AS Dapat 300 Juta Dosis Vaksin Corona, Lainnya Kebagian Apa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
22 May 2020 15:25
Trump tidak memakai masker saat berkunjung di pabrik Honeywell. AP/Evan Vucci
Foto: Trump tidak memakai masker saat berkunjung di pabrik Honeywell. AP/Evan Vucci
Jakarta, CNBC Indonesia - Vaksin penangkal virus corona (Covid-19) masih dalam tahap perkembangan dan belum diproduksi. Namun kekhawatiran akan pasokan yang terbatas saat permintaan tinggi membuat Amerika Serikat (AS) ambil ancang-ancang ambil 'jatah' vaksin duluan.

AS telah mendapatkan hampir sepertiga dari satu miliar dosis pertama vaksin Covid-19 eksperimental produksi AstraZeneca dengan menjanjikan hingga US$ 1,2 miliar, ketika banyak negara di dunia berebut obat-obatan untuk memacu roda perekonomian mereka.

Meskipun belum bisa dibuktikan bahwa vaksin dapat secara efektif melawan virus corona, penangkal ini dipandang sebagai satu-satunya cara nyata untuk memulai kembali ekonomi mereka yang macet dan bahkan untuk mendapatkan keunggulan dari pesaing global oleh para pemimpin dunia.

Setelah Presiden Donald Trump menuntut vaksin, Departemen Kesehatan AS setuju untuk menyediakan dana hingga US$ 1,2 miliar untuk mempercepat pengembangan vaksin AstraZeneca dan mengamankan 300 juta dosis untuk Amerika Serikat. Kesepakatan ini memungkinkan uji klinis vaksin tahap akhir yakni fase III dapat dilakukan terhadap 30.000 orang.

"Kontrak ini dengan AstraZeneca adalah tonggak utama dalam pekerjaan Operation Warp Speed menuju vaksin yang aman, efektif, tersedia secara luas pada tahun 2021," kata Sekretaris Kesehatan AS Alex Azar.

Vaksin, yang sebelumnya dikenal sebagai ChAdOx1 nCoV-19 dan sekarang sebagai AZD1222, dikembangkan oleh University of Oxford dan dilisensikan kepada produsen obat Inggris AstraZeneca. 

AstraZeneca, yang berbasis di Cambridge, Inggris, mengatakan telah menyelesaikan perjanjian untuk setidaknya 400 juta dosis vaksin dan mengamankan kapasitas produksi untuk satu miliar dosis, dengan pengiriman pertama akan dimulai pada bulan September.

Permintaan yang tinggi di saat pasokan yang terbatas membuat distribusi vaksin yang merata sangatlah sulit untuk dicapai. Mewujudkan cita-cita vaksinasi Covid-19 secara global adalah cita-cita luhur yang sangat sulit diwujudkan. 

Tak hanya harus berjuang melawan musuh ultra mikroskopik yang ganas, umat manusia juga dihadapkan pada kompetisi intraspesies untuk mendapatkan penangkal virus alias vaksin. 

Negara-negara yang memproduksi vaksin maupun negara yang berinvestasi dalam proyek pengembangan vaksin tentu saja menjadi negara yang dapat prioritas utama mendapatkan 'sang penangkal'. Sementara itu nasib negara-negara lain masih belum jelas apakah bisa mengakses vaksin atau tidak. Ya, inilah kenyataan yang dilematis.

"Bahkan jika vaksin dibuat dalam skala yang masif, tampaknya tidak ada cara untuk memaksa negara yang meproduksi untuk membagikannya. Selama pandemi influenza H1N1 2009, Australia adalah yang pertama memproduksi vaksin, tetapi Negeri Kangguru tidak segera mengekspornya karena menginginkan vaksin untuk warganya terlebih dahulu," kata Amesh Adalja dari Pusat Keamanan Kesehatan John Hopkins di Baltimore, Maryland mengutip Nature.

"Sebagian besar negara memiliki undang-undang yang berlaku yang memungkinkan pemerintah memaksa produsen untuk menjual di dalam negeri, dan saya tidak melihat perubahan ini," katanya.

Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) mengatakan bahwa belum ada kesepakatan tentang prinsip atau aturan untuk sistem alokasi yang adil yang dimasukkan ke dalam kontrak yang dapat diterapkan dan ditegakkan secara konsisten.

“Ini adalah tantangan yang harus segera ditangani secara kolektif oleh pemerintah, pemimpin kesehatan global dan regulator sementara pengembangan vaksin Covid-19 terus berlanjut,” kata Mario Christodoulou, manajer komunikasi di CEPI.

"WHO telah mencoba untuk melangkah sebelumnya untuk memastikan bahwa stok vaksin dibagi secara adil," kata Alexandra Phelan, dari Pusat Ilmu Pengetahuan dan Keamanan Kesehatan Global Georgetown University di Washington DC, melansir Nature.

Setelah merebaknya wabah H5N1 di negara-negara seperti Cina, Mesir dan Indonesia, negara-negara anggota WHO mengadopsi resolusi yang dikenal sebagai Kerangka Kesiapsiagaan Pandemi Influenza (PIP).

Di bawah PIP, negara-negara menyediakan sampel virus ke jaringan laboratorium yang dikoordinasikan oleh WHO, dengan pemahaman bahwa organisasi akan mempertimbangkannya sebagai dasar yang diperlukan untuk mengakses persediaan vaksin, diagnosa dan obat-obatan WHO dalam kasus pandemi influenza.

Namun karena PIP dirancang untuk influenza, itu tidak berlaku untuk wabah corona saat ini. Masalah ini memang harus segera dipecahkan lantaran tidak semua negara bisa memproduksi vaksin.

Memang tidak semua negara di dunia ini bisa memproduksi vaksin corona. Kalaupun bisa tantangan yang dihadapinya besar seperti pendanaan, akses pada rantai pasok industri farmasi global hingga infrastruktur dan fasiitas logistik untuk distribusi yang memadai. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular