengembang Resah Lapor Transaksi Rp 500 Juta, Ini Sebabnya

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
07 September 2020 14:17
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.
Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.
Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.
Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Aturan wajib lapor oleh penyelenggara jasa keuangan atau penjual terhadap transaksi di atas Rp 500 juta meresahkan pelaku usaha pengembang properti.

Ketentuan yang sudah diatur sejak 10 tahun lalu melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, belakangan menjadi beban tersendiri bagi pengembang.

Di tengah pandemi covid-19 yang membuat penjualan properti terpukul, ketentuan tersebut justru jadi makin menghambat kondisi bisnis properti. Banyak konsumen berpikir ulang untuk membeli properti, padahal saat pandemi saat ini belanja konsumen sangat dibutuhkan.

Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida selama ini pengembang harus menanyakan asal-usul dana calon pembelinya. Jika tidak bisa menyebutkan, maka pengembang wajib untuk membatalkan transaksi. Bahkan bila pengembang lengah dan transaksi lolos tanpa mengikuti aturan tersebut, maka ada harga mahal yang harus dibayar.

"Kalau nggak, pengembang yang kena pidana," kata Totok kepada CNBC Indonesia, Senin (7/9)

Ia sudah meminta para anggotanya tetap mengikuti aturan yang ada, yakni yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pasal 23 ayat 1, dimana selain penyampaian laporan transaksi Rp 500 juta atau mata uang asing yang nilainya setara, juga pengawasan terhadap transaksi keuangan mencurigakan. Artinya, uang yang dijadikan sebagai alat transaksi bakal dicek, tujuannya untuk menghindari penggunaan uang 'haram' atau hasil pencucian uang.

"Kita tetap minta diisi form mengenai calon end user. Sebetulnya uang haram itu jarang, (tapi) uang yang belum dilaporkan yang banyak. Maksudnya uang di luar negeri atau di bawah bantal yang banyak kan itu," sebutnya.

Dengan adanya aturan ini, maka masyarakat maupun pengusaha diarahkan agar taat pajak dengan melaporkannya secara langsung.

"Banyak yang belum ikut tax amnesty kemarin. Uang ini bisa buat kegiatan ekonomi, mikro, riil. Tolong lah kita sama-sama membantu kalau mereka itu bisa melakukan transaksi, kegiatan ekonomi menjadi bagus. Kita ambil contoh, kita membeli properti, begitu pengembang validasi, itu kan langsung masuk di online kantor pajak. Apa itu salah? nggak, benar. Ayo kita perbaiki sama-sama apa yang terjadi di masyarakat," sebutnya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengembang Gerah Transaksi Properti Rp 500 Juta Harus Lapor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular