Di Bawah Bayangan Corona, Kebangkitan Ekonomi RI Masih Lama?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 July 2020 13:25
Kantong Plastik Dilarang, Begini Belanja Tanpa Kantong Plastik. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Kantong Plastik Dilarang, Begini Belanja Tanpa Kantong Plastik. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi tahun yang suram untuk umat manusia dan perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Virus ultra mikroskopik bernama SARS-CoV-2 berhasil membuat dunia berada dalam resesi besar dan tentunya RI dalam bahaya besar. 

Bank Dunia dalam laporan terbarunya Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020 yang berjudul The Long Road to Recovery memperkirakan output ekonomi Indonesia tidak tumbuh tahun ini. Nol persen!

Seperti yang sudah sering disinggung, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) juga merebak di Tanah Air sejak bulan Maret. Di tengah bulan pemerintah mulai membatasi mobilitas publik. 

Namun wabah yang kian merebak, membuat pemerintah menetapkan kebijakan semi-lockdown atau yang lebih dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal April.

Akibatnya konsumsi masyarakat melambat dengan signifikan seiring dengan dikekangnya berbagai aktivitas. Roda perekonomian global yang juga seolah mandek dan dibarengi dengan penurunan harga komoditas membuat investasi mengalami kontraksi. 

Ekonomi Indonesia pun tumbuh 2,97% (yoy) pada kuartal I-2020, menandai pertumbuhan terendah sejak tahun 2001. Padahal di kuartal terakhir tahun lalu, output perekonomian Indonesia masih mampu ekspansi di angka 5% (yoy).

Jika melihat wabah Covid-19 baru merebak sebulan di Tanah Air saja ekonomi sudah sangat tertekan, bagaimana dengan kuartal II ketika PSBB secara masif terjadi di mana-mana?

Jawabannya sudah pasti akan jauh lebih buruk. Output pada kuartal kedua diperkirakan menyusut ke teritori negatif. Jika pada Juni lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan PDB kuartal kedua tumbuh minus 3,8% (yoy), kemarin eks direktur Bank Dunia itu merevisi turun angka pertumbuhan ekonomi RI ke -4,3%. 

Pemerintah pusat dan bank sentral bekerja sama untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kejatuhan yang mengerikan. Kebijakan ultra longgar dan inflasi yang jinak di Tanah Air membuat Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) pada paruh pertama tahun ini. 

Dari sisi fiskal, pemerintah pusat juga menggelontorkan paket stimulus jumbo yang nilainya mencapai Rp 695,2 triliun atau setara dengan 4,3% PDB untuk dialokasikan di sektor kesehatan, membiayai program jaring pengaman sosial, insentif pajak, pemberian kredit lunak hingga talangan untuk BUMN. 

Namun semua usaha tersebut tak serta merta membuat ekonomi Indonesia selamat dari jurang bahaya. Kebijakan moneter yang longgar dan stimulus fiskal besar-besaran tersebut dinilai hanya mampu menjadi bantalan dari shock yang terjadi. 

Pandemi Covid-19 memang ganas, tak ada yang menyangka di tahun ini musuh tak kasat mata mampu membuat ekonomi lumpuh. Rantai pasok global terdisrupsi ditambah permintaan yang melambat menjadi pukulan ganda bagi ekonomi global, termasuk domestik. 

Memasuki bulan Juni, DKI Jakarta menerapkan PSBB masa transisi. Mobilitas mulai terpantau mulai ramai meski belum seperti sebelum pandemi terjadi. Berdasarkan laporan Covid-19 Google Community Mobility Report, mobilitas masyarakat Indonesia di berbagai lokasi sudah mulai teramati.

Hingga 12 Juli lalu, mobilitas masyarakat RI di pusat perbelanjaan tercatat -20% dari baseline. Kendati masih lebih rendah tetapi membaik ketimbang posisi bulan Mei lalu yang berada di angka -40%. 

Mobilitas di taman dan stasiun transit kendaraan umum juga terpantau mulai ramai. Posisi mobilitas masyarakat di taman hingga 12 Juli berada di -16% dibanding akhir Mei yang masih berada di kisaran -40%. 

Sementara itu mobilitas di stasiun transit pada periode yang sama juga membaik ke -36% dari sebelumnya pada Mei lebih dari -40%. Perbaikan mobilitas pada bulan Juli ini seolah membuat prospek ekonomi di kuartal ketiga membaik. 

Jika mengacu pada data ekonomi dari data asosiasi hingga survei yang dilakukan oleh pemerintah, memang tanda-tanda rebound mulai tampak. 

Jika melihat sektor manufaktur yang terdampak terlihat bahwa angka Purchasing Manager's Index (PMI) mengalami perbaikan di bulan Juni, meski masih kontraksi. IHS Markit mencatat angka PMI manufaktur RI bulan lalu berada di 39,1 membaik dari periode sebelunya di angka 28,6.

Sektor ini merupakan penyumbang terbesar PDB RI dengan kontribusi nyaris mencapai 20%. Termasuk ke dalam sektor primer yang menyerap banyak tenaga kerja (labour intensive), perbaikan di sektor manufaktur menjadi kabar yang menggembirakan bagi perekonomian.

Jika dilihat dari kacamata konsumsi, keyakinan konsumen terlihat membaik di bulan Juni. Walaupun masih pesimis terlihat dari angka indeks yang berada di bawah 100. Indonesia merupakan negara dengan populasi yang besar. 

Jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 267 juta jiwa membuat konsumsi domestik adalah tulang punggung perekonomian RI dengan kontribusi mencapai lebih dari setengah PDB.

Membaiknya sentimen konsumen juga terlihat dari data penjualan barang tahan lama seperti kendaraan roda empat (mobil). Data GAIKINDO menunjukkan volume penjualan kendaraan roda empat (wholesale) bulan lalu mencapai 7.452 unit, membaik dari bulan Mei yang tercatat hanya 2.165 unit saja.

Dengan begitu kontraksi penjualan kendaraan roda empat di Tanah Air menjadi berkurang, jika sebelumnya pada Mei kontraksi tercatat mencapai -95,8% kini menjadi -78,8% saja. 

Relaksasi lockdown di banyak negara juga turut mendongkrak permintaan, sehingga aktivitas perdagangan pun berangsur membaik. Hal ini tercermin dalam kenaikan ekspor dan impor Indonesia pada bulan Juni lalu.

Jika melihat sekilas data-data ini maka memang ada harapan ekonomi akan terangkat di kuartal ketiga. Namun kita tetap tak bisa menutup mata jika pandemi Covid-19 di dalam negeri belum lah berakhir.

Setiap harinya gugus tugas penanganan Covid-19 melaporkan tambahan kasus baru. Bukannya menurun, jumlah kasus per harinya justru bertambah dengan signifikan. Kapasitas pengujian yang membaik dibarengi dengan peningkatan mobilitas publik menjadi pemicunya. 

Jumlah kasus baru di Tanah Air per harinya bertambah lebih dari 1.500 orang. Bahkan pekan lalu sempat menyentuh angka lebih dari 2.500 dalam sehari ketika ditemukan klaster baru di SECAPA AD Bandung.

Kasus di dalam negeri masih berfluktuasi cenderung meningkat. Kurva epidemiologi RI masih melengkung ke atas. Puncak wabah masih belum terlihat. Ini menjadi ancaman serius bagi ekonomi RI yang baru sedikit bangkit. 

Jika jumlah kasus terus mencetak rekor dan kian meledak sehingga pembatasan kembali harus dilakukan maka Indonesia benar-benar bisa masuk ke dalam jurang resesi yang dalam. 

Masalahnya, kenaikan jumlah kasus tak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang membuka kembali perekonomiannya secara bertahap seperti Amerika Serikat (AS). 

Dalam skenario terburuk apabila lockdown secara masif dilakukan di berbagai tempat dan Indonesia juga turut melakukan pembatasan maka konsumsi masyarakat akan makin melambat, ekspor akan turun drastis dan investasi akan terkontraksi lebih dalam. Resesi menjadi tak terhindarkan.

Proyeksi Bank Dunia yang memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh nol persen itu didasarkan pada asumsi jika pertumbuhan ekonomi global mengalami kontraksi sebesar -5,2% tahun ini dan pemerintah akan melakukan pelonggaran pada Juni dan Juli.

Namun jika kontraksi perekonomian global terjadi lebih dalam menjadi -7,8% tahun ini dan mobilitas tak segera pulih akibat lonjakan kasus, maka dalam skenario ini ekonomi RI bakal minus 2% tahun 2020. 

Pada akhirnya jalan menuju pemulihan memang masih panjang. Selagi musuh belum bisa dijinakkan, maka harapan ekonomi kembali seperti semula hanyalah mimpi belaka.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular