
Malaysia Resesi, Rekor Terburuk Sejak 1998

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Malaysia sedang menderita. Bahkan, capaian kontraksi di kuartal II ini merupakan rekor kinerja terburuk Malaysia.
Itu juga merupakan penurunan kuartalan pertama sejak kuartal ketiga 2009, saat krisis keuangan global terjadi. "Ini juga penurunan paling tajam sejak triwulan keempat tahun 1998," kata bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia, ditulis Bloomberg, Jumat (14/8/2020).
Gubernur bank sentral Malaysia, Nor Shamsiah Yunus mengatakan ekonomi Malaysia di basis tahunan (YoY) mencatatkan kontraksi 17,1% di kuartal II 2020. Hal ini disebabkan oleh langkah penguncian (lockdown) besar-besaran yang diterapkan negara untuk membendung penyebaran wabah virus corona (Covid-19).
Pariwisata, manufaktur dan investasi termasuk di antara sektor-sektor utama yang terkena imbas lockdown. "Ekonomi pada bulan April merasakan dampak besar dari perintah pergerakan yang diberlakukan untuk membendung penyebaran Covid-19, dan kemudian mengalami sejumlah pemulihan pada bulan Mei dan Juni," katanya.
Malaysia sangat terpengaruh jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. "Karena beberapa faktor, yang meliputi tingkat penanganan, tingkat kepatuhan terhadap langkah-langkah pencegahan dan kepentingan relatif sektor pariwisata terhadap perekonomian," kata perempuan itu lagi.
Di basis kuartalan (QtQ), ekonomi tercatat -16,5%. Di kuartal I, ekonomi -2%. Dengan begitu Malaysia bisa disebut tengah memasuki resesi teknikal. Resesi diartikan menurunnya aktivitas ekonomi dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Angka terbaru juga jauh lebih buruk daripada perkiraan rata-rata 11 ekonom dalam jajak pendapat Reuters yang memproyeksikan kontraksi sebesar 10%. Kesebelas ekonom tersebut memiliki kisaran proyeksi kontraksi antara -5,6% hingga -13,6%.
Sementara dalam survei Bloomberg, ekonomi diperkirakan akan berkontraksi -10,1%.
Bank Negara Malaysia memproyeksikan ekonomi di 2020 ada di -3,5% sampai 5,5%. Ekonomi akan rebound di 2021, di mana ada pertumbuhan 5,5% hingga 8,0%.
Sebelumnya Malaysia mulai menerapkan penguncian nasional pada 18 Maret. Pada saat lockdown, perbatasan negara ditutup dan orang-orang tidak diizinkan keluar-masuk negara dengan bebas.
Ekonomi terbesar ketiga di Asia Tenggara ini melonggarkan aturan pada 4 Mei untuk meredakan dampak ekonomi. Namun, langkah-langkah pembatasan utama seperti pertemuan massal dan perjalanan antarnegara masih berlangsung hingga 9 Juni.
Dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi pada Mei, Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mengatakan Malaysia kehilangan sekitar 2,4 miliar ringgit (US$ 558,4 juta) setiap hari sejak penguncian atau "perintah kontrol gerakan" diberlakukan.
Dia mengatakan bahwa total kerugian hingga 1 Mei diperkirakan sekitar 63 miliar ringgit, dan negara berisiko kehilangan US$ 8,14 miliar jika penguncian diperpanjang satu bulan lagi.
Kekacauan di ekonomi Malaysia sendiri terjadi karena negara yang sangat bergantung pada perdagangan internasional ini mengalami tekanan dari melemahnya perdagangan luar negeri, harga minyak mentah yang rendah dan dampak buruk pandemi terhadap pariwisata, penerbangan, dan manufaktur.
Penguncian juga mengakibatkan penghematan di kalangan masyarakat dan pemotongan gaji bagi hampir setengah dari kelas pekerja, sehingga melemahkan daya beli dan permintaan domestik. Di bulan Juni, tingkat pengangguran mencapai 4,9%.
(res)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Corona Merajalela, Bank Sentral Malaysia Pangkas Suku Bunga?
