Pengembang Properti Gerah Masalah Tata Ruang Bikin Pusing

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
23 July 2020 19:47
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.
Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.
Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.
Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Paulus Totok Lusida mengeluhkan masalah yang kerap dihadapi oleh para pengembang di berbagai daerah adalah persoalan tata ruang.

Berubahnya rencana pemerintah daerah di tengah jalan dalam pengembangan kawasan sangat mengganggu strategi yang sudah disiapkan sejak lama. Bahkan persoalan tata ruang ini berpotensi menjadi kawasan konflik.

"Permasalahan tata ruang dan pertanahan adalah permasalahan ketika rencana tata ruang yang berubah setelah izin dikeluarkan. Ini banyak terjadi di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang keluar IMB (Izin Mendirikan Bangunan) tapi tiba-tiba tata ruang berubah," kata Totok dalam diskusi Virtual REI, Kamis (23/07/2020).

Mendapati kasus itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengungkapkan bahwa persoalan itu memang bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat. Dengan menengahi antara pengembang dan pemerintah daerah. Namun, memang membutuhkan waktu yang bisa jadi tidak sebentar.

"Kasus seperti Pak Totok kemukakan dibawa ke kita, kita beri pertimbangan fatwa, itu dimungkinkan keluar fatwa. Tapi itu perlu administrasi, perlu waktu, perlu cek lapangan, konsolidasi dan lain-lain," sebutnya.

Sebelum tata ruang di suatu kawasan keluar, yakni dalam masa proses pembuatan, Sofyan meminta para pengembang untuk aktif memberi masukan. Sehingga, ketika dirasa ada yang tidak sesuai maka bisa kembali ikut berdiskusi. Alhasil, proyek kawasan yang dibuat merupakan hasil partisipasi bersama

"Bahkan nanti saya ingin ajak ke Dirjen Tata Ruang supaya bikin Komite. Nanti ada Komisi Tata Ruang di daerah yang nanti libatkan banyak pihak. Bukan hanya pemerintah tapi juga Universitas dan stakeholder lain sehingga tata ruang cerminkan betul-betul kondisi yang ideal dengan mendengar semua pihak," jelas Sofyan.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perpres Tata Ruang Jabodetabek-Punjur, Atur Soal Reklamasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular