Harga Cabai-Cabaian Tak Biasanya Naik Tipis, Ada Apa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 July 2020 15:38
Gegara Virus Corona, Bawang Putih Meroket Naik. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Gegara Virus Corona, Bawang Putih Meroket Naik. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Laju inflasi yang santuy, terlihat dari perkembangan harga-harga sembako, bisa dimaknai dari beberapa sisi. Pertama, pasokan pangan terpenuhi dengan baik, tidak ada kelangkaan, sehingga tidak menimbulkan tekanan harga (cost push inflation).

Kedua, ada penurunan permintaan yang membuat produsen dan pedagang ragu untuk menaikkan harga. Sepertinya yang kedua ini yang sedang terjadi.

Pandemi virus corona telah mengubah tatanan hidup masyarakat. Penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini begitu cepat sehingga tidak bisa diatasi dengan cara biasa.

Pada akhir Maret, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan regulasi tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di dalamnya diatur tentang peliburan sekolah, kantor dan pabrik yang tidak esensial, pembatasan transportasi publik, pengaturan mobilitas warga, dan sebagainya. Intinya, aktivitas masyarakat dibatasi. Sebisa mungkin bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Upaya untuk meredam penyebaran virus itu lumayan berhasil. Pada April-Mei, terlihat jumlah kasus corona di Tanah Air menunjukkan tanda-tanda melambat.

Namun langkah untuk menyelamatnya ribuan bahkan jutaan nyawa tersebut harus dibayar mahal. Roda ekonomi tidak berputar, apa yang mau diputar kalau orang-orang cuma makan-rebahan-makan-rebahan saja?

Oleh karena itu, dunia usaha baik itu besar, sedang, kecil, sampai mikro 'berdarah-darah'. Pemasukan turun drastis, bahkan mungkin ada yang nihil.

Efisiensi harus dilakukan kalau masih mau bertahan hidup. Langkah yang ditempuh untuk mengurangi pengeluaran adalah memangkas jumlah pekerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana.Berdasarkan catatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, jumlah karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK mencapai lebih dari 6,4 juta orang.

Mereka yang menjadi korban PHK tentu mengurangi konsumsinya, sebab tidak ada yang tahu kapan bisa mendapatkan pekerjaan lagi. Sementara yang belum terkena PHK juga pikir-pikir kalau mau berboros ria, karena tidak ada yang tahu kapan gilirannya...

Oleh karena itu, daya beli dan masyarakat Indonesia memang sedang bermasalah. Hasilnya, tekanan kenaikan harga nyaris tidak ada karena produsen dan pedagang tentu tidak akan berani menaikkan harga saat kondisi sedang prihatin.

Sejatinya PSBB sudah mulai dikendurkan. Sejak awal Juni, Indonesia memasuki era kehidupan normal baru (new normal). Masyarakat diizinkan untuk kembali beraktivitas harus mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sebab virus corona masih di luar sana, sehingga kita harus hidup berdampingan dengan virus tersebut tanpa mengurangi produktivitas.

Akan tetapi, PSBB meninggalkan luka yang teramat dalam bagi perekonomian. Luka itu tidak mungkin bisa sembuh dalam waktu singkat. Sebagian masyarakat masih belum berani beraktivitas di luar rumah karena khawatir terpapar virus corona.

"Walau pemerintah sudah menerapkan kebijakan new normal dengan mengizinkan kembali operasional berbagai bidang usaha, tetapi gerak roda ekonomi masih pelan. Ini karena daya beli masyarakat masih lemah dan ada kekhawatiran mengenai penyebaran Covid-19," papar Juniman, Kepala Ekonom Maybank Indonesia, dalam risetnya.

Jadi jangan heran kalau harga sembako masih datar-datar saja, soalnya konsumen yang beli juga sedang kekurangan uang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular