
RI Doyan Impor Solar Cell China, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia bagian dari upaya mendukung Energi Baru Terbarukan (EBT) masih banyak persoalan. Salah satunya ketergantungan soal impor solar cell dari negara seperti China.
Padahal, potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 422 GW, namun baru terimplementasikan sebesar 10,4 GW atau 2,4%. Realisasi capaian bauran EBT baru 9,15% dari target Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% di tahun 2025.
Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, FX Sujiastoto mengatakan terdapat gap antara Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN dengan target KEN sebesar 4.000 MW tahun 2025.
Menurutnya pasar EBT di Indonesia masih kecil sehingga belum ekonomis. "Pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum masuk ke skala keekonomian, seperti PLTS sehingga harganya masih tinggi," ungkapnya dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, (28/07/2020).
Ia menyebut perlu usaha keras karena pertumbuhan EBT hanya 500 MW per tahun. Nantinya dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) bakal memunculkan nilai keekonomian baru energi bersih. Sujiastoto menyebut banyak sumber EBT dari dalam negeri.
"Kalau kita cermati perkembangannya dalam 3-4 tahun terakhir perkembangan EBT 500 MW per tahun. Ke depan tanpa effort apa-apa ini dalam lima tahun ke depan tahun 2024 hanya akan nambah 2.500 MW sehingga 2024 hanya 12.800 MW untuk EBT," jelasnya.
Ia mengatakan untuk mencapai 23% setidaknya pada tahun 2024 diperlukan 20.000 MW. Sehingga gap saat ini cukup signifikan. Ia menyebut PLN punya upaya green booster yang bisa menambah 5.000 MW dari RUPTL.
"Sehingga kita bisa mencapai 23.000 MW, sehingga 23% bisa tercapai. Sinergi dengan PLN sehingga ada tambahan lagi 5.000 MW," ucapnya.
Toto sapaan akrabnya menjelaskan jika pasar EBT di Indonesia masih skala kecil. Ia menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pabrikan-pabrikan di Indonesia baru pabrikan solar panel, pun kapasitasnya masih kecil, dan yang paling besar kapasitas 100 MW.
"Pabrikan-pabrikan masih impor 'ketengan' harganya masih cukup tinggi. Di Cina pabrikan-pabrikan kapasitas bisa 1.000 MW," ujarnya.
Kapasitas impor yang masih skala kecil-kecil menjadi mahal dan kurang ekonomis. Sehingga pasar perlu dikembangkan, dengan menciptakan nilai-nilai ekonomi baru energi bersih, menciptakan investasi nasional.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Secanggih Changi, PTBA Bangun PLTS 241 kWp di Bandara Soetta