
Kurva Corona RI Belum Landai, Beneran Mau New Normal?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 May 2020 06:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia masih terus bertambah. Kurva belum benar-benar bisa dibilang melandai.
Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 27 Mei 2020 adalah 23.851 orang. Bertambah 686 orang atau 2,96% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.
Persentase pertumbuhan kasus corona di Indonesia belum stabil, masih terjadi fluktuasi. Dalam tiga hari selama 24-26 Mei ada perbaikan di mana lajunya melambat. Namun pada 27 Mei meninggi lagi, masih naik-turun.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata kenaikan kasus corona di Indonesia adalah 3,16% per hari. Masih di atas rata-rata global yaitu 2,01% per hari.
Apalagi walau sudah dilarang oleh pemerintah, masih ada warga yang nekat mudik ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri. Kini para pemudik itu sedang memasuki fase arus balik. Mobilitas jarak jauh seperti ini rentan membawa virus, sehingga bukan tidak mungkin kasus corona akan bertambah signifikan.
Oleh karena itu, wacana untuk kembali membuka keran aktivitas masyarakat dalam label kenormalan baru (new normal) mengundang kontroversi. Jika kasus masih terus bertambah dan puncak belum terlihat, apakah memang sudah saatnya untuk mengendurkan pembatasan sosial (social distancing)?
Perlu diingat bahwa virus corona menyukai kerumunan. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini akan mudah menyebar ketika terjadi peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia.
New normal memang bukan seperti dulu, di mana setiap orang seakan bebas melakukan apa saja. Memang ada aktivitas yang sudah diperbolehkan lagi, tetapi tetap mengikuti protokol kesehatan selagi vaksin dan obat penawar virus corona belum tersedia. Namun tetap saja terjadi kenaikan intensitas interaksi, yang membuat virus lebih mudah menjalar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi wanti-wanti bahwa saat ini penyebaran virus corona bahkan belum memasuki gelombang kedua (second wave outbreak). "Secara global, kita masih di pertengahan gelombang pertama," kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif WHO, seperti dikutip dari Reuters.
Artinya, puncak pandemi ini belum terlihat, kita masih separuh jalan. Ke depan, jumlah kasus masih akan terus meningkat.
"Anda perlu melanjutkan apa yang sudah dilakukan. Tetap di rumah," tegas Ryan.
Akan tetapi, tetap #dirumahaja juga bukan tanpa konsekuensi. Aktivitas publik yang sangat terbatas karena harus bekerja, belajar, dan beribadah di rumah membuat ekonomi seakan mati suri.
Pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sampai 3%, terendah sejak 2001. Bahkan sepertinya kondisi bakal lebih parah pada kuartal II-2020.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi April-Juni 2020 adalah 0,4%, tetapi tidak sedikit yang memperkirakan bakal ada kontraksi (pertumbuhan negatif). Moody's Analytics memperkirakan ekonomi terkontraksi -3,9% pada kuartal II-2020. Mirae Asset juga memperkirakan terjadi kontraksi pada kuartal II-2020, tepatnya di -1,5%.
Ekonomi yang menyusut mencerminkan lapangan kerja yang mengkerut. Ini bisa terlihat dari jumlah iklan lowongan kerja.
BPS mencatat iklan lowongan kerja di berbagai sektor selama Januari-April konsisten mengalami penurunan. Apa mau dikata, aktivitas ekonomi sedang lesu sehingga dunia usaha sebisa mungkin berhemat apa yang bisa dihemat. Salah satunya adalah biaya gaji pegawai, sehingga rekrutmen karyawan baru menjadi berkurang drastis.
Tidak hanya itu, BPS juga mengungkapkan bahwa pencarian kata 'Kartu Prakerja' mengalami peningkatan. Artinya semakin banyak orang yang tertarik dengan program tersebut karena sudah tidak lagi memiliki penghasilan.
Apabila situasi macam ini berkepanjangan, maka keresahan ekonomi akan menjelma menjadi keresahan sosial (social unrest). Rasa frustrasi dan ketidakpuasan bisa mendorong orang-orang untuk melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Seperti kalimat yang diucapkan Joker dalam film The Dark Knight, kegilaan itu seperti gravitasi. Hanya butuh satu dorongan kecil untuk jatuh ke sana.
Oleh karena itu, bagaimana pun aktivitas masyarakat dan roda ekonomi harus berputar lagi. Jangan sampai menunggu terlalu lama, sebab bisa memicu apa yang dikatakan Joker. Madness...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Kementerian Kesehatan mencatat jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 27 Mei 2020 adalah 23.851 orang. Bertambah 686 orang atau 2,96% dibandingkan posisi per hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata kenaikan kasus corona di Indonesia adalah 3,16% per hari. Masih di atas rata-rata global yaitu 2,01% per hari.
Apalagi walau sudah dilarang oleh pemerintah, masih ada warga yang nekat mudik ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri. Kini para pemudik itu sedang memasuki fase arus balik. Mobilitas jarak jauh seperti ini rentan membawa virus, sehingga bukan tidak mungkin kasus corona akan bertambah signifikan.
Oleh karena itu, wacana untuk kembali membuka keran aktivitas masyarakat dalam label kenormalan baru (new normal) mengundang kontroversi. Jika kasus masih terus bertambah dan puncak belum terlihat, apakah memang sudah saatnya untuk mengendurkan pembatasan sosial (social distancing)?
Perlu diingat bahwa virus corona menyukai kerumunan. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini akan mudah menyebar ketika terjadi peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia.
New normal memang bukan seperti dulu, di mana setiap orang seakan bebas melakukan apa saja. Memang ada aktivitas yang sudah diperbolehkan lagi, tetapi tetap mengikuti protokol kesehatan selagi vaksin dan obat penawar virus corona belum tersedia. Namun tetap saja terjadi kenaikan intensitas interaksi, yang membuat virus lebih mudah menjalar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi wanti-wanti bahwa saat ini penyebaran virus corona bahkan belum memasuki gelombang kedua (second wave outbreak). "Secara global, kita masih di pertengahan gelombang pertama," kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif WHO, seperti dikutip dari Reuters.
Artinya, puncak pandemi ini belum terlihat, kita masih separuh jalan. Ke depan, jumlah kasus masih akan terus meningkat.
"Anda perlu melanjutkan apa yang sudah dilakukan. Tetap di rumah," tegas Ryan.
Akan tetapi, tetap #dirumahaja juga bukan tanpa konsekuensi. Aktivitas publik yang sangat terbatas karena harus bekerja, belajar, dan beribadah di rumah membuat ekonomi seakan mati suri.
Pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sampai 3%, terendah sejak 2001. Bahkan sepertinya kondisi bakal lebih parah pada kuartal II-2020.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi April-Juni 2020 adalah 0,4%, tetapi tidak sedikit yang memperkirakan bakal ada kontraksi (pertumbuhan negatif). Moody's Analytics memperkirakan ekonomi terkontraksi -3,9% pada kuartal II-2020. Mirae Asset juga memperkirakan terjadi kontraksi pada kuartal II-2020, tepatnya di -1,5%.
Ekonomi yang menyusut mencerminkan lapangan kerja yang mengkerut. Ini bisa terlihat dari jumlah iklan lowongan kerja.
BPS mencatat iklan lowongan kerja di berbagai sektor selama Januari-April konsisten mengalami penurunan. Apa mau dikata, aktivitas ekonomi sedang lesu sehingga dunia usaha sebisa mungkin berhemat apa yang bisa dihemat. Salah satunya adalah biaya gaji pegawai, sehingga rekrutmen karyawan baru menjadi berkurang drastis.
Tidak hanya itu, BPS juga mengungkapkan bahwa pencarian kata 'Kartu Prakerja' mengalami peningkatan. Artinya semakin banyak orang yang tertarik dengan program tersebut karena sudah tidak lagi memiliki penghasilan.
![]() |
Apabila situasi macam ini berkepanjangan, maka keresahan ekonomi akan menjelma menjadi keresahan sosial (social unrest). Rasa frustrasi dan ketidakpuasan bisa mendorong orang-orang untuk melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Seperti kalimat yang diucapkan Joker dalam film The Dark Knight, kegilaan itu seperti gravitasi. Hanya butuh satu dorongan kecil untuk jatuh ke sana.
Oleh karena itu, bagaimana pun aktivitas masyarakat dan roda ekonomi harus berputar lagi. Jangan sampai menunggu terlalu lama, sebab bisa memicu apa yang dikatakan Joker. Madness...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular