Biang Keladi RI Terjerumus ke Resesi: PSBB

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 August 2020 12:38
rupiah, bi
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)

Kuartal II-2020 memang titik nadir, kerak neraka cobaan akibat pandemi virus corona. Sejatinya bukan virusnya yang membuat ekonomi 'tiarap', tetapi cara penanganannya.

"Setiap negara mengutamakan aspek kesehatan untuk mencegah pandemi dengan lockdown (karantina wilayah), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan sebagainya. Di sisi lain pemerintah juga berupaya agar denyut ekonomi tetap berjalan. Menjaga keseimbangan ini bukan persoalan gampang dan kita lihat banyak negara yang pada triwulan II-2020 ini mengalami kontraksi," jelas Kecuk.

PSBB adalah cara yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam mempersempit ruang gerak virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut, yang tetuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020. Dalam pasal 4 ayat (1), PP tersebut mengamanatkan:

  1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
  2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
  3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Praktis selama April dan Mei aktivitas masyarakat sangat terbatas. Bekerja, belajar, dan beribadah #dirumahaja.

Kebetulan pada kuartal II-2020 ada momentum yang semestinya menjadi puncak konsumsi masyarakat yaitu Ramadan-Idul Fitri. Namun karena PSBB, puasa-lebaran tahun ini jadi terasa sangat berbeda. Tidak ada peningkatan aktivitas yang berarti. Kalau boleh dibilang, hambar...

Minimnya kegiatan masyarakat menimbulkan tekanan bagi dunia usaha, baik dari sisi pasokan (supply) maupun permintaan (demand). Pasokan bahan baku dan barang modal terhambat karena pembatasan mobilitas, sedangkan permintaan berkurang drastis karena orang-orang banyak menghabiskan waktu dengan rebahan di rumah. Tidak ada yang nge-mal, ngopi-ngopi cantik, karaoke, nonton bioskop, berburu foto instagramable di lokasi wisata eksotis, dan sebagainya.

Akibatnya, dunia usaha harus melakukan efisiensi demi bertahan hidup. Salah satunya dengan memangkas jumlah pegawai. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun terjadi.

"Sejalan dengan penurunan keyakinan terhadap penghasilan dan pembelian barang tahan lama, optimisme konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja juga semakin menurun. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, per 27 Mei 2020 jumlah tenaga kerja yang terdampak pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019), baik dirumahkan maupun terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), adalah sekitar 1,75 juta orang," sebut laporan Bank Indonesia (BI).

Para korban PHK tentu mengurangi konsumsi, karena dana yang ada kudu dihemat. Maklum, esok hari masih belum pasti.

Sementara yang belum jadi korban PHK juga menyiapkan diri andai (amit-amit) jadi korban selanjutnya. Persiapan itu dilakukan dengan meningkatkan tabungan dan investasi serta mengerem konsumsi.

Konsumsi dan daya beli rakyat yang bermasalah ini tercermin dalam data inflasi. Hingga Juli, inflasi tahun kalender (year-to-date) 2020 belum menyentuh 1%, tepatnya di 0,98%. Pergerakan harga barang dan jasa yang woles ini menunjukkan ekonomi sedang lesu, tidak dinamis, akibat minimnya permintaan.

Ini yang membuat konsumsi rumah tangga negatif sampai lebih dari -5%. Dengan kontribusi konsumsi yang lebih dari 50% dalam pembentukan PDB, wajar kemudian ekonomi secara keseluruhan jadi anjlok.

Ini baru dari sisi konsumsi rumah tangga. Masalahnya, ketika negara-negara lain menerapkan kebijakan yang sama, bahkan lebih ekstrem dengan lockdown, maka ekspor dan investasi juga ikut anjlok.

Nilai ekspor Indonesia sepanjang semester I-2020 tercatat US$ 76,41 miliar, turun 549% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Sementara investasi asing di sektor riil (Penanaman Modal Asing/PMA) turun 8,1%.

Tiga mesin penggerak ekonomi (konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi) sudah mogok. Oleh karena itu, sangat wajar jika kue ekonomi Indonesia menyusut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular