
Sri Mulyani, Hantu Covid-19, dan Defisit Bengkak 5,2% di 2021

Meski mengupayakan pertumbuhan ekonomi berada dekat 5,5% di 2021, Sri Mulyani tetap menegaskan, Covid-19 masih menjadi faktor yang menghantui dan bisa membuyarkan proyeksi-proyeksi tersebut.
Penentunya adalah, apakah Indonesia bisa menjaga kasus positif menjadi flat (datar) atau menurun. Atau yang lebih meyakinkan lagi adalah, apakah vaksin bisa segera ditemukan dan efektif untuk digunakan. Inilah yang sedang dikebut oleh pemerintah lewat Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang dipimpin oleh Erick Thohir sebagai Ketua Pelaksananya.
Sri Mulyani menegaskan, ketidakpastian ekonomi bisa menurun bila vaksin ditemukan. "Tapi kita tidak tahu kapannya, maka kita punya ketidakpastian di 2021," cetusnya.
Karena ketidakpastian ini, Jokowi meminta Sri Mulyani menaikkan defisit APBN 2021 dari 4,17% menjadi 5,17% dari PDB. Artinya anggaran belanja akan dinaikkan untuk bisa mengendalikan dampak ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19 kepada ekonomi negara.
"Presiden minta defisit dinaikkan, supaya kita punya bantalan tambahan apabila kita tidak tahu kapan dan kecepatannya untuk membuat kasus Covid flat dan menurun, dan percepatan penemuan vaksin serta pembagiannya ke seluruh Indonesia. Jadi kita tambahkan bantalan sebesar 1% dari PDB," demikian penjelasan Sri Mulyani.
Dari mana defisit tersebut akan ditutup?
Sri Mulyani memberikan sedikit bocoran, Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN) akan menjadi andalannya. Tahun depan, Sri Mulyani akan menerbitkan SUN domestik maupun global, konvensional maupun syariah, ritel maupun non ritel.
Kemudian, Bank Indonesia (BI), lanjut Sri Mulyani, akan tetap menjadi stand by buyer alias pembeli siaga dari SUN pemerintah. Selain SUN, utang bilateral ataupun multilateral juga akan jadi alternatif, bila bunga yang ditawarkan rendah.
Dari kebijakan kenaikan defisit ini, Sri Mulyani mewaspadai kenaikan rasio utang terhadap PDB yang bisa mendekati 40%.
[Gambas:Video CNBC]