
Bauran Energi RI Minim, Perlu Pajaki BBM Puluhan Persen?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah meyakini target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025 bakal tercapai. Kendati demikian, masih banyak tantangan yang harus diatasi demi tercapainya target tersebut.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral F.X Sutijastoto mengatakan, potensi EBT untuk sektor kelistrikan di tanah air begitu besar, yaitu 440.000 megawatt (MW). Namun demikian, utilisasi EBT baru mencapai 10.400 MW atau sekitar 2,4%.
Sutijastoto bahkan menyinggung betapa Indonesia terlena dengan energi fosil. Situasi berbeda dengan negara-negara di Eropa yang mana mereka mengambil langkah drastis dalam mengembangkan EBT, yaitu memajaki BBM.
"Jadi masih cukup kecil. Memang perjalanan cukup panjang kita dulu terlena dengan (energi) fosil. Kalau dicermati di negara Eropa, BBM dipajaki sampai bahkan 50% hingga 60% dalam rangka apa? Mendorong EBT yang tersedia di negara-negara tersebut sehingga EBT berkembang pesat di Eropa," kata Sutijastoto dalam dialog dengan CNBC Indonesia bertema "RI Siap 'Say Goodbye' ke Energi Fosil?" pada Senin (03/08/2020).
Kendati demikian, Ia bilang perkembangan EBT di Indonesia tergolong positif dalam empat tahun belakangan. Ada tambahan meski hanya 500 MW. Untuk mencapai bauran energi 23% di 2025 perlu ada tambahan 9.000 MW hingga 10.000 MW.
"Jika penambahan hanya 500 MW, tanpa ada upaya untuk mendorong lebih lagi, maka hanya akan terjadi penambahan sebesar 2.500 MW di 2025. Ada gap yang sangat signifikan dan perlu digenjot 3-4 kali lipat dari kondisi saat ini," ujar Sutijastoto.
Ia pun menyebut kendala pengembangan EBT untuk sektor ketenagalistrikan berkaitan dengan harga listrik. Harga listrik yang diproduksi dengan EBT masih mengacu biaya pokok penyediaan (BPP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017 yang mengganti Permen ESDM No. 12/2017. Sebelumnya Permen ESDM Nomor 50/2017 diubah untuk kedua kalinya melalui Permen ESDM No. 4/2020.
Karena masih menggunakan permen, Sutijastoto menyebut kontrak-kontrak baru menjadi sangat terbatas. Sehingga Kementerian ESDM mendorong agar peraturan presiden terkait EBT segera disahkan.
"Salah satu dari perpres keterkaitan dengan harga. Kedua dalam mengembangkan EBT ini banyak melibatkan kementerian, lembaga terkait. Misalnya Kemenkeu (Kementerian Keuangan) insentif, Kementerian Perindustrian kaitannya dengan industri dalam negeri. Jangan sampai dalam mengembangkan EBT kita hanya jadi market, kita menjadi industri juga mendukung di situ," kata Sutijastoto.
Melalui perpres ini, dia meyakini akan ada perbaikan tata kelola, sehingga diharapkan investasi di EBT bisa berkembang sesuai dengan target.
Sebelumnya, Sujiastoto pernah mengungkapkan tujuh ugensi di balik penerbitan perpres EBT.
Pertama, potensi EBT sebesar 442 GW, namun baru bisa terimplementasi sebesar 10,4 GW (2,4%). Realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target RUEN sebesar 23% di tahun 2025.
"Pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum masuk ke skala keekonomian, seperti PLTS sehingga harganya masih tinggi," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, (28/07/2020).
Kedua, Pengembangan EBT menciptakan nilai-nilai ekonomi baru. Ketiga, perpres harga EBT memberikan nett benefit yang positif.
Keempat, harga pembelian tenaga listrik dari PLT EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar. Kelima, belum ada kontrak/PPA pembangkit Independent Power Producer (IPP) yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017.
Keenam, perlunya dukungan berbagai kementerian dalam mengoptimalkan pemanfaatan EBT. Dan terakhir, perlunya instrumen kebijakan untuk mensinergikan dan mensinkronkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah dari kementerian lembaga terkait guna mendukung EBT.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article EBT Mau Gantikan Batu Bara, Tapi Kapasitasnya Masih Segini!
