Sempat Bikin Jengkel Jokowi, Apa Kabar Program DME Batu Bara?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
22 July 2020 14:10
Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sejumlah kesempatan mengutarakan kekesalan lantaran tingginya impor komoditas energi. Salah satunya adalah LPG.

Misalnya saat membuka Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/12/2019) lalu.

"Batu bara bisa disubstitusi menjadi gas sehingga nggak perlu impor LPG. Karena bisa dibuat dari batu bara kita yang melimpah. Kok kita impor?," ujar Jokowi.


Salah satu langkah yang didorong pemerintah adalah mengembangkan Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi LPG. Dalam media briefing, Rabu (22/7/2020), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengungkapkan konsumsi LPG Indonesia masih didominasi impor.

"Konsumsi LPG di 2019 di atas 7 juta ton. Sebanyak 75% penggunaan dalam negeri berasal dari pembelian dari luar negeri. Kalau tergantung impor, kemandirian energi tidak baik dipengaruhi parameter di global," ujar Dadan.

"Kenapa DME bisa menjadi salah satu potensi utama menggantikan LPG? Karena DME memiliki sifat karakteristik fisika dan kimia mirip dengan LPG, bisa dipakai bahan bakar yang sekarang LPG," lanjutnya.



Laiknya program biodiesel B20 dan B30 di mana solar dicampur dengan FAME, hal yang sama dengan pencampuran DME dalam LPG. Di mana saat ini komposisi yang paling ideal dalam pencampurannya adalah 20% DME dan 80% LPG.

"DME bisa dibuat dari gas bumi, dari methanol dikonversi ke DME. Yang di dorong ke depan dari batu bara kelas rendah meski biomassa pun bisa," kata Dadan.

Ia lantas menjelaskan, erdasarkan hasil kajian pemanfaatan campuran DME dengan LPG, masyarakat tidak perlu mengganti jenis kompor yang digunakan. Namun, sekali lagi, komposisi yang digunakan 20% DME dan 80% LPG.

Uji coba dengan DME 20%, menurut Dadan, masih normal di mana api masih menyala dengan biru, nyala stabil, api normal. Uji coba itu juga menunjukkan dalam pengendalian nyala api, namun waktu memasak lebih lama jika dibandingkan menggunakan LPG.

"Memang waktu memasak lebih lama 1,2 kali. Misal masak sayur 30 menit dengan DME 35 menit, masih okelah. Kalau 30 menit jadi 1 jam itu terlalu lama," kata Dadan.

Lebih lanjut, ia mengatakan sudah ada komitmen untuk menjalankan program ini. Menurut Dadan, subsidi DME akan tetap ada, namun diusahakan tidak lebih besar dari subsidi untuk LPG.

"Kita kaji hal seperti itu, dari sisi regulasi dapatkan subsidi sama dengan LPG," ujarnya. "Dalam bayangan kami tahun ini kajian, insentif keluar tahun depan EPC dari sisi teknis kita lihat 3-4 tahunlah," lanjut Dadan.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan Bongkar Muat Batu Bara di Tanjung Priok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular