Harga Gas RI Lebih Murah dari Segelas Kopi, Sampai Kapan?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 June 2020 20:10
LNG
Foto: An LNG tanker is seen off the coast of Singapore February 3, 2017. REUTERS/Gloystein/File Photo/File

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah harga minyak anjlok hingga menyentuh level minus pada 25 April, kini giliran harga gas alam yang tertekan hingga menyentuh level terendahnya dan sempat di level minus. Bagaimana arah ke depannya?

Mengacu pada Revinitif, harga gas alam saat ini berada di level US$ 1,66 per juta metrik British Thermal Unit (MMBTU). Level itu mendekati rekor terendah tahun 2020 di level US$ 1,54 per MMBTU pada 2 April 2020, yang juga terendah sejak September 1995.

Sebenarnya koreksi harga gas alam itu telah terjadi sejak 2019, menjadi komoditas dengan kinerja terburuk pada tahun tersebut dengan anjlok lebih dari 25%. Pemicunya adalah produksi yang meningkat dan suplai yang tak terserap karena pelemahan permintaan.

Prospek sektor energi tersebut memang negatif, karena musim dingin yang tidak terlalu keras (sehingga memicu pesimisme seputar permintaan), di tengah produksi yang masih tinggi dan memicu oversuplai.

Nasdaq melaporkan bahwa stok gas alam yang disimpan di 48 negara bagian meningkat hanya 93 miliar kubik kaki (Bcf) per akhir 5 Juni, atau lebih rendah dari perkiraan pasar 95 Bcf. Angka peningkatan itu juga sedikit di bawah rerata dalam lima tahun yang sebesar 94 Bcf.

Meski dengan pelemahan tersebut, stok terhitung masih lebih dari tingkat konsumsi. Kapasitas penyimpanan gas di AS saat ini berada di level tertingginya, karena permintaan yang masih rendah dan pasar global liquefied natural gas (LNG) masih sangat lemah.

Secara fundamental, total suplai gas alam berada di kisaran 93,7 Bcf per hari. Di sisi lain, konsumsi harian statis di level 79,4 Bcf. Artinya, terjadi kelebihan suplai sebesar 14,3 Bcf per hari jika dibandingkan permintaan atau konsumsi yang ada.

Dalam beberapa pekan terakhir, harga gas alam bergerak di antara US$ 1,5-US$ 2 per MMBTU. Pandemi Covid-19 juga memangkas penggunaan gas alam di industri. Semuanya terjadi secara bersamaan ketika konsumsi juga melemah akibat musim dingin yang lebih hangat 2019-2020.

Inilah yang menyebabkan harga gas alam terjerembab ke kisaran US$ 1,5 per MMBTU atau sekitar Rp 21.000, alias lebih murah dari segelas es kopi kenangan mantan yang seharga Rp 24.000 per gelas.

Harga LNG ini berbeda jauh jika dibandingkan dengan masa kejayaannya pada era 2000, di mana harga ekspor bahkan bisa mencapai US$ 11 per MMBTU saat itu. 

Harga gas alam bakal menguat pada 2020-2021 karena produksi minyak mentah di AS yang turun, yang bakal diikuti penurunan produksi gas yang selama beberapa tahun terakhir berlebih dan menekan harga jual.

Energy Information Administration (EIA) melaporkan aktivitas pengeboran gas alam dan minyak telah menyentuh level terendahnya sejak rilis data pengeboran pertama migas oleh Baker Hughes Co. pada 1987.

Data terbaru EIA yang dirilis pada Rabu (20/5/2020) menunjukkan jumlah rig pengeboran yang aktif beroperasi turun 56%, atau 433 unit, sejak Maret 17 menyusul anjloknya permintaan energi utama dunia tersebut.

Kebanyakan penurunan pengeboran itu "terjadi di situs geology yang focus pada minyak, tetapi yang gas alam juga mencatat penurunan signifikan," tulis analis EIA Nicholas Skarzynski, dalam laporannya.

Sebanyak 71%, atau 308 di antara rig yang terhenti itu, berasal dari tiga wilayah utama di AS: cekungan Permian, retakan Eagle Ford Shale dan Bakken Shale. Ketiganya menyumbang penurunan sebesar 57%, 64% dan 69%, sejak pertengahan Maret.

gas alamSumber: EIA

Hal ini memicu ekspektasi bahwa harga gas akan membaik. Lembaga pemeringkat global Moody's Investors Service menilai harga gas yang lemah telah menekan kualitas kredit dan peringkat kredit perusahaan, tetapi akan membaik di akhir tahun karena penurunan produksi.

"Penurunan produksi minyak akan dibarengi penurunan produksi gas, sehingga mengatasi persoalan suplai yang berlebih dan membantu menstabilkan kualitas kredit dan kelayakan ekonomi produsen gas," ujar Andrew Brooks, analis Senior Moody's dalam laporan 10 Juni.

Oleh karena itu, EIA memperkirakan rerata harga acuan gas berada di level $3/MMBTU pada 2021. Sementara itu, produksi gas alam kering pada 2019 di kisaran 92,2 MMBTU per hari, naik 10% dari posisi 2018.

Sekitar 36% dari produksi tahun lalu berasal dari cekungan Appalachia's Marcellus dan Utica, dan 18% lain berasal dari cekungan Permia di Texas Barat.

Kenaikan tertinggi di Permian terjadi pada Agustus 2019 sebesar 36% menyentuh 18,3 MMBTU, menurut Texas Railroad Commission (TRC). Angka itu menyumbang separuh lebih kenaikan produksi gas AS secara total, disusul cekungan Appalachia sebesar 30%.

Ke depannya, EIA memperkirakan konsumsi gas alam AS akan turun 7%, tetapi produksi bakal tertekan lebih buruk, sebesar 8%, sering dengan anjloknya produksi minyak mentah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular