Jakarta, CNBC Indonesia - Argentina identik dengan sepakbola. Negeri Tango melahirkan banyak pesepakbola hebat pada masanya seperti Mario Kempes, Diego Maradona, dan terakhir sang GOAT (Greatest of All Time) Lionel Messi.
Argentina dua kali menjadi juara Piala Dunia yaitu pada 1978 dan 1986. Tim nasional Argentina adalah pemegang 14 titel juara Copa America, terbanyak kedua setelah Uruguay (15).
Saat ini Argentina duduk di peringkat sembilan peringkat FIFA. Posisi terbaik Argentina adalah peringkat satu yang terakhir diraih pada 2017. Sementara posisi terburuknya adlaah rangking 24 yang terjadi pada 1996.
Pencapaian itu menggambarkan betapa Argentina adalah salah satu kekuatan besar di jagat sepakbola. Di setiap turnamen Piala Dunia atau Copa America, nama Argentina selalu ada di daftar kandidat juara.
Namun dalam hal ekonomi, yang terjadi adalah sebaliknya. Betul, Argentina adalah anggota G20 (kelompok negara yang menguasai lebih dari 80% perekonomian dunia). Akan tetapi, ekonomi Argentina boleh dibilang seperti pesakitan.
Pada kuartal I-2020, ekonomi Argentina mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) -5,4% year-on-year (YoY). Dalam tiga kuartal terakhir, ekonomi Argentina tidak bisa lepas dari teritori minus.
Dalam kurun waktu 10 tahun belakangan, kontraksi ekonomi di Argentina terjadi selama 17 kuartal. Argentina mengalami resesi (kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama) pada 2012, 2014, 2016, 2018, dan 2019. Tidak seperti Messi, ekonomi Argentina gampang sekali 'cedera'.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Argentina tahun ini terkontraksi -9,9%. Jika itu terjadi, maka 2020 akan menjadi resesi resesi keenam yang dialami Argentina dalam 10 tahun terakhir.
Well, sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) saja ekonomi Argentina sudah terpuruk. Virus corona akan semakin membuatnya ambles.
Apa yang membuat ekonomi Argentina rentan resesi?
Pertama, Argentina rawan terserang krisis fiskal. Total utang pemerintah Argentina pada 2019 hampir lebih dari 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Tingginya utang luar negeri Argentina diiringi oleh depresiasi mata uang peso. Sepanjang 2020, peso melemah 17,07% di hadapan dolar Amerika Serikat. Depresiasi peso tidak hanya terjadi tahun ini. Pada 2019, peso ambruk 59,12% di hadapan dolar AS dan setahu sebelumnya ambles 102,37%. Wow...
Penarikan utang yang agresif di tengah depresiasi mata uang membuat beban pembayarannya meningkat. Alhasil, Argentina sangat rawan mengalami gagal bayar (default). Sejak Argentina merdeka pada 1816, sudah terjadi sembilan kali default.
Ini menimbulkan lingkaran setan. Peluang default yang tinggi membuat pemerintah harus membayar premi mahal ketika menerbitkan obligasi. Beban bunga terus naik, dan kemudian Argentina tidak bisa lagi membayar kewajibannya. Begitu saja terus.
Kedua, ekonomi Argentina sangat tergantung kepada komoditas. Berikut profil ekspor Argentina pada 2019:
Ekspor yang mengandalkan komoditas membuat Argentina tidak bisa memanfaatkan depresiasi nilai tukar mata uang. Padahal depresiasi peso semestinya membuat harga produk Argentina lebih murah sehingga kompetitif di pasar global.
Namun ekspor komoditas tidak terlalu terpengaruh oleh dinamika nilai tukar. Selama harga komoditas masih di level rendah, peningkatan volume tidak akan membantu mendongkrak nilai ekspor.
Ditambah lagi produksi pertanian juga tidak bisa digenjot karena iklim yang tidak bersahabat. Akibat perubahan iklim, cuaca menjadi tidak menentu sehingga mempengaruhi produksi pertanian global, termasuk Argentina.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat suhu bumi pada dekade 2010-2019 adalah yang tertinggi sepanjang sejarah. Pada 2019, suhu naik 1,1 derajat celsius.
 Foto: WMO iklim |
Berbagai masalah ini membuat ekonomi Argentina tertatih-tatih dan rentan terjerumus ke jurang resesi. Seandainya prestasi Argentina di dunia sepakbola bisa 'ditransfer' ke aspek ekonomi...
TIM RISET CNBC INDONESIA