
Harga Minyak Diramal US$ 40/barel, RI Untung Atau Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi periode yang berat untuk industri perminyakan global maupun Tanah Air. Turunnya harga minyak akibat permintaan yang anjlok membawa dampak positif maupun negatif bagi Indonesia.
Konsensus yang dihimpun oleh Reuters menyebutkan permintaan minyak global bakal turun tajam tahun ini di kisaran 8-10 juta barel per hari (bpd). Sementara itu, laporan bulanan organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC) Agustus lalu memperkirakan permintaan minyak global anjlok 9,1 juta bpd menjadi 90,6 juta bpd.
Anjloknya permintaan ini membuat para analis memandang bahwa harga minyak mentah akan susah beranjak dari level US$ 40/barel meski pemangkasan output sudah dilakukan oleh OPEC dan koleganya (OPEC+).
Survei yang dilakukan terhadap 43 ekonom oleh Reuters memprediksi rata-rata harga minyak mentah acuan global Brent akan berada di US$ 42,75/barel tahun ini dan untuk outlook minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) US$ 38,83/barel.
Baik ekonom yang disurvei Reuters maupun laporan OPEC sama-sama memperkirakan pasar minyak baru bisa rebound tahun depan seiring dengan membaiknya prospek perekonomian global.
OPEC memperkirakan demand untuk minyak akan bertambah 7 juta bpd menjadi 97,6 juta bpd tahun depan. Survei Reuters juga memperkirakan rata-rata harga minyak Brent akan berada di US$ 50,45 pada 2021.
Lockdown yang masif secara global sempat membuat permintaan minyak ambrol hampir 30% pada bulan Maret dan April. Kala itu, pasar minyak juga diwarnai dengan tensi geopolitik tinggi antara Rusia dan Arab Saudi yang perang harga.
Akibatnya harga minyak ambrol sampai lebih dari 70%, terutama untuk WTI yang kontrak futures-nya sempat ambrol ke teritori negatif US$ 37,63/barel. Harga minyak negatif ini mengindikasikan dua hal, pertama pasokan minyak berlebih sementara permintaan anjlok yang berakibat pada penuhnya tangki penyimpanan.
Dengan penuhnya tangki penyimpanan minyak tersebut, maka akan lebih murah ongkosnya untuk memberikan pelanggan kompensasi agar mau menerima pasokan minyak tersebut lantaran kapasitas penyimpanan sudah full.
Kondisi global ini juga berpengaruh terhadap harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan Indonesian Crude Price (ICP). Meski tidak lockdown, RI juga menerapkan pembatasan mobilitas publik yang dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB membuat permintaan terhadap minyak dan BBM Tanah Air juga menurun. ICP sempat drop ke US$ 20,66/barel dari Januari di US$ 65,38/barel. Kini ICP berangsur membaik dengan ICP Juni mencapai US$ 36,68 (+42%). Kemudian pada Juli naik lagi ke US$ 40,64/barel.
Di satu sisi penurunan harga minyak membawa dampak positif bagi RI, terutama untuk neraca dagang serta transaksi berjalan RI yang membukukan penurunan defisit.
Pada kuartal kedua CAD membaik menjadi US$ -2,8 miliar atau -1,2% PDB. Penguatan rupiah disertai dengan penurunan volume impor dan harga minyak jadi salah satu faktor pemicu membaiknya CAD RI.
Impor minyak bulan Juni naik 2,98% (mom) jadi US$ 0,68 miliar dan melesat di bulan Juli sebesar 45% (mom) menjadi US$ 0,96 miliar. Namun secara year on year impor minyak Juli masih terkontraksi 45,19%. Pada 7 bulan pertama tahun ini impor migas turun 32,5% (yoy).
Namun di sisi lain ambrolnya harga minyak juga membawa konsekuensi negatif bagi industri migas dalam negeri. Harga minyak yang anjlok tentu berpengaruh terhadap berbagai aktivitas eksplorasi, eksploitasi hingga investasi di sektor migas RI.
SKK Migas melaporkan hingga semester I 2020, produksi minyak sebesar 720,2 ribu barel minyak per hari (bpd). Untuk realisasi lifting minyak sebesar 713,3 ribu bpd, atau 94,5% dari target 755 ribu bpd.
SKK Migas memangkas target produksi siap jual atau lifting minyak pada 2020 senilai 50 ribu barel per hari (bpd). Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan target pada 2020 kini sebesar 705 ribu bopd. Angka tersebut turun dari target awal yakni 755 ribu bpd.
Investasi di sektor hulu migas pun terganggu. Hingga Mei 2020, investasi hulu migas sudah terealisasi US$ 3,93 miliar. Investasi yang awalnya ditargetkan mencapai US$ 13,8 miliar diperkirakan paling maksimal di angka US$ 11,8 miliar tahun ini.
Penurunan aktivitas eksplorasi, eksploitasi hingga investasi terutama di sektor hulu migas RI tentu sangat mengkhawatirkan karena kaitannya dengan topik ketahanan energi nasional.
Harga minyak yang anjlok tentu akan membuat investor dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan mulai mempertimbangkan portofolio investasinya. Di saat pandemi terjadi duo raksasa migas internasional yakni Shell dan Chevron justru berencana hengkang dari proyek strategis nasional yakni Blok Masela dan Indonesia Deepwater Development (IDD).
Selain faktor return yang diperhitungkan investor, kepastian dan payung hukum yang jelas juga menjadi faktor pertimbangan bagi investor. Memberikan kepastian hukum adalah pekerjaan rumah besar bagi Indonesia lantaran investor merasa bahwa masalah regulasi di Indonesia masih jadi penghambat dalam berinvestasi.
Di sisi lain, anjloknya harga minyak juga berpengaruh terhadap APBN. Analisis sensitivitas asumsi makro APBN 2020 menyebutkan, setiap penurunan ICP rata-rata US$ 1/barel setahun akan menurunkan pendapatan negara dalam kisaran Rp 3,6-4,2 triliun. Artinya, dengan ICP yang anjlok drastis seperti sekarang ini bakal membuat APBN juga terbebani.
Untuk prospek tahun depan, secara rinci, asumsi lifting minyak 2021 diusulkan pada kisaran 677-737 ribu bpd. Penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi dalam nota keuangan RAPBN 2021 ditargetkan mencapai Rp 72,44 triliun. Tahun 2020 di Rp 53,29 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengumuman! Harga Minyak Mentah RI Naik Lagi