Tak Rela Bayar Iuran Tapera, Pengusaha Serahkan ke Negara

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
11 June 2020 20:12
Awal Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat capaian Program Satu Juta Rumah sebanyak 765.120 unit rumah, didominasi oleh pembangunan rumah bagi  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar 70 persen, atau sebanyak 619.868 unit, sementara rumah non-MBR yang terbangun sebesar 30 persen, sebanyak 145.252 unit.
Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, sekitar 20 persen merupakan rumah yang dibangun oleh Kementerian PUPR berupa rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya maupun bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU), 30 persen lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsisdi selisih bunga dan bantuan uang muka. Selebihnya dipenuhi melalui pembangunan rumah non subsidi oleh pengembang.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, rumah tapak masih digemari kelas menengah ke bawah.
Kontribusi serapan properti oleh masyarakat menengah ke bawah terhadap total penjualan properti mencapai 70%.
Serapan sebesar 200.000 unit ini, akan terus meningkat pada tahun 2018 menjadi 250.000 unit.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Iuran program tabungan perumahan rakyat (Tapera) akan berlaku 2021 berupa potongan 3% gaji pekerja swasta maupun PNS. Pengusaha mendapatkan beban 0,5% dan pekerja 2,5%.

Pengusaha tak rela membayar iuran untuk mendukung fasilitas pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dengan tegas menolak program ini karena menganggap itu seharusnya merupakan urusan oleh negara.

"Masyarakat berpenghasilan rendah itu urusannya negara. Negara yang tanggung jawab. Kan di Undang-Undang Dasar kita seperti itu. Yang bekerja punya jaminan sendiri, jangan sampai nanti pemerintahnya nggak laksanakan tugasnya, terus ngerecokin yang lain. Yang sebetulnya bukan porsi mereka untuk tangani," kata Hariyadi dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, Kamis (11/6).

Ia mengusulkan sebaiknya pegawai swasta, BUMN maupun mandiri menggunakan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah ada. Yakni dalam pembiayaaan penyediaan rumah bisa melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan. Sebaliknya, Tapera bisa dimanfaatkan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI serta Polri, termasuk di dalamnya MBR.

Hariyadi pun menilai, dari pernyataan Komisioner BP Tapera Adi Setianto bahwa tidak semua pegawai yang gajinya dipotong bakal mendapat menerima manfaat sebagaimana sudah diatur dari SJSN yang sudah ada.

"Kalau ikut program Tapera itu belum ada jaminan semua bisa dapat. Beliau ngomong gitu ya, dan fokusnya hanya kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang gajinya Rp 4-5 juta. Dari jawaban itu kan bisa dilihat apakah optimal atau tidak," sebutnya.

Penolakan juga karena program baru ini tidak sejalan dengan aturan yang sudah ada. Padahal, seharusnya SJSN memiliki satu integrasi yang sama.

"Tabungan perumahan udah diadopsi BPJS Ketenagakerjaan dalam program manfaat layanan tambahan (MLT). Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasar UU 40 tahun 2004 diamanatkan kita miliki 2 BPJS," sebut Hariyadi.

Sebaliknya, Tapera yang berdasar UU Nomor 4 tahun 2016 induknya bukan ke Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun berinduk ke UU 1 tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman, dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Sehingga Hariyadi menilai antar program ini sejak awal tidak disinkronkan, bahkan juga dipaksakan.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ogah Bayar Iuran Tapera Pekerja, Ini Sederet Alasan Pengusaha

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular