RI Ternyata "Langganan" Resesi Teknikal 5 Tahun Terakhir

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
07 August 2020 21:07
Infografis: Gawat 5 Negara Besar Berisiko Terkena Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal II-2020 akibat krisis pandemi, yakni sebesar -5,32% (tahunan) dan -4,19% (kuartalan). Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia belum resesi. Benarkah?

Definisi resesi ekonomi memang tidak pernah bulat. Belum pernah ada kesepakatan tunggal mengenai cara mendeskripskan sebuah kontraksi ekonomi-kondisi di mana Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat minus-bisa serta-merta disebut sebagai 'resesi'.

Sampai saat ini definisi resesi yang umum dipakai, adalah kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Definisi demikian dinisbatkan kepada Komisioner Biro Statistik Tenaga Kerja AS Julius Shiskin, yang menjabat dari 1973-1978, meski tak sepenuhnya akurat.

Pada tahun 1974, dalam kolom "Economic Analysis" di koran The New York Times Profesor Ekonomi & Statistik Rutgerts University ini menulis ada tiga hal yang harus dipenuhi jika ingin menentukan situasi kontraksi ekonomi sebagai resesi atau tidak.

Belakangan, yang populer menjadi patokan hanyalah faktor ketiga (penurunan PDB 2 kuartal). Itupun tak memperhitungkan pasar tenaga kerja sebagaimana digariskan oleh Shiskin. Jika bisa bersuara dari alam kubur, dia tentu bakal berlepas tangan dari definisi demikian.

Namun demikian, definisi itu dipakai untuk meningkatkan kesadaran publik ketika terjadi kontraksi ekonomi. Istilah resesi menjadi momok bagi politisi yang bisa menggerus elektabilitas mereka di depan konstituen, sehingga mereka menampiknya.

Misalnya, Presiden AS Richard Nixon dalam pidato nota keuangan 1974 menyatakan "tidak akan ada resesi di AS". Namun NBER pada tahun yang sama mengumumkan bahwa resesi sudah terjadi pada 1969-1970. Popularitas Nixon pudar dan dia mundur akibat skandal Watergate.

Oleh karena itulah, istilah resesi di meda massa ditambahi dengan embel-embel 'teknikal' untuk memberikan early warning tanpa mendahului pengumuman NBER. Definisi yang dipakai masih sama, yakni kontraksi dua kuartal berturut-turut.

Ada yang cenderung memakai basis kuartalan, tapi ada juga yang memakai basis tahunan. AS, misalnya memilih perhitungan kontraksi tahunan, karena mereka menyetahunkan (annualized) kontraksi kuartalan sehingga kurang mencerminkan kondisi riil.

Yang pasti, tidak ada lembaga yang bisa memastikan bahwa resesi "sedang terjadi". Biro Nasional Riset Ekonomi AS (National Bureau of Economic Research/ NBER) tidak pernah secara formal mengumumkan ekonomi AS "sedang" resesi, karena mereka perlu setahun untuk mengukur semua indikator ekonomi dan menentukan resesi-tidaknya sebuah periode.

Definisi populer resesi (yang berbasis kontraksi dua kali secara kuartalan) dipegang berbagai media global seperti misalnya CNBC International dan BBC. Keduanya menilai Korea Selatan mengalami resesi teknikal pada kuartal kedua, berbasis perhitungan kontraksi kuartalan.

Padahal, kondisi Korsel sama seperti Indonesia, yakni mengalami kontraksi PDB dua kali secara kuartalan, tapi secara tahunan baru mengalami kontraksi sekali pada kuartal kedua. AS juga bernasib sama dengan terkontraksi beruntun hanya secara kuartalan.

Jika mengacu pada definisi tersebut, maka negeri ini menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia telah mengalami resesi teknikal sebanyak tujuh kali terhitung sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang. Satu resesi teknikal terjadi pada era 1997, dan enam lainnya terjadi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Uniknya, kontraksi dua kuartal berturut-turut di era Jokowi tersebut selalu terjadi pada pergantian tahun, yakni pada kuartal IV di tahun pertama dan di kuartal I tahun selanjutnya. Belum ada penjelasan resmi mengenai fenomena ini.

PERIODE

(%)

Dec-97

-2.06

Mar-98

-8.52

Jun-98

-8.75

Dec-14

-2.07

Mar-15

-0.16

Dec-15

-1.73

Mar-16

-0.36

Dec-16

-1.81

Mar-17

-0.30

Dec-17

-1.70

Mar-18

-0.41

Dec-18

-1.69

Mar-19

-0.52

Dec-19

-1.74

Mar-20

-2.41

Jun-20

-4.19

Sumber: CEIC

Mengacu pada tren belanja pemerintah, kuartal satu selalu jadi masa paceklik karena pencairan anggaran yang lambat. Hanya saja, konsumsi pemerintah selama ini hanya menyumbang 8-10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga dampaknya tak signifikan terhadap kontraksi.

Konsumsi rumah tangga yang selama ini menyumbang separuh lebih PDB nasional cenderung melemah akibat kenaikan beberapa biaya pokok. Misalnya kenaikan harga BBM subsidi pada akhir 2015 yang efeknya awet hingga awal 2016. Lalu, ada kenaikan tarif dasar listrik untuk pelanggan daya di atas 900 watt pada akhir 2016 dan awal 2017.

Selain itu, harga komoditas dunia juga cenderung menurun pada beberapa periode pergantian tahun. Misalnya pada kuartal IV-2018, di mana harga minyak sawit dunia di bursa Malaysia turun menjadi US$ 513 per ton, dari poisi kuartal sebelumnya di level US$ 525 per ton.

Tren serupa terjadi pada kuartal IV 2017 di mana harga sawit dunia turun ke US$ 616 per ton, dari posisi kuartal sebelumnya US$ 638 per ton. Mengacu pada data BPS, sektor agrikultur selama 5 tahun terakhir memang menyumbang 13%-14% PDB, atau di posisi kedua setelah manufaktur yang menyumbang 20% PDB.

Kali ini, di tengah pandemi, untuk pertama kali sejak krisis 1997 Indonesia mencatatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi kuartalan selama tiga triwulan berurutan. Ini tentu menjadi catatan penting bagi pemerintah agar mengambil kebijakan lebih sigap untuk mengatasi itu.

Jadi, Bu Sri Mulyani ada benarnya ketika mengatakan Indonesia belum resesi. Namun, jangan sampai resesi teknikal berujung pada resesi beneran, karena penyerapan tenaga kerja ambruk sembilan bulan lebih dan sektor mayoritas sektor industri tak mampu menyerap tenaga kerja.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular