
Kerusuhan George Floyd Tewas, SBY Takut Trump Salah langkah
dob, CNBC Indonesia
03 June 2020 20:54

Jakarta, CNBC Indonesia- Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ikut angkat bicara mengenai kerusuhan yang meluas di Amerika Serikat pasca tewasnya warga kulit hitam George Floyd akibat penganiayaan oknum polisi Minneapolis.
Dalam tulisan yang diunggah ke media sosial, SBY mengatakan ada sejumlah skenario yang menurut bisa terjadi pasca George Floyd tewas. "Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh itu bisa diredakan.
"Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh pemerintah, tutur SBY.
Sementara itu, dalam skenario kedua, unjuk rasa makin meluas. Gabungan unsur polisi, National Guard dan elemen tentara federal (misalnya polisi militer) tak mampu menghentikan atau meredakannya. Para Gubernur dan Walikota dengan "resources" yang ada tak juga bisa mengatasi keadaan. Pemerintah Federal "terpaksa" melakukan negosiasi dengan elemen perlawanan masyarakat dengan pemberian konsesi tertentu.
"Saya membayangkan negosiasinya tentu tak mudah. Konsesi (deal) apa yang bisa dicapai juga tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sulit diyakini bahwa Trump punya pikiran dan bersedia untuk melakukan kompromi dengan mereka yang menuntut keadilan itu," tambah SBY.
Adapun skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk. Aksi-aksi kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang "tegas dan keras".
Dalam skenario ketiga ini pemulihan ketertiban dan keamanan (law and order) diambil alih oleh pemerintah pusat. Presiden selaku "Commander-in-Chief" mengerahkan tentara federal (US Military Forces) untuk menanganinya.
"Sebenarnya dalam sejarah Amerika hal begini tidak lazim, namun tidak berarti tidak akan terjadi. Dua hari ini saya menyimak apa yang disampaikan oleh Presiden Trump bahwa setelah dia menilai para gubernur dan walikota umumnya lembek, akan dikerahkan kekuatan militer Amerika untuk mengatasi aksi-aksi protes yang dibarengi kerusuhan dan penjarahan ini," ujar SBY.
Menurutnya, di samping 3 skenario itu tentu masih ada skenario yang lain. Negara manapun, tuturnya, selalu memiliki rencana kontijensi.
"Jika situasi berubah total dan rencana operasi yang telah disiapkan gagal mencapai tujuan, dengan cepat akan disiapkan penggantinya. Hal ini menjadi domain dari institusi yang tugas pokoknya berkaitan dengan dunia pertahanan, keamanan dalam negeri (internal security) dan keamanan publik," ujarnya.
SBY kebuh menyoroti skenario ketiga daripada 2 skenario lainnya. Sebabnya, hal ini membawa risiko dan konsekuensi yang tidak kecil, baik secara politik, hukum, sosial maupun keamanan. Selaib ityu, juga berdampak pada citra Amerika Serikat di dunia.
"Sebagai sahabat Amerika, saya sungguh tidak berharap skenario ketiga ini yang terjadi. Atau opsi untuk menggunakan kekuatan militer (US Army) ini yang akan ditempuh. Kecuali kalau situasinya memang sangat gawat dan keamanan nasional negara itu benar-benar terancam," ujarnya,
Dia menilai ada keinginan dan rencana Presiden Trump untuk mengerahkan kekuatan militer untuk berhadapan dengan rakyatnya sendiri, meskipun sebelumnya belum pernah terjadi.
"Ingat saya, ketika terjadi gelombang protes di akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an (menentang pelibatan tentara Amerika di Vietnam), tentara reguler juga tak diturunkan. Yang dikerahkan sepertinya adalah National Guard. Menghadapi gelombang unjuk rasa yang marak di banyak kota waktu itu juga hampir tidak terjadi bentrokan yang membawa korban jiwa," ujarnya.
Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, SBY khawatir kalau Trump salah hitung sehingga perlawanan para pengunjuk rasa itu kian menguat dan membesar. "Yang berbahaya jika sikap "keras" Trump berhadapan dengan sikap pengunjuk rasa yang makin militan. Benturan yang lebih besar pasti terjadi," ujarnya.
Sementara itu, SBY mengamati ada pihak yang kurang nyaman dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut kemarahan masyarakat yang sedang marah itu. Selanjutnya sebagian pemimpin daerah itu juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan. Artinya, Trump juga menghadapi "pembangkangan" dari sejumlah pemimpin daerah.
Dia menegaskan bahwa sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin yang kuat yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki jatuh. Sebesar apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah bergerak, tumbang juga mereka.
"Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal terjadi di Amerika. Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili mayoritas rakyat Amerika," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Streaming: SBY Bicara Soal Krisis Gara-gara Pandemi Covid-19
Dalam tulisan yang diunggah ke media sosial, SBY mengatakan ada sejumlah skenario yang menurut bisa terjadi pasca George Floyd tewas. "Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh itu bisa diredakan.
"Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh pemerintah, tutur SBY.
"Saya membayangkan negosiasinya tentu tak mudah. Konsesi (deal) apa yang bisa dicapai juga tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sulit diyakini bahwa Trump punya pikiran dan bersedia untuk melakukan kompromi dengan mereka yang menuntut keadilan itu," tambah SBY.
Adapun skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk. Aksi-aksi kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang "tegas dan keras".
Dalam skenario ketiga ini pemulihan ketertiban dan keamanan (law and order) diambil alih oleh pemerintah pusat. Presiden selaku "Commander-in-Chief" mengerahkan tentara federal (US Military Forces) untuk menanganinya.
"Sebenarnya dalam sejarah Amerika hal begini tidak lazim, namun tidak berarti tidak akan terjadi. Dua hari ini saya menyimak apa yang disampaikan oleh Presiden Trump bahwa setelah dia menilai para gubernur dan walikota umumnya lembek, akan dikerahkan kekuatan militer Amerika untuk mengatasi aksi-aksi protes yang dibarengi kerusuhan dan penjarahan ini," ujar SBY.
Menurutnya, di samping 3 skenario itu tentu masih ada skenario yang lain. Negara manapun, tuturnya, selalu memiliki rencana kontijensi.
"Jika situasi berubah total dan rencana operasi yang telah disiapkan gagal mencapai tujuan, dengan cepat akan disiapkan penggantinya. Hal ini menjadi domain dari institusi yang tugas pokoknya berkaitan dengan dunia pertahanan, keamanan dalam negeri (internal security) dan keamanan publik," ujarnya.
SBY kebuh menyoroti skenario ketiga daripada 2 skenario lainnya. Sebabnya, hal ini membawa risiko dan konsekuensi yang tidak kecil, baik secara politik, hukum, sosial maupun keamanan. Selaib ityu, juga berdampak pada citra Amerika Serikat di dunia.
"Sebagai sahabat Amerika, saya sungguh tidak berharap skenario ketiga ini yang terjadi. Atau opsi untuk menggunakan kekuatan militer (US Army) ini yang akan ditempuh. Kecuali kalau situasinya memang sangat gawat dan keamanan nasional negara itu benar-benar terancam," ujarnya,
Dia menilai ada keinginan dan rencana Presiden Trump untuk mengerahkan kekuatan militer untuk berhadapan dengan rakyatnya sendiri, meskipun sebelumnya belum pernah terjadi.
"Ingat saya, ketika terjadi gelombang protes di akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an (menentang pelibatan tentara Amerika di Vietnam), tentara reguler juga tak diturunkan. Yang dikerahkan sepertinya adalah National Guard. Menghadapi gelombang unjuk rasa yang marak di banyak kota waktu itu juga hampir tidak terjadi bentrokan yang membawa korban jiwa," ujarnya.
Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, SBY khawatir kalau Trump salah hitung sehingga perlawanan para pengunjuk rasa itu kian menguat dan membesar. "Yang berbahaya jika sikap "keras" Trump berhadapan dengan sikap pengunjuk rasa yang makin militan. Benturan yang lebih besar pasti terjadi," ujarnya.
Sementara itu, SBY mengamati ada pihak yang kurang nyaman dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut kemarahan masyarakat yang sedang marah itu. Selanjutnya sebagian pemimpin daerah itu juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan. Artinya, Trump juga menghadapi "pembangkangan" dari sejumlah pemimpin daerah.
Dia menegaskan bahwa sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin yang kuat yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki jatuh. Sebesar apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah bergerak, tumbang juga mereka.
"Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal terjadi di Amerika. Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili mayoritas rakyat Amerika," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Streaming: SBY Bicara Soal Krisis Gara-gara Pandemi Covid-19
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular