Mal Masih Sepi Hanya Terisi 30%, Ritel Ikut Lemah Letih Lesu

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
01 July 2020 15:23
Pengunjung memilih barang yang didiskon mulai dari 20-70% di Department Store Debenhams di Kawasan Senayan City, Jakarta, Jumat (29/12/2017). Berkembangnya teknologi membuat daya beli masyarakat menurun, sehingga menjadi salah satu penyebab tutupnya Debenhams di Indonesia akhir tahun ini.
Foto: Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Perputaran ekonomi di sektor ritel yakni pusat perbelanjaan atau mal belum juga bisa berlari kencang. Meski pemerintah sudah melonggarkan regulasi dibukanya pusat perbelanjaan, namun transaksi penjualan masih jauh dari memuaskan.

Padahal, pengusaha yang berjualan di pusat perbelanjaan mengaku sudah berbuat semaksimal mungkin dalam menyiapkan segala SOP (Standard Operating Procedure) yang disyaratkan, termasuk, menerapkan protokol kesehatan yang baru.

"Kami ini kan hanya melaksanakan dari segala sesuatu yang dibutuhkan, untuk sifatnya operasional. Di kami sebenarnya selesai (maksimal). Kami nggak bisa menentukan, orang yang menentukan. Orang beli tergantung orang punya uang atau nggak," kata Anggota Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta kepada CNBC Indonesia, Rabu (1/7).

Kondisi saat ini memang serba menyulitkan. Banyak masyarakat kesulitan ekonomi akibat harus kehilangan pekerjaan. Sementara yang masih memiliki kekuatan dana yakni dari kalangan menengah ke atas lebih cenderung menahan uang untuk keluar karena belum mengetahui pandemi kapan berakhir.

"Kuncinya di daya beli masyarakat. Kunci di situ nggak ada yang lain, kuncinya di kekuatan beli. Perlu proses dan perlu banyak faktor, nggak bisa satu aja. Pemerintah mungkin kendorkan contoh likuiditas, tapi kan proses panjang industri harus jalan. Kan semua perlu proses," kata Tutum.

Mengenai stimulus ekonomi yang didengungkan dari pemerintah. Tidak bisa dipungkiri banyak pelaku usaha yang belum merasakan manfaatnya secara langsung. Sulitnya birokrasi di lapangan untuk mencairkan stimulus disebut-sebut menjadi penyebab. "Kalau dibilang efek nggak signifikan," sebut Tutum.

Setali tiga uang dengan peritel, pihak pengusaha pengelola pusat perbelanjaan atau mal mengaku masih kesulitan meski sudah menjalankan aktivitas ekonomi selama hampir dua minggu dengan dibukanya mal. Penyebabnya adalah tren penjualan yang belum sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Apalagi, daya beli masyarakat juga saat ini masih tergolong rendah.

"Tingkat Penjualan masih sangat rendah dan tidak merata di semua toko. Masih didominasi belanja untuk kebutuhan rumah tangga," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja akhir pekan lalu.

Jumlah pengunjung mal saat ini juga masih belum sesuai harapan. Sehingga, potensi masyarakat untuk kembali berbelanja juga tidak begitu besar. Aplhonzus menyebut saat ini jumlah pengunjung hanya di kisaran 20%-30% dari waktu normal.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Parah! Toko-Toko di Mal Banyak Ditutup Hordeng, Bangkrut?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular