Parah! Makin Banyak yang Resesi, Kali Ini Giliran Zona Euro

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
31 July 2020 19:30
A 20 and 50 Euro bank note are seen in front of a cash drawer with Swiss francs in Bern January 16, 2015. REUTERS/Thomas Hodel
Foto: euro (REUTERS/Thomas Hodel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Daftar negara yang jatuh ke jurang resesi semakin banyak. Kali ini Zone Euro harus mengalami nasib apes dengan kontraksi pada output paling parah yang pernah tercatat. 

Berdasarkan data pembacaan awal PDB kuartal kedua tahun 2020, Zone Euro mengalami kontraksi sebesar 12,1% jika menggunakan angka PDB kuartalan sebagai basis perhitungan. 

Resesi Zona Euro sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Maklum negara-negara dengan perekonomian terbesar di Benua Biru menerapkan lockdown yang masif dan ketat saat wabah yang disebabkan oleh virus corona jenis baru merebak di kawasan tersebut pada Maret lalu. 

Negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Italia dan Spanyol sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Eropa mulai membatasi mobilitas publik pada akhir Maret. Relaksasi lockdown mulai dilakukan di bulan Mei. 

Sehingga wajar saja jika negara-negara tersebut juga mengalami resesi. Pada pembacaan awal kuartal II-2020 ekonomi Negeri Panser menyusut 10,1%, Perancis tumbuh di angka minus 13,8%, kontraksi Italia tercatat mencapai 12,4% dan Spanyol yang paling parah dengan penurunan output mencapai 18,5%.

Secara keseluruhan ini menjadi kontraksi yang paling dalam bagi Zona Euro sejak 1995. Jika ditinjau lebih luas lagi ke Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara, pertumbuhan PDB tercatat anjlok 11,9%.

Untuk memulihkan ekonomi dari resesi yang dalam para pemimpin Uni Eropa telah menyetujui dana pemulihan 750 miliar euro yang didukung oleh pinjaman bersama untuk mendukung perekonomian mulai tahun 2021. 

Pinjaman tersebut kemudian dialokasikan untuk menjaga sektor bisnis tetap tahan serta meredam kenaikan pengangguran yang signifikan.

Dari sisi moneter, bank sentral Eropa (ECB) juga menggelontorkan stimulus dengan pelonggaran kuantitatif yang disebut dengan Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP) melalui pembelian aset-aset keuangan senilai 1,35 triliun euro.

Meskipun begitu, periode pemulihan ekonomi untuk kembali ke level pra-krisis masih penuh dengan ketidakpastian mengingat belum tersedianya vaksin sehingga ada ancaman gelombang kedua hingga tensi geopolitik antara AS-China dan AS-Uni Eropa sendiri. 

Analis memperkirakan periode pemulihan akan berjalan cukup lama, setidaknya hingga 2022 atau bahkan bisa lebih. 

Fenomena 'great recession' ini telah membuktikan bahwa ekspansi ekonomi selama bertahun-tahun akhirnya lenyap dalam hitungan bulan akibat munculnya musuh tak kasat mata berukuran ultra mikroskopik yang tak pernah diduga sebelumnya. 

"Semua pertumbuhan PDB yang terlihat pada dekade 2010-2019 telah dihapus dalam lima bulan," kata Marc Ostwald, kepala ekonom di ADM Investor Services International, sebagaimana diwartakan oleh Associated Press.


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Deretan Negara yang Terkena & Terancam Resesi pada 2020

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular