
Terungkap! Penipuan Online Dilakukan Secara Acak & Masif

Jakarta, CNBC Indonesia- Berbagai modus penipuan kian menjamur di masyarakat, mulai dari SMS, telepon, email, hingga berkedok pedagang online di media sosial. Untuk menjaring korbannya, biasanya pelaku memilih secara acak dan mengandalkan celah tertentu ketika berkomunikasi dengan memanfaatkan rasa senang dan rasa cemas yang berlebihan.
Pelaku akan berupaya mendapatkan kepercayaan agar korban percaya pada modus pertama, ketika mendapatkan kepercayaan barulah ditambahkan modus lainnya.
Pengamat IT Ruby Alamsyah mengatakan kasus-kasus penipuan yang memanfaatkan teknologi komunikasi dari sms, telepon, email, hingga link website tertentu merupakan modus dari kelompok siber internasional yakni nigerian scammer, yang diadaptasi sesuai pola perilaku masyarakat Indonesia. Modus yang paling dasar adalah social engineering, yakni pelaku mengandalkan celah tertentu ketika berkomunikasi dengan calon korbannya.
"Teknik yang biasanya dilakukan adalah pendekatan dadakan, yang membuat panik ataupun memberikan informasi kebahagiaan seperti menang undian. Sebagian masyarakat memang tidak langsung percaya, tapi sebagian kecil ada yang percaya. teknik mereka tadi tinggal dilakukan secara masif," kata Ruby kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.
Dia menjelaskan, kuncinya adalah masif dan dilakukan secara acak. Modus-modus ini dikirimkan secara masif dan acak baik melalui sms ataupun telepon, dan bisa sampai 10.000 per hari.
"Itu murah bagi dia, kalau email atau link malah tidak ada biaya. Kalau sms juga banyak solusi murah, dia mengharapkan dari 10 ribu kirim sehari kalau 1-2% yg respon atau kena korban kan cukup. Logikanya cost mereka berapa, kalau 1-5% saja yang kena bisa dapat puluhan juta," katanya.
Selain masif, mereka juga melakukan pemilihan korban secara acak. Hal ini dilakukan agar tidak ada pola yang harus diperhatikan, selain itu target dari satu orang pun tidak terlalu tinggi yang penting jumlah korbannya lebih dari satu. Yang seperti ini biasanya hanya menargetkan Rp 500.000-Rp 5.000.000 juta per orang, dan diharapkan yang terkena jebakannya adalah orang biasa.
Pasalnya, ada pola perilaku masyarakat yang memilih merelakan uang dengan nominal tidak terlalu besar dibandingkan repot-repot lapor polisi.
"Kalau nilainya tidak terlalu besar kadang malas ke polisi, hilang sejuta tapi repotnya lebih besar. Inilah tipe korban yang dicari," kata Ruby.
Penipu seperti ini justru menghindari korbannya artis atau publik figur seperti kasus Maia Estianty ataupun Ilham Bintang, karena modusnya akan cepat ketahuan, terpublikasi, dan tertangkap oleh polisi.
"Mereka justru menghindari itu, jadi kalau yang kena artis ya itu apesnya mereka," katanya
Penipuan dari broadcast SMS pun pemilihan nomornya dilakukan secara acak, pemilik nomor bisa menerima sms-sms tersebut karena kelompok penipu tersebut melakukan pengurutan nomor. Setelah itu dilakukan percobaan kirim sms, begitu dia masuk ke sms broadcast, nanti akan ada laporan mana yang berhasil terkirim dan yang tidak.
Semua SMS yang terkirim inilah yang kemudian menjadi data base, dan hal ini akan dilakukan berulang kali. Sehingga tidak ada sasaran korban yang spesifik.
"Kenapa dia pilih random, karena paling murah dan simpel. Ngapain capek-capek profile korban karena biayanya berapa waktunya berapa lama. Mendingan kirim email dan link bisa otomatis, makanya itulah caranya pelaku menyasar korban secara random. Kalau dia tidak urutkan nomornya dan ada gap dari sana malah mereka akan rugi. Numbering operator ada mekanismenya mereka bisa coba-coba, kalau email mereka bisa beli dan ambil dr internet dan ambil yang bocor-bocor di internet," jelas Ruby.
Dia mengingatkan jika mendapatkan SMS penipuan sebaiknya melapor, apalagi sebenarnya dengan aturan mendaftarkan nomor NIK dan KK ketika menggunakan nomor ponsel pelaku-pelaku penipuan ini seharusnya bisa dilaporkan. Dengan mekanisme pendataan yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini, menurut Ruby seharusnya sudah tidak terjadi lagi.
Dia mempertanyakan mengapa sekarang pelaku penipuan masih bisa menggunakan sms tapi tidak bisa diungkap. Padahal jika aturan ini dijalankan dengan baik, mekanisme atau sistem atau pendaftaran ini optimal. Harusnya pelaku takut dan tidak bs melakukan penipuan itu lagi karena bisa dilaporkan dan bisa diidentifikasi.
"Menurut logikanya bisa disinkronkan data patroli siber, dan believe it or not tidak kalau 600 selama 6 bulan. padahal mereka ada 100 kali yang ditipu karena sms blastingnya puluhan ribu," kata Ruby.
"Saya pribadi saja nanganin kasus penipuan sangat banyak apalagi penegak hukum, bisa jadi data itu belum representatif. Kedua, dengan adanya regulasi pendaftaran sim card, kenapa pelaku bisa menggunakan sim card itu. Aneh soalnya," tambahnya.
Diperlukan Edukasi yang Masif
Ruby mengakui diperlukan edukasi kepada masyarakat secara masif. Pihaknya pun tengah mengembangkan platform untuk menampung pengaduan masyarakat. Pasalnya, menurutnya pihak kepolisian pun kewalahan menangani laporan-laporan ini terutama di kota-kota besar.
"Karena kekurangan tadi polisi merasa perlu bantuan, dan menerjemahkan itu untuk membuat platform sebagai tempat sosialisasi secara masif, pusat data dan referensi cybercrime," kata Ruby.
Dengan begitu masyarakat bisa melapor dan kasusnya bisa ditinjau, kemudian jika ada keluhan yang mirip maka bisa diberikan referensi yang mirip yang pernah terjadi sebelumnya.
"Sehingga bisa mengetahui modusnya harapannya dapat pelajaran, dan mendapat tips agar tidak jadi korban. Kalau jadi pusat data, masyarakat bisa punya tempat khusus mencari pusat datanya. Jadi masyarakat bisa aware," katanya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hati-hati! Penipu Berkedok Online Shop Beriklan di Instagram