Defisit APBN 2021 Turun, Apakah Pak Jokowi Mulai Ngerem?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menyampaikan pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Penanganan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih menjadi tema utama kebijakan fiskal tahun depan.
"Rancangan kebijakan APBN 2021 diarahkan untuk pertama mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19; kedua, mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, dan daya saing ekonomi; ketiga, mempercepat transformasi ekonomi menuju era digital; serta keempat, pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi," sebut Jokowi dalam pidato di gedung DPR/MPR, hari ini.
Berikut asumsi makro yang diajukan pemerintah untuk RAPBN 2021:
- Pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5%.
- Inflasi 3%.
- Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) Rp 14.600/US$.
- Suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun 7,29%.
- Harga minyak Indonesia (ICP) US$ 45/barel.
- Lifting minyak 705.000 barel/hari.
- Lifting gas bumi 1,007 juta barel/hari.
Sekilas perkiraan pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5% terlihat 'wah'. Apalagi kalau melihat tahun ini, di mana pada kuartal II-2020 ekonomi nasional terkontraksi (tumbuh negatif) -5,32%.
Namun jangan lupa ada yang namanya efek basis dasar (base effect). Seperti sudah disinggung, ekonomi tahun ini boleh dibilang hancur sehancur-hancurnya akibat wabah virus corona. Jadi saat ekonomi membaik sedikit saja, maka pertumbuhannya menjadi signifikan.
Begitu pula dengan inflasi. Tahun ini, inflasi sangat rendah, bahkan hingga Juli inflasi tahun kalender belum menyentuh 1%. So saat inflasi menanjak sedikit saja, lajunya menjadi terakselerasi.
Kemudian nilai tukar rupiah. Pada 2020, rupiah bergerak bak roller coaster. Kadang ada tren di mana rupiah mampu menguat berhari-hari, tetapi ada kalanya mata uang Ibu Pertiwi amblas dalam waktu yang relatif panjang.
Namun kalau melihat rata-rata kurs sepanjang 2020 hingga hari ini, nilainya adalah Rp 14.744,88/US$. Artinya, tahun depan ada peluang rupiah menguat meski tidak bisa terlalu banyak.
Sementara rata-rata imbal hasil (yield) SBN 10 tahun diperkirakan 7,29% pada 2021. Dibandingkan dengan rata-rata 2020 sampai hari ini yang sebesar 7,33%.
Penurunan yield menandakan harga SBN bergerak naik. Artinya, situasi pasar keuangan pada 2021 diperkirakan relatif membaik pada 2021. Mungkin ini pula yang mendasari proyeksi rupiah bisa sedikit menguat tahun depan.
Lalu kita masuk ke postur anggaran. RAPBN 2021 diperkirakan bakal mencatatkan defisit fiskal Rp 971,2 triliun atau 5,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih rendah dibandingkan rencana tahun ini yaitu Rp 1.039,2 triliun (6,34% PDB).
"Defisit anggaran tahun 2021 akan dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman, dan dikelola secara hati-hati. Pembiayaan utang dilaksanakan secara responsif mendukung kebijakan countercyclical dan akselerasi pemulihan sosial ekonomi. Pengelolaan utang yang hati-hati selalu dijaga pemerintah secara konsisten. Pembiayaan defisit RAPBN tahun 2021 akan dilakukan melalui kerja sama dengan otoritas moneter, dengan tetap menjaga prinsip disiplin fiskal dan disiplin kebijakan moneter, serta menjaga integritas, kredibilitas, dan kepercayaan pasar surat berharga pemerintah," papar Jokowi.
Sebagian besar defisit akan dibiayai oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan SBN neto 2021 direncanakan Rp 1.172,4 triliun. Sementara utang non pasar netto adalah negatif Rp 29,9 triliun. Artinya pemerintah lebih banyak membayar ketimbang menarik utang baru.
Penerimaan negara pada 2021 diperkirakan sebesar Rp 1.776,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 1.481,9 triliun (83,42%) datang dari setoran perpajakan.
"Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan dan menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial. Selain itu, penerapan omnibus law perpajakan dan pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat 15 pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19, serta memacu transformasi ekonomi. Di sisi cukai, akan dilakukan pengembangan sistem pengawasan cukai terintegrasi, serta ekstensifikasi cukai untuk mengendalikan eksternalitas negatif," terang Jokowi.
Sedangkan total belanja negara direncanakan Rp 2.747,5 triliun yang terdiri dari Rp 1.951,3 belanja pemerintah pusat dan Rp 796,3 triliun Transfer ke Daerah dan Dana Desa. "Berbagai kebijakan belanja negara secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong tercapainya sasaran pembangunan pada tahun 2021, yakni tingkat 11 pengangguran 7,7-9,1%, tingkat kemiskinan di kisaran 9,2-9,7%, dengan menekankan pada penurunan kelompok kemiskinan ekstrem, tingkat ketimpangan di kisaran 0,377-0,379, serta indeks pembangunan kualitas manusia (IPM) di kisaran 72,78-72,95," sebut Jokowi.
![]() |
Dengan melihat defisit anggaran yang turun, apakah bisa disimpulkan kalau RAPBN 2021 kurang ekspansif dibandingkan tahun ini?
Tidak. Sebab penurunan defisit terjadi akibat peningkatan penerimaan negara sementara belanja juga naik.
Tahun ini, penerimaan negara diperkirakan Rp 1.699,9 triliun dan pada 2021 diperkirakan Rp 1.776,4 triliun. Ada kenaikan 4,5%.
Sementara belanja negara 2021 diperkirakan Rp 2.747.5 triliun, tahun ini adalah Rp 2.739,2 triliun. Terjadi pertumbuhan 0,3%.
Pertumbuhan penerimaan lebih tinggi ketimbang belanja sehingga defisit anggaran bisa ditekan. Jadi tahun sepertinya sepertinya pemerintahan Presiden Jokowi belum akan menginjak pedal rem, masih gaspol demi menekan dampak pandemi virus corona.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Gelontorkan Anggaran Rp 75 T untuk Tenaga Medis