DP 40% Masih Jadi 'Hantu' Bagi Penjualan Mobil

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
13 July 2020 16:48
Sales marketing menawarkan produk mobil di Tunas Daihatsu Tebet, Jakarta, Selasa (16/6). Pandemi corona membuat angka penjualan mobil di Indonesia mengalami penurunan drastis. Penjualan mobil bulan lalu anjlok hingga 95 persen bila periode yang sama tahun 2019.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang diperoleh detikOto dari PT Astra International Tbk, pada bulan kelima tahun 2020, industri otomotif hanya mampu mengirim 3.551 unit mobil baru. Angka ini merosot 95 % dibanding bulan Mei 2019, di mana saat itu mencapai 84.109 unit. Angka ini merupakan penjualan berupa wholesales atau distribusi dari pabrik ke dealer. Seperti diketahui, banyak pabrik otomotif di Indonesia yang berhenti produksi sementara di tengah pandemi COVID-19. Wajar jika distribusinya pada Mei 2020 anjlok drastis. Adapun mengatasi penurunan banyak pabrikan otomotif  menawarkan paket penjualan khusus demi mendongkrak penjualan. Rendi selaku supervisor di Tunas Daihatsu Tebet mengatakan
Foto: Penjualan Kendaraan (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Para konsumen yang akan membeli mobil baru maupun bekas harus berpikir beberapa kali saat harus membayar uang muka kredit kendaraan sampai 40%. Kebijakan leasing atau perbankan yang mematok uang muka tinggi saat pandemi covid-19 sebagai bentuk kehati-hatian justru diprotes produsen mobil.

Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyebut tingginya uang muka saat akan membeli mobil sangat berdampak terhadap penjualan mobil baru.

"Kan 80% orang beli pakai kredit. Nah kalau perbankan makin perketat siapa yang mau beli? Mereka mau aman dengan naikkan DP, ada yang 40%. Orang mau beli mobil mundur lagi. Nah, kalau polanya gitu, kan ingin aman tapi dengan gitu orang nggak beli. Berarti nggak ada customer. Perbankan akhirnya nggak dapat klien, nasabah. Industri stagnan, produksi nggak jalan, akhirnya kena juga kena ekonominya," kata Kukuh kepada CNBC Indonesia, Senin (13/7).

Ia juga menyoroti masalah lain yang bisa menghambat lajunya pertumbuhan ekonomi yang berasal dari regulator yaitu kenaikan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB).  Kukuh menyebut sudah mengirim surat permohonan relaksasi kenaikan BBN KB.

"Padahal kalau itu diturunkan, merangsang masyarakat untuk beli kendaraan. Berarti pajak juga masuk. Lebih baik diturunkan (BBN KB) dari 12,5% menjadi 5% tapi ada yang beli, atau tetap di 12,5% tapi nggak ada yang beli," sebutnya.

Ia mencontohkan salah satu provinsi yang ingin menaikkan Pendapatan Asli Daerah dengan kenaikan BBN KB. Namun, yang terjadi calon konsumen justru mengurungkan niatnya karena sudah terbebani pajak di awal.

"Akhirnya pendapatan dari pajak kendaraan menurun. Padahal kita sudah ingatkan jangan gitu caranya. Lebih baik volume banyak dibanding pajak tinggi tapi volume kecil. Kita punya data hal seperti itu. Tapi biasanya Pemda nggak mau memahami itu, maunya langsung dapat gede. Di atas kertas kelihatannya gede, kan misal 12,5 % dari berapa. Kalau mobil nggak ada yang beli kali nol kan," katanya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Parah! Penjualan Mobil Februari Jeblok Gegara Pajak 0%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular