
Perbedaan PHK dan Dirumahkan, Apa Saja yang Membedakan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada kabar baik yang disampaikan Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani kemarin. Rosan mengungkap soal nasib pekerja yang dirumahkan dan pemutusan hubungan kerja (PHK), kini sebagian mulai dipekerjakan lagi.
"Angka Kadin waktu itu pernah sebutkan 6 juta orang yang dirumahkan dan PHK, ini sekarang mereka sudah mulai mempekerjakan kembali," kata Rosan.
Secara umum seorang yang dirumahkan statusnya masih dipekerjakan sebagai karyawan, sedangkan PHK sebaliknya.
Dirumahkan
Sering kali ada kerancuan soal istilah dirumahkan dan PHK. Dalam UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, soal PHK jelas diatur secara definisi maupun hak dan konsekuensinya bagi pekerja. Sedangkan 'dirumahkan' diatur melalui ketentuan di bawahnya antara lain melalui surat menteri.
Misalnya belum lama ini Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah sempat merilis Surat Edaran Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang pencegahan pemutusan hubungan kerja massal.
Ida menegaskan apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
b. Mengurangi shift ;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur ;
d. Mengurangi jam kerja ;
e. Mengurangi hari kerja ;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Bagaimana bila ada pekerja dirumahkan?
Ada perusahaan yang masih memberikan gaji penuh. UU No 13 tahun 2003 memang tak diatur secara jelas soal hak pekerja yang dirumahkan. Pada Pasal 93 ada ketentuan bahwa:
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :
Nah, pada poin f memang sering jadi dasar bagi serikat pekerja untuk meminta upah penuh meski dalam status dirumahkan.
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
Namun, ada juga perusahaan yang melakukan pemotongan upah saat merumahkan pekerjanya. Bahkan ada perusahaan yang menerapkan unpaid leave atau cuti tidak dibayar.
Soal pemotongan gaji diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 78 tahun 2015 tentang pengupahan, diatur khusus soal pemotongan upah.
Pada Pasal 57
Ayat (1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. denda;
b. ganti rugi; dan/atau
c. uang muka Upah, dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Peraturan Kerja Bersama.
Ayat (2) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja/Buruh.
Ayat (3) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap saat dapat ditarik kembali.
Ayat 4) Surat kuasa dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. pembayaran utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau
b. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh, harus dilakukan
berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.
Ayat (6) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan pembayaran Upah kepada Pekerja/Buruh dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh.
Pasal 58 Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.
Persoalan pemotongan gaji ini juga disinggung oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang menerbitkan Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19.
Pada surat itu diperintahkan bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19 sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran (pemotongan gaji) dan cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
PHK
Definisi soal PHK jelas disebut pada Pasal 1 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pada poin ke-25.
"Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha"
Soal hak pekerja saat terjadi PHK diatur pada ada pasal 156 UU No 13 tahun 2003;
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan uang pesangon diatur pada ayat 2 pasal 156.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pabrik Ban Goodyear Bogor Dilanda PHK Massal, Karyawan Ngamuk