
Ada Mudik Virtual & Lokal, Bingung Sama Pemerintah? Sama!

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari raya Idul Fitri (lebaran) identik dengan kata mudik alias pulang ke kampung halaman menemui sanak famili. Namun lebaran kali ini jelas sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Bukan hanya karena adanya wabah Covid-19, tetapi juga kebijakan pemerintah yang makin membingungkan soal mudik.
Sebelum wabah Covid-19 merebak kata mudik bagi siapapun akan menimbulkan persepsi yang sama. Namun kini semua berubah. Kata mudik telah bertransformasi menjadi berbagai bentuk. Mudik sudah beranak pinak menjadi berbagai produk turunan yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebelumnya.
Awalnya pemerintah memutuskan untuk melarang mudik untuk mencegah penyebaran virus. Namun selang tak berapa lama kontroversi muncul setelah RI-1 Joko Widodo mengenalkan istilah baru bernama pulang kampung.
Mengacu pada versi RI-1, pulang kampung berbeda dengan mudik. Mudik tujuannya adalah untuk rekreasional sementara pulang kampung lebih merujuk pada kepulangan para perantau ke kampung masing-masing dalam rangka untuk survive.
Waduh sampai di sini sudah ambigu sekali. Pada dasarnya mudik dan pulang kampung apalagi di momen mendekati lebaran seperti ini jelas-jelas memiliki kesamaan yaitu adanya mobilitas orang.
Mobilitas orang yang tinggi ini padahal sangat rentan dengan tingginya penyebaran virus karena kemungkinan terjadinya kontak antara satu orang dengan orang lain dalam kerumunan.
Kemudian muncul lagi istilah baru yaitu mudik virtual. Nah yang ini bisa dipastikan tidak ada mobilitas orang seperti mudik biasa dan pulang kampung. Temu kangen momen lebaran hanya terjadi melalui gadget.
Kemudian muncul lagi istilah baru yang bernama mudik lokal. Apa sebenarnya mudik lokal? Apa bedanya dengan mudik virtual dengan mudik biasa dan pulang kampung? Mudik lokal adalah mudik yang diperbolehkan untuk warga Jabodetabek pulang kampung asal masih regional Jabodetabek.
Banyak warga Jakarta bertanya-tanya, jadi sebenarnya boleh tidak untuk mudik atau bergeser ke rumah yang ada di pinggiran kota?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menjawab , ia meminta semua tetap di rumah. Dia menyatakan, selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait pandemi Corona (COVID-19), yang diperbolehkan hanyalah mudik virtual.
"Jangan ada mudik lokal, yang boleh adalah mudik virtual," kata Anies dalam rilis resmi Pemprov DKI Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
Istilah mudik yang makin rumit ini sejujurnya sangat meresahkan. Tidak ada patokan yang jelas untuk masyarakat bisa mengambil tindakan, semuanya menjadi ambigu. Sejujurnya ini sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak?
Jika melihat tren ke belakang, tradisi mudik yang dilakukan oleh perantau di Jabodetabek saja per tahunnya sudah menyumbang lebih dari 12 juta orang. Bayangkan jika kebijakan yang jelas saja tidak ada dan mobilitas publik yang masif akhirnya terjadi, sementara wabah di Indonesia belum bisa dibilang sampai di fase puncak maka dampak pandemi ke Indonesia akan semakin terasa.
Hari ini saja jumlah kasus baru penderita Covid-19 bertambah sebanyak 529 orang menjadi 17.025. Sementara itu ODP menjadi 269.449 orang atau naik 6.530 dan PDP 35.069 orang naik 709. Kurva epidemi Indonesia pun berbeda dengan kurva negara lain.
Banyak yang menyangsikan kurva epidemi Indonesia lantaran populasi sampel yang dites Covid-19 masih terlampau sedikit. Bahkan dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara lainnya RI masih kalah jauh dalam melakukan tes Covid-19.
Padahal tes memainkan peranan penting dalam melihat seberapa banyak sebenarnya masyarakat Indonesia yang terinfeksi mengingat pada banyak kasus ditemukan tanpa gejala (asimptomatik).
Tindakan memperbolehkan terjadinya mobilitas publik yang besar di tengah pandemi yang belum mereda adalah kecerobohan besar. Bahkan beberapa waktu lalu antrean di bandara Soekarno Hatta sempat sangat padat. Waduh, kacau balau!
Berkaca Korea Selatan yang kasusnya sudah benar-benar sampai satu digit per hari saja ketika pembatasan dilonggarkan, jumlah kasus langsung naik hampir 3x pada pekan ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Mau sampai kapan Indonesia dilanda wabah? Mau sampai kapan ini semua berakhir jika kebijakannya ambigu dan tidak tegas, garis komando pusat dan daerah tidak jelas?
Padahal momen-momen seperti ini butuh yang namanya aturan yang jelas, tegas dan terukur. Bukan sesuatu yang malah menimbulkan kebingungan publik seperti ini. Kini saatnya semua kembali fokus kepada satu hal. Perangi Corona!
Bagaimana caranya? Satukan visi antara pusat dan daerah, buat garis komando dan koordinasi yang jelas, buat aturan yang tidak menimbulkan multitafsir dan tegas, setiap kebijakan harus jelas indikator ketercapaiannya, galakkan lagi social distancing, lakukan tes Covid-19 secara masal dan lebih agresif lagi.
Sekali lagi jangan terlena dan berpikir bahwa kita telah memenangkan peperangan melawan musuh berukuran mikroskopik ini. Tak ada satu dunia pun dengan kekuatan sebesar apa pun yang telah aman dari intaian musuh. Sekali saja lengah! Tewas lah kita dilibas!
(twg/gus) Next Article Hari Ini Jokowi akan Putuskan Larangan atau Pembatasan Mudik