Jokowi Lagi dan Lagi Sebut RI Krisis Ekonomi, Faktanya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 June 2020 12:40
Cover Fokus, luar, thumbnail, kecil, Jokowi Marah
Foto: Cover Topik/Jokowi Marah/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo sempat menyinggung soal sense of crisis dalam sebuah video sidang kabinet paripurna pada 18 Juni 2020. Jokowi mengaku kecewa soal penanganan wabah Covid-19 dan meminta semua pihak untuk memiliki sensibilitas yang sama dalam menghadapi krisis.

"Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres yang signifikan. Nggak ada," ujarnya seperti dikutip akun YouTube Setpres, Minggu (28/6/2020).

"Tolong garis bawahi dan perasaan itu tolong sama, kita sama. Ada sense of crisis yang sama harap sayang coba yang sama. Hati-hati. OECD (Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) terakhir, sehari-dua hari yang lalu menyampaikan bahwa growth atau pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi 6%, tidak sampai ke 7,6%, 6% sampai 7,6% minus. Bank Dunia menyampaikan bisa 5. Perasaan harus sama kita harus ngerti ini jangan biasa-biasa saja jangan linier, jangan menganggap ini normal" kata eks Wali Kota Solo itu.

Nah hari ini, Selasa (30/6/2020), untuk kesekian kalinya Jokowi berbicara mengenai krisis ekonomi dan kesehatan yang dialami Indonesia. Namun, kepala negara menegaskan, kondisi krisis ini tak hanya dialami Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Jokowi saat memberikan pengarahan untuk penanganan Covid-19 terintegrasi di Provinsi Jawa Tengah, Semarang, yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (30/6/2020).

"Saya titip yang kita hadapi ini bukan urusan krisis kesehatan saja, tapi juga masalah ekonomi. Krisis ekonomi," tegas Jokowi.

Ada yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Jokowi tersebut yaitu kata-kata sense of crisis. Apa benar RI sudah dalam kondisi krisis? Mari sama-sama mengulasnya.

Pandemi Covid-19 kini telah menjangkiti lebih dari 200 negara dan teritori. Jumlah penderita Covid-19 secara kumulatif telah melampaui angka 10 juta orang di dunia. Indonesia menyumbang lebih dari 50 ribu kasus dan menjadi yang terbanyak di kawasan Asia Tenggara.

Peningkatan kasus yang tinggi dan penyebaran yang semakin meluas membuat berbagai negara memilih untuk mengunci negaranya. Karantina wilayah atau lockdown diterapkan guna menekan penyebaran virus.

Namun langkah ini terbilang sangatlah mahal bagi perekonomian. Dengan lebih dari 3 miliar orang terkurung di rumah masing-masing aktivitas ekonomi pun cenderung mandek bahkan mati suri.

Alhasil konsekuensinya adalah disrupsi pada rantai pasok dan pelemahan permintaan yang jadi pukulan ganda (double hit) bagi perekonomian.

Ekonomi RI jauh dari kata immune dan ikut terkena dampaknya. Pukulan ganda yang datang dari luar maupun dalam juga dirasakan oleh ekonomi RI. Saat krisis akan terjadi biasanya pasar keuangan merasakannya terlebih dahulu.

Kecemasan dan kepanikan global membuat aset-aset keuangan domestik mulai dari saham, nilai tukar hingga obligasi pemerintah RI dibuang oleh investor. Outflow besar-besaran terjadi saat pandemi.

Ini menjadi sinyal awal bahwa krisis terjadi, pasar biasanya memberikan alarm bahaya bahwa akan terjadi guncangan (shock) terhadap perekonomian.

Namun seiring dengan meredanya kepanikan global, inflow kembali terjadi dan mengangkat harga aset-aset keuangan RI. Namun apabila ditilik menggunakan high frequency indicators, ekonomi riil RI justru sedang memasuki periode kejatuhan yang sangat nyata. 

Setelah pasar yang forward looking dan menurut IMF terlalu optimis memberikan sinyal bahaya, indikator lain berupa data perekonomian mengkonfirmasinya. 

Wabah Covid-19 di dalam negeri secara resmi dilaporkan pertama kali pada awal Maret langsung oleh RI-1. Awalnya hanya dilaporkan di Jakarta. Namun seiring dengan berjalannya waktu kasus semakin melonjak dan meluas membuat sebagian besar wilayah RI menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak April lalu. 

Ekonomi dan rantai pasok yang dibangun oleh mobilitas menjadi mati suri karena pergerakan orang, barang dan modal ikut terhambat akibat PSBB. Mobilitas barang yang tersendat membuat volume perdagangan global terkontraksi. 

Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan ekspor dan impor Indonesia. Kegiatan perdagangan luar negeri Indonesia akhirnya terganggu seperti yang tercermin dari anjloknya ekspor dan impor pada April dan Mei lalu. Pelemahan permintaan dan anjloknya harga komoditas jadi pemicu utamanya. 

Impor barang modal RI menjadi terganggu. Pabrik yang dipaksa tutup atau beroperasi dengan kapasitas rendah tak hanya membuat sektor manufaktur RI mengalami kontraksi tetapi juga mengalami penurunan permintaan tenaga kerja. 

Angka Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur RI anjlok signifikan sejak Maret mengalami kontraksi. Kontraksi makin dalam pada April dan membaik pada Mei. Namun tetap saja kontraksinya sangat signifikan. Jumlah karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK menurut Kadin sudah mencapai 6 juta orang.

Pengangguran yang melonjak tinggi membuat optimisme konsumen tergerus. Bank Indonesia (BI) mencatat indeks keyakinan konsumen (IKK) jatuh ke bawah angka 100 yang artinya konsumen pesimis dalam memandang perekonomian. 

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pendapatan 4 dari 10 orang Indonesia ikut terdampak pandemi. Pendapatan yang menurun akibat tingginya melonjaknya angka PHK dan pengangguran menyebabkan daya beli tergerus. 

Daya beli yang rendah membuat penjualan ritel dan barang tahan lama (durable goods) seperti kendaraan bermotor anjlok signifikan. Bahkan penjualan mobil tercatat mengalami kontraksi yang sangat dalam lebih dalam daripada saat krisis moneter 22 tahun silam.

Lemahnya daya beli masyarakat juga tercermin dari laju inflasi yang melambat. Bulan April dan Mei yang merupakan momen untuk mendongkrak konsumsi melalui puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri tak mampu mengerek inflasi. Bahkan mirisnya, BI memperkirakan inflasi bulan Juni bakal negatif alias terjadi deflasi. 

Pandemi Covid-19 membuat pemerintah berbagai negara memutuskan untuk melarang bepergian ke luar negeri, termasuk Indonesia. Alhasil jumlah kunjungan wisatawan mancanegara anjlok signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sektor pariwisata, perhotelan, maskapai, transportasi hingga restoran menjadi industri yang terdampak paling awal dari pandemi ini. 

Ini baru indikator dari sektor riil. Sementara apabila dilihat dari kacamata industri keuangan, bank-bank RI menghadapi risiko ketatnya likuiditas serta kenaikan kredit macet (NPL) yang membuat regulator (OJK) mengeluarkan kebijakan dan stimulus untuk relaksasi kredit dan otoritas moneter (BI) melonggarkan Giro Wajib Minum (GWM) untuk memompa likuiditas perbankan. 

Terlepas dari definisi pasti tentang krisis ekonomi, sinyal bahwa ekonomi RI berada dalam bahaya memang tampak sangat jelas. Alarm mulai menyala merah.

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tanah Air di tahun ini akan mengalami kontraksi sebesar minus 0,3%. Angka ini merupakan revisi turun dari angka proyeksi sebelumnya yang berada di 1,5%. Artinya ada 1,8 poin persentase pemangkasan proyeksi.

Tidak hanya IMF, bank asal Singapura DBS juga memperkirakan ekonomi Indonesia akan terkontraksi pada 2020. Bahkan DBS, yang juga merupakan bank terbesar di ASEAN, lebih pesimis, ekonomi Indonesia diramal menyusut 1% tahun 2020 ini.

Namun Bank Dunia sampai saat ini masih lebih optimis dibandingkan DBS maupun IMF. Lembaga keuangan global tersebut memperkirakan ekonomi RI tumbuh di angka nol persen alias tidak tumbuh sama sekali.

Sementara itu proyeksi vesi BI menunjukkan bahwa ekonomi RI diperkirakan masih mampu tumbuh walau minimalis. Geng MH Thamrin memperkirakan pertumbuhan PDB RI pada 2020 berada di kisaran 0,9% - 1,9%. 

Berbeda dengan BI, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi RI bahkan bisa tumbuh di teritori negatif. Berdasarkan skenario terburuk maka pertumbuhan PDB RI 2020 bisa minus 0,14%. Jika menggunakan skenario terbaik maka pertumbuhan ekonomi RI 2020 dapat tumbuh 1%. 

Dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini, sense of crisis memang sangat dibutuhkan kebijakan yang extraordinary dan menyasar langsung ke permasalahan sangatlah dibutuhkan.

Indikatornya bukan hanya luar biasa, tetapi juga efektif. Memang dengan risiko ketidakpastian yang tinggi, tindakan extraordinary sekalipun belum tentu menjamin ekonomi bisa selamat. Namun, kalau yang extraordinary saja belum tentu mampu efektif apalagi kalau yang menggunakan cara business as usual?

Shock yang terjadi saat ini telah menimbulkan suatu permasalahan yang kompleks. Tantangan yang dihadapi bahtera berbendera merah putih dalam mengarungi lautan badai sangatlah besar. 

Tantangan-tantangan tersebut antara lain lama waktu pandemi yang tak pasti, ancaman gelombang kedua, kerusuhan sosial akibat disparitas ekonomi hingga tensi geopolitik global yang memicu disintegrasi.

Sekali lagi sense of crisis memang sangat penting. Kebijakan yang diambil haruslah cepat dan responsif tetapi harus tetap berhati-hati dan tidak gegabah. Jangan lupa juga kebijakan harus jelas, tegas, konsisten serta terukur! Jangan sampai penyakit akut ini berubah jadi kronis (menahun).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular