Benarkah China dan AS Kena Serangan Kedua Corona?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 June 2020 08:20
APTOPIX Virus Outbreak China Lockdown Lifted
Foto: Tes Massal Corona (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pekan lalu, pelaku pasar cemas bukan main soal kemungkinan serangan kedua wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Kecemasan itu kemudian mewujud dengan menghindari aset-aset berisiko.

Akibatnya, bursa saham dunia guncang. Pertengahan pekan lalu, Wall Street mengalami koreksi harian terdalam sejak 16 Maret.

Pasar keuangan Asia pun berguguran. Sepanjang pekan lalu, bursa saham, nilai mata uang, sampai harga obligasi negara-negara Benua Kuning melemah lumayan parah.

Sejatinya penularan virus corona mulai mereda sehingga banyak negara menerapkan pelonggaran kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Awalnya pelonggaran ini disambut gembira, karena melahirkan harapan akan pemulihan ekonomi mulai paruh kedua 2020.

Namun kini yang terjadi malah sebaliknya. Seiring pengenduran social distancing, interaksi dan kontak antar-manusia meningkat. Ini dipandang bakal membuat virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu kembali menyebar. Gelombang serangan kedua alias second wave outbreak, itu yang dikhawatirkan pelaku pasar (dan seluruh dunia).

China, negara ground zero penyebaran virus corona, kembali mencatatkan kenaikan jumlah pasien baru dalam besaran yang mencolok. Setelah cukup lama berada di zona nyaman, tiba-tiba jumlah pasien positif corona di China bertambah lagi.

Ditengarai penyebabnya adalah kluster baru dari sebuah pasar tradisional di Beijing. Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, pemerintah China memberlakukan karantina wilayah (lockdown) parsial.

"Beijing memasuki periode luar biasa," kata Xu Hejian, Juru Bicara Pemerintah Kota Beijing, seperti diberitakan Reuters.

Per 15 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di Negeri Tirai Bambu adalah 84.778 orang. Bertambah 49 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Pada 14 Juni, penambahan kasus baru adalah 58 orang. Ini menjadi penambahan terbanyak sejak 17 April. Jadi dalam dua hari terakhir, 107 orang terinfeksi virus corona.

Secara persentase, laju pertumbuhan kasus baru pada 15 Juni adalah 0,06% dibandingkan hari sebelumnya. Sementara pada 14 Juni, lajunya adalah 0,07%, tercepat sejak 17 April.

Kalau dibandingkan Indonesia, misalnya, tambahan kasus di China mungkin biasa saja. Namun buat China, tambahan sebesar itu sudah boleh dibilang mencemaskan.

Pasalnya, sejak 21 April belum pernah tambahan pasien baru di China lebih dari 30 orang per hari. Jadi kalau ada tambahan lebih dari 40 orang apalagi 50 orang, ya rasanya gimana gitu...

Selain di China, pelaku pasar juga mencemaskan Amerika Serikat (AS). US Centers for Disease Control dan Prevention melaporkan jumlah pasien positif corona per 15 Juni adalah 2.085.769 orang. Bertambah 21.957 orang atau 1,06% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Pada 8-10 Juni, tambahan kasus baru di Negeri Paman Sam sudah di bawah 20.000 per hari. Namun dalam lima hari terakhir, tambahannya di atas 20% per hari.

Secara persentase, pertumbuhan kasus di AS juga fluktuatif, turun-naik. Pada 8-10 Juni, laju pertumbuhannya di bawah 1% per hari. Akan tetapi dalam lima hari terakhir, lajunya kembali di atas 1%.

Kalau melihat di beberapa negara bagian, kondisinya agak mencemaskan. Di Texas, penambahan pasien baru menembus rekor selama dua hari beruntun. Rekor juga terjadi di Arizona, di mana tambahan pasien baru mencapai hampir 1.300 orang dalam sehari.

"Sepertinya sudah ada batasan baru di Arizona. Hal yang mencemaskan adalah kemungkinan akan ada negara bagian yang kembali mengalami lonjakan kasus padahal sebelumnya sudah ada tren penurunan," kata Jared Baeten, Epidemiolog Unversity of Washington, sebagaimana diwartakan Reuters.

Pekan lalu, Arizona, Utah, dan New Mexico masing-masing mengalami kenaikan kasus sekitar 40% dibandingkan pekan sebelumnya. Sedangkan Florida, Arkansas, South Carolina, dan North Carolina mencatatkan kenaikan 30%.

Well, kalau melihat perkembangan di China dan AS, maka kekhawatiran akan second wave outbreak ada benarnya. Namun kalau kemudian langkah yang diambil adalah kembali mengetatkan social distancing, konsekuensinya juga tidak enteng.

Pengetatan social distancing akan membuat roda ekonomi tidak berputar. Ini yang terjadi pada kuartal I dan II tahun ini. Pelonggaran social distancing memberi harapan bahwa situasi akan membaik pada semester II-2020.

Namun kalau sampai terjadi second wave outbreak, dan kemudian social distancing dikencangkan lagi, harapan perbaikan itu akan sirna. Periode kontraksi akan semakin panjang, derita resesi semakin lama.

Oleh karena itu, kalau kita terus-menerus menghindar dari virus ini dengan menerapkan social distancing secara murni dan konsekuen, maka bisa jadi akan menimbulkan korban yang mungkin lebih banyak. Bukan karena virus, tetapi karena kelaparan akibat tidak ada penghasilan seiring perekonomian yang mati suri.

Oleh karena itu, jalan tengahnya adalah menjalani new normal. Hidup berdampingan dengan virus corona disertai kepatuhan akan protokol kesehatan. Kuncinya adalah tertib menjaga jarak dan menjaga kebersihan. Jika ini dilakukan dengan konsisten, maka peluang second wave outbreak bisa diminimalkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular