
Di Bawah Bayangan Corona, Kebangkitan Ekonomi RI Masih Lama?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi tahun yang suram untuk umat manusia dan perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Virus ultra mikroskopik bernama SARS-CoV-2 berhasil membuat dunia berada dalam resesi besar dan tentunya RI dalam bahaya besar.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020 yang berjudul The Long Road to Recovery memperkirakan output ekonomi Indonesia tidak tumbuh tahun ini. Nol persen!
Seperti yang sudah sering disinggung, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) juga merebak di Tanah Air sejak bulan Maret. Di tengah bulan pemerintah mulai membatasi mobilitas publik.
Namun wabah yang kian merebak, membuat pemerintah menetapkan kebijakan semi-lockdown atau yang lebih dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal April.
Akibatnya konsumsi masyarakat melambat dengan signifikan seiring dengan dikekangnya berbagai aktivitas. Roda perekonomian global yang juga seolah mandek dan dibarengi dengan penurunan harga komoditas membuat investasi mengalami kontraksi.
Ekonomi Indonesia pun tumbuh 2,97% (yoy) pada kuartal I-2020, menandai pertumbuhan terendah sejak tahun 2001. Padahal di kuartal terakhir tahun lalu, output perekonomian Indonesia masih mampu ekspansi di angka 5% (yoy).
Jika melihat wabah Covid-19 baru merebak sebulan di Tanah Air saja ekonomi sudah sangat tertekan, bagaimana dengan kuartal II ketika PSBB secara masif terjadi di mana-mana?
Jawabannya sudah pasti akan jauh lebih buruk. Output pada kuartal kedua diperkirakan menyusut ke teritori negatif. Jika pada Juni lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan PDB kuartal kedua tumbuh minus 3,8% (yoy), kemarin eks direktur Bank Dunia itu merevisi turun angka pertumbuhan ekonomi RI ke -4,3%.
Pemerintah pusat dan bank sentral bekerja sama untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kejatuhan yang mengerikan. Kebijakan ultra longgar dan inflasi yang jinak di Tanah Air membuat Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) pada paruh pertama tahun ini.
Dari sisi fiskal, pemerintah pusat juga menggelontorkan paket stimulus jumbo yang nilainya mencapai Rp 695,2 triliun atau setara dengan 4,3% PDB untuk dialokasikan di sektor kesehatan, membiayai program jaring pengaman sosial, insentif pajak, pemberian kredit lunak hingga talangan untuk BUMN.
Namun semua usaha tersebut tak serta merta membuat ekonomi Indonesia selamat dari jurang bahaya. Kebijakan moneter yang longgar dan stimulus fiskal besar-besaran tersebut dinilai hanya mampu menjadi bantalan dari shock yang terjadi.
Pandemi Covid-19 memang ganas, tak ada yang menyangka di tahun ini musuh tak kasat mata mampu membuat ekonomi lumpuh. Rantai pasok global terdisrupsi ditambah permintaan yang melambat menjadi pukulan ganda bagi ekonomi global, termasuk domestik.
Memasuki bulan Juni, DKI Jakarta menerapkan PSBB masa transisi. Mobilitas mulai terpantau mulai ramai meski belum seperti sebelum pandemi terjadi. Berdasarkan laporan Covid-19 Google Community Mobility Report, mobilitas masyarakat Indonesia di berbagai lokasi sudah mulai teramati.
Hingga 12 Juli lalu, mobilitas masyarakat RI di pusat perbelanjaan tercatat -20% dari baseline. Kendati masih lebih rendah tetapi membaik ketimbang posisi bulan Mei lalu yang berada di angka -40%.
Mobilitas di taman dan stasiun transit kendaraan umum juga terpantau mulai ramai. Posisi mobilitas masyarakat di taman hingga 12 Juli berada di -16% dibanding akhir Mei yang masih berada di kisaran -40%.
Sementara itu mobilitas di stasiun transit pada periode yang sama juga membaik ke -36% dari sebelumnya pada Mei lebih dari -40%. Perbaikan mobilitas pada bulan Juli ini seolah membuat prospek ekonomi di kuartal ketiga membaik.