
Lebih Gawat Mana, Krisis 1998, 2008 atau 2020?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, krisis global akibat pandemi covid-19 ada di depan mata. Bahkan kondisi global saat ini lebih berat dari krisis 1930. Lalu, bagaimana jika dibandingkan dengan krisis 1998?
Sejumlah kalangan menilai krisis ekonomi akibat pandemi covid-19 saat ini tingkat kerawanannya jauh lebih rendah, jika dibandingkan dengan krisis 1998.
Ekonom Senior Raden Pardede menjelaskan, Indonesia memang pernah mengalami resesi ekonomi pada 1998. Bahkan kala itu bisa dibilang adalah sebuah depresi. Karena pertumbuhan ekonomi terkontraksi hampir 1,5 tahun lamanya.
"Saat itu bukan hanya dua kuartal [Pertumbuhan ekonomi terkontraksi], tapi hampir 1,5 tahun growth kita mengalami kontrakasi. Kita alami kontraksi hingga minus 13% dan itu paling dalam," jelas Raden dalam acara Squawbox CNBC Indonesia TV, Jumat (25/6/2020).
Menurut Raden, apabila Indonesia mengalami krisis di tahun ini, kemungkinan kondisinya tidak akan separah dengan krisis 1998. Hal ini juga senada dengan ramalan Bank Dunia atau World Baank, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
Di mana Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020 tidak tumbuh atau 0%. Sementara IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 akan kontraksi atau -0,5%. Sementara meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 akan -2,8%.
"Kita akan menghadapi ini no doubt dan tidak akan separah seperti 1998. Tapi jauh lebih buruk dari krisis 2008. Tapi mudah-mudahan pemerintah mampu mengatasi ini," kata Raden.
Sementara apabila dibandingkan dengan krisis 2008, krisis ekonomi pada 2020 memang terbilang lebih parah. Pasalnya pada krisis 2008, harga komoditas saat itu masih menguntungkan, dan pada akhirnya membuat ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 4,6%.
"Krisis karena pandemi ini belum pernah kita alami sebelumnya dan dalam merespon krisis karena virus. Cara mengatasinya harus melakukan penyesuaian dan bisa meresponnya dengan dinamis."
"Jadi cara penanganannya harus beda dan tidak sama seperti dahulu, dampak ke masyarakat luas, jauh lebih besar. Respon pemerintah harus berikan bantuan sosial secara besar-besaran," kata Raden.
Senada, Vice President Economist Bank Permata, Josua Pardede menilai, dari proyeksinya pertumbuhan ekonomi pada 2020 ini bisa -1% sampai 0,5%. Namun krisis ekonomi pada tahun ini tidak akan separah dengan krisis 1998.
Josua menjelaskan, saat 1998, krisis ekonomi tidak dimitigasi oleh pemerintah. Ditambah kala itu ada ketidakstabilan politik pemerintah.
"Saat itu kita mengalami social unrest kaena harga-harga melambung naik, penjarahan di mana-mana. Kita harapkan di tahun ini, sekalipun pertumbuhan negatif, potensinya tidak terjadi social unrest," jelas Josua kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Secara teknikal, kata Josua Indonesia memang mengalami krisis, tapi dampaknya kepada ekonomi dan sosial sudah diantisipasi oleh pemerintah dengan mengeluarkan stimulus dan jaring pengaman sosial.
Menurut Josua pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 sebenarnya bisa tumbuh positif asalkan penyerapan dana penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi bisa cepat dilakukan.
"Tinggal bagaimana mengoptimalkan dan memaksimalkan supaya tetap transparan, efisien dan produktif. Resepnya gampang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita, maka adalah daya beli masyarakat harus dijaga," ucapnya.
Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 hanya tumbuh 2,97%. Dalam proyeksi Kementerian Keuangan, dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang mulai tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi namun dengan dukungan belanja maka kuartal III dan IV PDB bisa tumbuh 1,4%.
Kendati demikian, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah direlaksasi, namun publik tidak spending atau tidak berbelanja, maka Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi.
"Tapi kalau dalam [dengan asumsi tidak berbelanja] bisa -1,6%. Itu technically bisa resesi. Kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," papar Sri Mulyani dalam perbincangannya dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).
Skenario tersebut masuk ke dalam proyeksi Kemenkeu. Di mana pada kuartal III dan IV PDB akan tumbuh 1,4% sampai negatif 1,6%. "Sementara outlook seluruh tahun -0,14 sampai positif 1 persen," tegas Sri Mulyani.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Sebut Krisis, Ini Fakta Ekonomi RI: 'Bak Film Horor!'