Amit-amit! Jangan Sampai Program Tapera Kayak Kasus Jiwasraya

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
10 July 2020 08:55
Suasana Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) di Cibarengkok  Pengasinan, Kec. Gn. Sindur, Bogor, Jawa Barat, Senin (17/2/2020). PT Bank Tabungan Negara (BTN) (Persero) Tbk pada tahun 2020 meningkatkan layanan transaksi digital untuk menggaet calon debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi KPR (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan Pembentukan Badan Penyelenggara Tapera (BP Tapera) menuai kontroversi. Kebijakan yang berpangkal pada Undang-undang (UU) ini memangkas gaji pekerja untuk dana tabungan rumah, dan akan efektif tahun depan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2020. Sementara Tapera dibentuk berdasarkan UU Nomor 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Amanat UU ini menyebutkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau.

Namun Tapera mengundang tanda tanya dari anggota DPR di Senayan. Komisi V DPR RI, Kamis (9/7/20) menggelar rapat dengar pendapat membahas Tapera. Rapat tersebut diwarnai dengan sejumlah pertanyaan legislator mengenai pembentukan BP Tapera.

Dalam rapat itu, hadir Dirjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Eko D Heripoerwanto, serta Komisioner BP Tapera Adi Setianto.

Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Golkar Hamka Baco Kady, mempertanyakan sumber pendanaan BP Tapera. Dia juga menyesalkan bahwa DPR tak pernah dilibatkan dalam proses pembentukan tim di BP Tapera.

"Mengenai pengelola, memang kewenangannya kementerian, tapi saya mengusulkan pengelolaan keuangan pembiayaan perumahan yang berasal dari masyarakat dan subsidi pemerintah harusnya kredibel dan kapabel," ujarnya.

"Jangan sampai uang Tapera yang jadi modal ini disimpan, jangan sampai kayak Asabri, Jiwasraya dan sebagainya," lanjutnya.

Dia mewanti-wanti agar dana yang dihimpun dari masyarakat tak tiba-tiba raib. Apalagi, tidak semua penerima manfaat BP Tapera bisa mendapatkan akses pembiayaan perumahan.

Kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa dibilang sebagai megaskandal korupsi yang melibatkan banyak pihak, sehingga nasabah banyak dirugikan karena dananya raib.

"Itu uang ditabung orang kan tidak hilang. Jadi hak miliknya walaupun sudah punya rumah. Makanya saya harap karena ini lembaga pembiayaan, lembaga keuangan, harus ada prioritasnya juga jangan dari PUPR saja atau dari pensiunannya saja. Boleh saja tapi juga ada ororitasnya. Kalau perlu fit and proper test di BI atau di sini. Kami nggak tahu apa-apa tiba-tiba ada Tapera saja," tandasnya.

Sementara itu, Bambang Suryadi dari fraksi PDIP menyebut bahwa BP Tapera terbentuk seperti lahir bongsor. Dia juga menyoroti pembentukan BP Tapera yang tak melibatkan DPR.

"Lahir bongsor Mei 2020 setelah PP diundangkan. Sebagai badan penyelenggara dan komisioner harusnya di dalamnya independen, dan fit dan proper test harusnya Komisi V ikut campur seleksi BP Tapera," tegasnya.

Adapun anggota lainnya, Herson Mayulu, mengingatkan lagi mengenai transparansi. Dia khawatir para peserta tak bisa memantau jumlah uang yang telah disetorkan ke BP Tapera.

"Mengingat Bapetarum awalnya indah tapi akhirnya jelek muncul, terutama transparansi. Oleh karena itu transparansi model apa yang akan diterapkan Tapera? Jangan hanya indah sekarang tapi nanti ada seorang peserta ingin mengetahui susahnya minta ampun," tuturnya.

Amanat pembentukan BP Tapera dan pelaksanaan tapera berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), undang-undang ini melalui proses pengesahan di DPR.

Dalam kesempatan yang sama, dari pihak pemerintah menjelaskan bahwa Tapera merupakan 'juru selamat' untuk menyelesaikan berbagai persoalan penyediaan rumah. Sebagaimana diketahui, program sejuta rumah andalan Jokowi sudah berjalan sejak 2015.

Kini, program tersebut mulai 'kehabisan bensin' di tengah jumlah backlog rumah atau kurang pasok masih cukup tinggi. Anggaran yang disiapkan pemerintah jauh dari kebutuhan, jadi harus andalkan investasi swasta.

Dirjen Perumahan Khalawi Abdul Hamid menjelaskan bahwa program sejuta rumah masih terus digencarkan dalam 5 tahun ke depan. Dari 2020-2024, ditargetkan terbangun 5 juta rumah melalui program ini, artinya ada 1 juta rumah setiap tahun.

"Dari backlog yang ada, program 5 juta unit membutuhkan anggaran Rp 557,2 triliun. Ini tidak mungkin ditopang oleh anggaran pemerintah, makanya kita berkolaborasi dengan swasta, dan pemerintah daerah, dan masyarakat," ujarnya di sela rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Kamis (9/7/20).

Dari kebutuhan tersebut, dana yang berasal dari pos anggaran Ditjen Perumahan hanya Rp 54 triliun atau sekitar 9,7% saja. Angka itu setara dengan pembangunan 875 ribu unit dalam target 5 tahun.

"Sementara di DJPI [Ditjen Pembiayaan Infrastruktur Kemen PUPR] ada Rp 84,7 triliun [15,2%], lebih besar di sana kurang lebih 1,7 juta unit," bebernya.

Lantas, sisanya membutuhkan dukungan swasta. Pada periode pertama Jokowi, selama 2015-2019, dia mengklaim sudah terbukti bahwa program sejuta rumah berjalan efektif. Kendati begitu, adanya defisit ketersediaan rumah menurutnya membutuhkan alternatif lain.

"Nah itu, Tapera itu salah satu solusi ke depan," bebernya.

Dia menjelaskan bahwa pada 2015 silam, backlog (kekurangan) rumah yang dicatat BPS mencapai 11,5 juta unit. Dengan adanya program sejuta rumah Jokowi, dia mengklaim terjadi penurunan angka backlog hingga 3,76 juta unit.

"Dan kita masih defisit sekarang, tugas kami dan kita semua adalah 7,64 juta ke depan. Namun ada pertumbuhan atau tambahan kebutuhan KK (keluarga) baru tiap tahun kurang lebih 700 ribu per tahun. Sehingga itu yang menjadi dilema, kalau program 1 juta rumah saja nggak cukup, maka mesti ada inovasi lain," katanya.

Di tempat yang sama, BP Tapera menjawab keraguan DPR. Komisioner BP Tapera Adi Setianto mengakui, dana yang akan dihimpun BP Tapera diprediksi akan kian besar dari tahun ke tahun.

Untuk tahun ini saja, pihaknya bakal mendapatkan Rp 11 triliun dari pengalihan iuran 4,2 juta PNS di Eka Bapetarum. Angka itu diproyeksikan menjadi Rp 60 triliun pada 2024, yang berasal dari 13,1 juta peserta dari kalangan TNI, Polri, ASN, pegawai BUMN, dan pegawai BUMDES.

Dia menjelaskan, selain dimanfaatkan sebagai pembiayaan penyediaan rumah, dana ini akan diputar. BP Tapera menginvestasikan dana ini yang diatur oleh manajer investasi (MI).

"Mengenai jaminan pemerintah, diatur di PP, kami hanya boleh investasi di deposito bank pemerintah atau SUN pusat maupun daerah. Di luar itu enggak boleh kecuali tertentu ya, untuk surat pengembang tapi itu rigid. Kalau kami lebih banyak di surat utang pemerintah dan deposito bank pemerintah sehingga benar-benar terjaga," terang Adi.

Tak hanya itu, dia menegaskan bagi peserta yang menyetorkan iurannya di BP Tapera bisa melihat langsung dana mereka kapan pun. Pekerja yang menjadi peserta Tapera diberi nomor anggota sehingga bisa melihat jumlah transaksinya beserta insentif yang didapat. Ini bisa dilakukan setiap saat.

"Bisnis model kami kan dengan MI dan KSEI. Jadi penabung bisa lihat tabungannya setiap saat dengan aplikasi yang sedang kita buat," urainya.

 


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tolong! Kenapa Harus Ada Tapera? Kenapa Gaji Dipotong Lagi?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular