Serius! Ancaman Krisis Pangan Makin Nyata, Ini Buktinya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 June 2020 13:15
ATM Beras Gratis Untuk Warga Tedampak Covid-19. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: ATM Beras Gratis Untuk Warga Tedampak Covid-19. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 telah memunculkan fenomena negara-negara mengamankan diri masing-masing soal ketahanan pangannya. Segala pembatasan mobilitas serta aksi proteksionisme ini sangat riskan untuk memicu terjadinya krisis pangan sebagai konsekuensi dari pandemi.

Saat kasus infeksi Covid-19 melonjak tinggi dan WHO menetapkan wabah sebagai pandemi Maret lalu, langkah menggemparkan diambil oleh Vietnam. Negara eksportir terbesar beras di dunia itu mengimplementasikan pembatasan ekspor pada Maret-April lalu.

Reuters melaporkan Vietnam membatasi kuota ekspor berasnya hanya 500 ribu ton saja setelah memperhatikan kebutuhan pangan nasional dan stok yang tersedia untuk memastikan bahwa kebutuhan domestik masih tercukupi saat pandemi terjadi.

Data CEIC mencatat, volume ekspor beras Vietnam di bulan Maret dan April tahun ini masing-masing sebesar 591,4 ribu ton dan 510,2 ribu ton. Volume ekspor beras Vietnam bulan Maret dan April turun masing-masing  14,1% dan 26% year on year (yoy).

Padahal dalam dua tahun terakhir, periode Maret dan April merupakan periode puncak ekspor beras Vietnam. Namun pada Mei Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc sepakat untuk membuka kembali keran ekspornya. Negeri Naga Biru diperkirakan akan mengekspor sebesar 6,5 juta ton sampai 6,7 juta ton beras tahun ini. 

Apa yang dilakukan oleh Vietnam adalah salah satu bentuk trade protectionism. Dampak dari pembatasan ekspor beras telah memicu kenaikan harga beras internasional hingga lebih dari US$ 100 per ton. Namun setelah Vietnam kembali memperbolehkan ekspornya, harga beras turun US$ 44.

Kenaikan harga yang signifikan pada akhirnya akan menyebabkan inflasi di negara importir dan membuat masyarakat miskin akan semakin menderita mengingat sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk makanan.

Jika harga beras semakin mahal dan terjadi panic buying maka pasokan akan semakin menipis yang pada ujungnya akan mendorong harga lebih tinggi. Masyarakat miskin akan semakin tersiksa dan akan jauh lebih susah mendapatkan makanan bergizi.

Mengutip Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, stok beras RI pada akhir Maret 2020 mencapai 3,45 juta ton, yang ada di Bulog 1,4 jt ton, di penggilingan 1,2 jt ton, di pedagang 754 ribu ton, dan di Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) 2.939 ton. Ini belum termasuk stok di masyarakat lainnya seperti di rumah tangga dan horeka.

Produksi April - Juni 2020 sekitar 10,5 juta ton, dengan prediksi penurunan 4% dari perkiraan produksi yang sudah dirilis BPS. Jika dikurangi dengan kebutuhan April-Juni sekitar 7,6 juta ton, dan ditambah dengan stok di akhir Maret, maka di akhir Juni ada surplus 6,4 jt ton.

Di Indonesia, stok beras dikabarkan mengalami defisit di 7 provinsi. Namun Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, Agung Hendriadi mengatakan, 7 provinsi yang mengalami defisit sebagaimana disampaikan Presiden akan dapat ditutupi oleh 27 provinsi lain yang mengalami surplus.

Meski stok masih mencatatkan surplus, harga beras sempat naik di berbagai pasar tradisional Tanah Air awal April lalu. Pemicunya adalah disrupsi rantai pasok sebagai akibat dari kapasitas pemrosesan yang lebih rendah, penutupan akses jalan dan pelabuhan hingga transportasi yang terbatas. 

Alhasil distribusi pangan dari produsen ke konsumen menjadi terganggu. Harga beras rata-rata minggu pertama April tercatat sebesar Rp 11.900/Kg atau naik 1,28% dari harga Desember 2019. 

Di wilayah-wilayah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti DKI Jakarta, harga beras di pasar-pasar tradisional bahkan mengalami kenaikan yang lebih tinggi. Di Jakarta saja harganya sempat menyentuh Rp 13.500/Kg.

Krisis pangan benar-benar menjadi ancaman serius bagi banyak negara terutama Indonesia. Ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya krisis pangan di Tanah Air seperti penurunan tenaga kerja di sektor pertanian, penurunan output hingga disrupsi transportasi dan logistik.

Dengan adanya pembatasan sosial yang masif yang terjadi di seluruh negeri, banyak orang harus 'terkurung' di dalam rumah dan mengerjakan seluruh aktivitasnya secara remote.

Namun sayangnya tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Sektor pertanian menjadi salah satu contohnya. Memang awalnya di pedesaan jumlah kasus infeksi Covid-19 tidak sebanyak di daerah urban.

Namun dengan banyaknya karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK di kota-kota besar seperti DKI Jakarta membuat mereka kehilangan mata pekerjaan dan memilih untuk pulang kampung.

Kondisi ini jelas sangat berisiko terutama dalam hal menyebabkan laju penyebaran wabah Covid-19 yang berpotensi meningkat di kampung halaman masing-masing. Pada akhirnya wabah menjadi semakin meluas dan pembatasan pun semakin digalakkan.

Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) akibat pandemi Covid-19 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian RI diperkirakan akan mengalami kontraksi 4,87% tahun ini.

Bayangkan saja jika jumlah pekerja yang sangat tergantung pada periode musiman ini harus terkontraksi. Padahal jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dalam negeri menyumbang angka yang paling besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja di sektor pertanian RI pada Februari 2020 proporsinya nyaris mencapai 30% sendiri. 

Ketika jumlah tenaga kerjanya mengalami penurunan maka dampaknya juga akan dirasakan dari sisi output. CIPS memperkirakan suplai agrikultur domestik akan terkontraksi sebesar 6,2% tahun ini. Turunnya angka tenaga kerja di sektor pertanian membuat pendapatan masyarakat Indonesia ikut terganggu. Daya beli masyarakat Tanah Air pun tergerus.

Indonesia memang tak bisa memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Beberapa komoditas pangan strategis Indonesia masih bertumpu pada impor. Namun yang menjadi permasalahan adalah negara eksportir produk agrikultur ke RI adalah China yang paling awal terjangkit wabah.

Indonesia mengimpor komoditas pangan strategis berupa bawang putih dari Negeri Tirai Bambu. Nilai impor agrikultur Indonesia dari China mencapai US$ 1,9 miliar pada 2018. China menjadi negara eksportir produk agrikultur terbesar keempat bagi Indonesia.

Dari total US$ 1,9 miliar impor produk pertanian RI dari China, impor bawang putih Indonesia dari China nilainya sebesar US$ 493,8 juta atau lebih dari 22%. Rata-rata konsumsi bawang putih Indonesia per tahunnya mencapai 500 ribu ton.

Laporan World Food Programme (WFP) menyebutkan bahwa pada 2018 dan 2019, impor bawang putih Tanah Air dari China proporsinya mencapai 99,6% dan 100%. Saat wabah Covid-19 merebak di Negeri Panda, lockdown diterapkan dan membuat rantai pasok mengalami gangguan.

Ketika rantai pasok China terganggu maka dampaknya juga terasa di Indonesia. Selain rantai pasoknya yang terdisrupsi masalah keamanan produk bawang putih asal China juga sempat menjadi isu yang disorot oleh banyak pihak.

Impor bawang putih pun menjadi terhambat. Stok bawang putih di pasaran menjadi menipis dan harga bawang putih melejit 35,64% pada Desember-April lalu. Harga bawang putih sempat dibanderol Rp 43.200/Kg. Kenaikan harga bawang putih berkontribusi besar terhadap inflasi beberapa bulan lalu.

Masalah impor juga dialami oleh komoditas lain seperti gula. Stok gula di pasaran menipis dan harga melonjak tajam. Meski harga gula pasir sudah menurun, tetapi harga masih jauh berada di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah Rp 12.500/Kg.

Saat ini harga 1 Kg gula pasir lokal masih dibanderol Rp 15.000/kg di berbagai pasar tradisional dalam negeri.

Isu penurunan suplai juga dialami oleh komoditas bawang merah. Kali ini penyebabnya bukan hanya wabah, tetapi juga faktor musim. Banjir yang merendam kawasan pertanian bawang merah di Brebes awal tahun ini membuat produksi menurun dan stok mengalami penipisan. Alhasil harganya naik tinggi.

Bahkan hingga 4 Juni lalu, harga bawang merah di pasaran tradisional nyaris menyentuh Rp 60.000/Kg.

Carut marut tata niaga di dalam negeri juga menjadi faktor yang harus diwaspadai karena dapat memperparah kondisi jika krisis pangan terjadi. Pada akhirnya Indonesia memang rentan terkena krisis pangan jika berkaca pada ancaman penurunan produksi, ketergantungan impor hingga masih buruknya tata niaga RI.

Ketika pasokan terancam menipis, harganya menjadi melonjak. Padahal di tengah badai pandemi pendapatan masyarakat cenderung tergerus. Jika krisis pangan terjadi rakyat akan menjadi semakin tercekik.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular