
Harga Minyak Diramal US$ 40/barel, RI Untung Atau Buntung?

Namun di sisi lain ambrolnya harga minyak juga membawa konsekuensi negatif bagi industri migas dalam negeri. Harga minyak yang anjlok tentu berpengaruh terhadap berbagai aktivitas eksplorasi, eksploitasi hingga investasi di sektor migas RI.
SKK Migas melaporkan hingga semester I 2020, produksi minyak sebesar 720,2 ribu barel minyak per hari (bpd). Untuk realisasi lifting minyak sebesar 713,3 ribu bpd, atau 94,5% dari target 755 ribu bpd.
SKK Migas memangkas target produksi siap jual atau lifting minyak pada 2020 senilai 50 ribu barel per hari (bpd). Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan target pada 2020 kini sebesar 705 ribu bopd. Angka tersebut turun dari target awal yakni 755 ribu bpd.
Investasi di sektor hulu migas pun terganggu. Hingga Mei 2020, investasi hulu migas sudah terealisasi US$ 3,93 miliar. Investasi yang awalnya ditargetkan mencapai US$ 13,8 miliar diperkirakan paling maksimal di angka US$ 11,8 miliar tahun ini.
Penurunan aktivitas eksplorasi, eksploitasi hingga investasi terutama di sektor hulu migas RI tentu sangat mengkhawatirkan karena kaitannya dengan topik ketahanan energi nasional.
Harga minyak yang anjlok tentu akan membuat investor dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan mulai mempertimbangkan portofolio investasinya. Di saat pandemi terjadi duo raksasa migas internasional yakni Shell dan Chevron justru berencana hengkang dari proyek strategis nasional yakni Blok Masela dan Indonesia Deepwater Development (IDD).
Selain faktor return yang diperhitungkan investor, kepastian dan payung hukum yang jelas juga menjadi faktor pertimbangan bagi investor. Memberikan kepastian hukum adalah pekerjaan rumah besar bagi Indonesia lantaran investor merasa bahwa masalah regulasi di Indonesia masih jadi penghambat dalam berinvestasi.
Di sisi lain, anjloknya harga minyak juga berpengaruh terhadap APBN. Analisis sensitivitas asumsi makro APBN 2020 menyebutkan, setiap penurunan ICP rata-rata US$ 1/barel setahun akan menurunkan pendapatan negara dalam kisaran Rp 3,6-4,2 triliun. Artinya, dengan ICP yang anjlok drastis seperti sekarang ini bakal membuat APBN juga terbebani.
Untuk prospek tahun depan, secara rinci, asumsi lifting minyak 2021 diusulkan pada kisaran 677-737 ribu bpd. Penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi dalam nota keuangan RAPBN 2021 ditargetkan mencapai Rp 72,44 triliun. Tahun 2020 di Rp 53,29 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]