
Soal Red Notice Djoko Tjandra, Kejagung: Belum Ada Titik Temu

Jakarta, CNBC Indonesia - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengaku tidak mengetahui soal adanya surat perintah mengenai pencabutan Red Notice dari Interpol untuk terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Dia justru heran status Red Notice itu sempat hilang.
"Itu sampai saat ini belum ada titik temunya. Yang sebenarnya Red Notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya ya begitulah," kata ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung, Rabu (15/7).
Laman Interpol menjelaskan, Red Notice adalah permintaan untuk menemukan dan menahan sementara seseorang yang dianggap terlibat dalam kasus kriminal. Hanya saja status seseorang tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Mengenai surat penerbitan Red Notice anyar, Burhanuddin mengklaim belum mengetahui perkembangannya. "Sampai saat ini belum ada laporannya lagi," paparnya.
Saat ini, Djoko Tjandra disebut-sebut sedang berada di Malaysia setelah beberapa waktu lalu sempat membuat KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Namun kembali, Burhanuddin mengaku tidak mengetahuinya.
"Kita baru dapat informasi belum bergerak lagi, tapi kita masih bergerak kita juga, sekarang WN mana Djoko Tjandra kita juga ngga nyatanya KTP nya lagi malah lagi diproses juga," jelasnya.
Adapun mengenai surat jalan yang menerangkan Djoko Tjandra berpindah dari Jakarta ke Pontianak sempat diungkap oleh oleh koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Foto pada surat jalan itu menunjukkan Djoko sempat berpindah dari Jakarta ke Pontianak pada akhir bulan Juni 2020.
Sayangnya, entah kebetulan atau tifak, lagi-lagi Burhanuddin memberi keterangan sama. "Malah tidak tahu saya surat jalan itu," paparnya.
Dikutip dari DetikX, kasus Djoko Tjandra bermula ketika dirinya menjabat Direktur Utama PT Era Giat Prima/EGP bersama Setya Novanto (Wakil Direktur Utama PT EGP). Saat itu dia mendapat permintaan dari Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli untuk menagihkan piutangnya sebesar Rp 3 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Tiara pada Januari 1999.
Kala itu, ketiga bank ini tengah ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tagihan itu bisa dicairkan Rp 905 miliar.
Namun Bank Bali rupanya hanya menerima Rp 359 miliar. Sisanya, Rp 546 miliar, masuk ke rekening PT EGP.
Cessie (hak tagih) Bank Bali ini tak dilaporkan ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Bursa Efek Jakarta. Kejagung mencium adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Dalam kasus ini, ada empat orang yang dihukum, yaitu Rudy Ramli (Dirut Bank Bali), Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (mantan Gubernur BI), dan Pande N Lubis (mantan Wakil Ketua BPPN). Sementara itu, Setya Novanto lolos dari jeratan hukum setelah Kejagung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada 2003.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Djoko 'Joker' Tjandra, Cerita Buron 11 Tahun Sampai Ditangkap
