
Internasional
Sosok George Floyd & Black Live Matter yang Panaskan AS
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
04 June 2020 17:00

Rasisme masih hidup dan ketimpangan masih merajalela di AS. The Economist melaporkan warga kulit hitam di Negeri Adidaya masih mengalami disparitas ekonomi, kesehatan bahkan hukum.
Berdasarkan data biro sensus AS, pendapatan warga Afrika-Amerika hanya 3/5 dari warga kulit putih non-Hispanik. Pada 2018, rata-rata pendapatan keluarga kulit hitam AS tercatat hanya sebesar US$ 41.400. Masih jauh lebih rendah dari warga kulit putih yang pendapatannya menyentuh nominal US$ 70.600.
Privilese atau hak istimewa yang dimiliki warga kulit putih membuka lebar jarak dengan warga kulit hitam. Memang jarak ini sejatinya sudah menurun sejak tahun 1970-2000, namun setelah itu kondisi kembali memburuk.
Namun jarak tersebut akan kembali melebar mengingat warga kulit hitam lebih banyak menjadi pekerja yang membutuhkan keterampilan rendah. Ketimpangan kekayaan antara si hitam dan si miskin bahkan lebih lebar dari gap pendapatannya.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Federal Reserve Board pada tahun 2017, median kekayaan orang Afrika-Amerika hanya sepersepuluh dari orang kulit putih non-Hispanik: US$ 17.600, dibandingkan dengan US$ 171.000.
Orang kulit hitam dua kali lebih banyak daripada orang kulit putih yang memiliki nilai kekayaan bersih nol atau negatif (dengan utang lebih besar dari aset). Warga kulit hitam juga dua kali lebih banyak ditolak kredit atau terlambat membayar cicilan dalam 60 hari terakhir.
Lebih dari dua kali lipat warga kulit hitam yang mengatakan mereka tidak dapat membayar semua tagihan dalam kondisi normal; hanya 43% mengatakan mereka dapat meminjam US$ 3.000 dalam keadaan darurat dari keluarga atau teman.
Angka ini jelas jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 71% orang kulit putih. Secara finansial, lebih banyak orang Afrika-Amerika yang tinggal di dekat pinggiran daripada orang kulit putih.
Berdasarkan data dari Tim Riset CNBC Indonesia, setidaknya ada sebanyak 12,2% orang Afrika-Amerika tidak memiliki asuransi karena mereka memiliki lebih banyak masalah kesehatan kronis yang membuat akses untuk mendapatkan asuransi menjadi lebih terbatas.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, orang Afrika-Amerika berusia 18 hingga 49 tahun dua kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit jantung dibandingkan orang kulit putih, 50% lebih mungkin memiliki tekanan darah tinggi dan hampir dua kali lebih mungkin menderita diabetes.
Sebuah studi yang dilakukan Patrick Bayer dari Duke University dan Kerwin Charles dari University of Chicago mengatakan sebanyak 35% pria berkulit hitam berusia muda dalam keadaan menganggur atau keluar dari pekerjaan. Angka tersebut dua kali lipat dari jumlah orang kulit putih.
Jumlah yang sangat besar ini tampaknya dapat dihubungkan dengan tingginya tingkat penahanan orang Afrika-Amerika: selain mereka yang dipenjara, banyak yang menyerah mencari pekerjaan karena ditolak oleh pemberi kerja yang tidak mau memberikan kesempatan pada mantan narapidana.
Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Michigan dan British Columbia menemukan bahwa orang kulit hitam dan Hispanik mendapatkan hukuman yang lebih lama untuk kejahatan yang sama.
Studi lain berpendapat bahwa ini disebabkan karena hakim tidak berpikir orang kulit hitam dapat membayar denda, jika mereka dibebaskan, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan akan kembali ke kriminalitas.
Dengan kata lain, kemiskinan dan pengangguran membuat praktik hukuman lebih keras bagi orang kulit hitam, dan praktik itu membuat orang kulit hitam lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Oleh sebab itu, perbedaan dari sisi supremasi hukum inilah yang jadi jantung protes atas kematian George Floyd, hal ini juga makin memperkuat alasan lain, yakni ketidaksetaraan penghasilan dan pekerjaan.
Meskipun dunia sudah bergerak maju dengan pelbagai inovasinya, nyatanya masih banyak data yang menunjukkan bahwa kesenjangan di berbagai aspek antara si hitam dan si putih masih ada di tengah dengung keras nilai-nilai inklusivitas.
(sef/sef)
Berdasarkan data biro sensus AS, pendapatan warga Afrika-Amerika hanya 3/5 dari warga kulit putih non-Hispanik. Pada 2018, rata-rata pendapatan keluarga kulit hitam AS tercatat hanya sebesar US$ 41.400. Masih jauh lebih rendah dari warga kulit putih yang pendapatannya menyentuh nominal US$ 70.600.
Privilese atau hak istimewa yang dimiliki warga kulit putih membuka lebar jarak dengan warga kulit hitam. Memang jarak ini sejatinya sudah menurun sejak tahun 1970-2000, namun setelah itu kondisi kembali memburuk.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Federal Reserve Board pada tahun 2017, median kekayaan orang Afrika-Amerika hanya sepersepuluh dari orang kulit putih non-Hispanik: US$ 17.600, dibandingkan dengan US$ 171.000.
Orang kulit hitam dua kali lebih banyak daripada orang kulit putih yang memiliki nilai kekayaan bersih nol atau negatif (dengan utang lebih besar dari aset). Warga kulit hitam juga dua kali lebih banyak ditolak kredit atau terlambat membayar cicilan dalam 60 hari terakhir.
Lebih dari dua kali lipat warga kulit hitam yang mengatakan mereka tidak dapat membayar semua tagihan dalam kondisi normal; hanya 43% mengatakan mereka dapat meminjam US$ 3.000 dalam keadaan darurat dari keluarga atau teman.
Angka ini jelas jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 71% orang kulit putih. Secara finansial, lebih banyak orang Afrika-Amerika yang tinggal di dekat pinggiran daripada orang kulit putih.
Berdasarkan data dari Tim Riset CNBC Indonesia, setidaknya ada sebanyak 12,2% orang Afrika-Amerika tidak memiliki asuransi karena mereka memiliki lebih banyak masalah kesehatan kronis yang membuat akses untuk mendapatkan asuransi menjadi lebih terbatas.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, orang Afrika-Amerika berusia 18 hingga 49 tahun dua kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit jantung dibandingkan orang kulit putih, 50% lebih mungkin memiliki tekanan darah tinggi dan hampir dua kali lebih mungkin menderita diabetes.
Sebuah studi yang dilakukan Patrick Bayer dari Duke University dan Kerwin Charles dari University of Chicago mengatakan sebanyak 35% pria berkulit hitam berusia muda dalam keadaan menganggur atau keluar dari pekerjaan. Angka tersebut dua kali lipat dari jumlah orang kulit putih.
Jumlah yang sangat besar ini tampaknya dapat dihubungkan dengan tingginya tingkat penahanan orang Afrika-Amerika: selain mereka yang dipenjara, banyak yang menyerah mencari pekerjaan karena ditolak oleh pemberi kerja yang tidak mau memberikan kesempatan pada mantan narapidana.
Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Michigan dan British Columbia menemukan bahwa orang kulit hitam dan Hispanik mendapatkan hukuman yang lebih lama untuk kejahatan yang sama.
Studi lain berpendapat bahwa ini disebabkan karena hakim tidak berpikir orang kulit hitam dapat membayar denda, jika mereka dibebaskan, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan akan kembali ke kriminalitas.
Dengan kata lain, kemiskinan dan pengangguran membuat praktik hukuman lebih keras bagi orang kulit hitam, dan praktik itu membuat orang kulit hitam lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Oleh sebab itu, perbedaan dari sisi supremasi hukum inilah yang jadi jantung protes atas kematian George Floyd, hal ini juga makin memperkuat alasan lain, yakni ketidaksetaraan penghasilan dan pekerjaan.
Meskipun dunia sudah bergerak maju dengan pelbagai inovasinya, nyatanya masih banyak data yang menunjukkan bahwa kesenjangan di berbagai aspek antara si hitam dan si putih masih ada di tengah dengung keras nilai-nilai inklusivitas.
(sef/sef)
Pages
Most Popular