
'Hantu' Resesi 'Bayangi' RI, Perluasan BLT Bisa Jadi Solusi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 telah berimbas kepada perekonomian Indonesia. Pada kuartal I-2020, ekonomi RI memangmasih tumbuh 2,97%, sehingga di kuartal II-2020, masih akan selamat dari "hantu" resesi.
Tetapi di kuartal III-2020 tentu ceritanya berbeda. Pada Kamis (16/7/2020) Bank Dunia merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020. Laporan itu diberi judul The Long Road to Recovery.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. Namun, Bank Dunia punya skenario kedua, yaitu ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik atau yang lebih dikenal dengan sebutan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lebih ketat.
"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.
Di hari yang sama dengan rilis laporan tersebut, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memperpanjang PSBB transisi selama 14 hari, akibat penyebaran kasus penyakit virus corona yang masih tinggi. PSSB transisi yang terus diperpanjang tersebut berisiko membuat pemulihan ekonomi Indonesia berjalan lebih lambat dan lama.
Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Eks Menteri Keuangan Chatib Basri mengusulkan adanya perluasan data penerima bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Menurut Chatib, hal itu dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian yang macet akibat pandemi Covid-19.
"Kalau kita lihat ya, sebetulnya satu-satunya bisnis yang berjalan itu adalah government (pemerintah). Karena private sector (sektor swasta) itu praktis tidak melakukan investasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia seperti dikutip Minggu (19/7/2020).
Dikatakan, swasta ogah berinvestasi lantaran tak ada permintaan, akibat turunnya daya beli masyarakat. Kondisi ini yang menjelaskan, bank BUKU IV mencatat penurunan loan to deposit ratio atau rasio dari pinjaman terhadap total deposit.
"Karena orang tidak minta kredit, karena tidak ekspansi usaha, karena memang tidak ada permintaan. Jadi walaupun bunga diturunkan orang tetap nggak pinjam uang dari bank, karena permintaannya tidak ada," kata Chatib.
Dengan begitu, menurut dia, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengembalikan permintaan pasar. Satu-satunya yang punya instrumen dan kemampuan untuk mengembalikan permintaan adalah pemerintah.
"Jadi itu kuncinya. Nah sekarang di antara komponen ekonomi, di antara pelaku ekonomi, siapa yang masih punya uang untuk bisa menggerakkan? satu-satunya jawabannya adalah government. Karena itu kita harus bertumpu kepada stimulus pemerintah," ujar Chatib.
Ucapan Chatib didukung dengan hasil survei SMRC beberapa waktu lalu. Dikatakan mereka yang menginginkan new normal segera dibuka adalah yang berpendapat di bawah Rp 2 juta.
Dia menegaskan bahwa warga miskin tidak punya tabungan, sehingga tak bisa tinggal di rumah. Maka warga tersebut harus pergi kerja, sebab kalau tidak tentu tak akan dapat pendapatan.
"Tapi mereka yang pendapatannya di atas Rp 4 juta atau masuk kelas menengah dia bisa punya pilihan untuk tinggal di rumah atau dia bekerja," ujarnya.
Data ini, menurut Chatib, menunjukkan mereka yang miskin itu ingin new normal segera dilakukan. Dengan begitu, sektor yang paling cepat pulih adalah sektor primer yang berhubungan dengan belanja penduduk kelompok menengah bawah.
"Jadi artinya bagaimana? Kalau kelompok menengah atas itu dikasih uang, dia akan tabung, tetapi kelompok menengah bawah kalau dia dikasih uang dia akan bergerak," kata Chatib.
Karena itu, menurut dia, yang harus dilakukan itu adalah BLT bukan hanya kepada penduduk miskin, tetapi juga kelompok menengah ke bawah. Dia menilai, BLT harus diperluas bukan hanya pada kelompok miskin tetapi juga lower middle income.
"Orang belum mencapai kelas menengah tetapi hampir. Jumlahnya ada 115 juta ya itu mungkin sekitar 30 juta rumah tangga. Kalau setiap rumah tangga dikasih Rp 1 juta per satu bulan itu dibutuhkan Rp 30 triliun, kalau empat bulan seperti program pemerintah itu butuh Rp 120 triliun. Dengan itu kalau diberikan uang itu permintaannya akan naik kalau permintaannya akan naik akan merangsang produksi," ujar Chatib.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Setuju Nggak Kalau 115 Juta Warga RI Dapat BLT Rp 1 Juta?