
Gila! Trump Ancam Putus Hubungan dengan China, Emang Bisa?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
15 May 2020 16:02

Walau terlibat dalam perang dagang hingga terlibat dalam blame game akibat corona, AS dan China sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain, sehingga hubungan mereka sudah terlalu kompleks jika hendak diputus begitu saja.
Mari ulas terlebih dahulu dari sisi AS, selaku pihak pertama yang menabuh genderang perang. China bagi AS adalah mitra dagang strategisnya. Jika mengacu pada data United States Census Bureau, China adalah mitra dagang AS terbesar ketiga setelah Meksiko dan Kanada.
Nilai perdagangan keduanya pada kuartal I-2020 mencapai US$ 98 miliar, yang terdiri dari US$ 22 miliar ekspor dan US$ 75,9 miliar impor bagi AS. Nilai perdagangan dengan China itu menyumbang 10% dari total nilai perdagangan AS sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Konsumen AS sangat bergantung dengan produk dan barang-barang murah dari China. Maklum, China memang dikenal sebagai negara dengan biaya produksi dan biaya buruh yang murah. Mata uang China yang cenderung terus terdepresiasi memberikan keunggulan kompetitif bagi China untuk menjual barang-barangnya keluar negeri.
Lagipula sejak tahun 2010 China sudah menguasai manufaktur dunia menyalip AS. Di tahun tersebut juga China mengokohkan posisinya sebagai ekonomi nomor dua di dunia menyalip Jepang. Pada 2018 saja output manufaktur China menyumbang lebih dari seperempat output manufaktur global.
Iklim bisnis yang mendukung, ongkos tenaga kerja yang murah (dulunya), infrastruktur dan logistik yang lengkap, pasar yang besar hingga suplai tenaga kerja yang masif menjadikan China diganderungi sebagai lokasi untuk membangun pabrik.
Keunggulan ini juga dimanfaatkan oleh banyak pengusaha asal AS yang juga bergerak di sektor teknologi seperti Apple & Tesla. Jika AS memutus hubungan dengan China maka AS juga harus merogoh kocek yang dalam untuk memberikan insentif agar perusahaan-perusahaan AS di China mau relokasi pabriknya.
Kalaupun hengkang dari China, mau pindah ke mana? Bisa saja ke Brazil, India atau bahkan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Namun lagi-lagi tak semudah itu. Brazil tak punya iklim bisnis semudah di China, India punya infrastruktur yang tak sebagus China, kawasan Asia Tenggara lain juga demikian. (twg)
Mari ulas terlebih dahulu dari sisi AS, selaku pihak pertama yang menabuh genderang perang. China bagi AS adalah mitra dagang strategisnya. Jika mengacu pada data United States Census Bureau, China adalah mitra dagang AS terbesar ketiga setelah Meksiko dan Kanada.
Nilai perdagangan keduanya pada kuartal I-2020 mencapai US$ 98 miliar, yang terdiri dari US$ 22 miliar ekspor dan US$ 75,9 miliar impor bagi AS. Nilai perdagangan dengan China itu menyumbang 10% dari total nilai perdagangan AS sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Konsumen AS sangat bergantung dengan produk dan barang-barang murah dari China. Maklum, China memang dikenal sebagai negara dengan biaya produksi dan biaya buruh yang murah. Mata uang China yang cenderung terus terdepresiasi memberikan keunggulan kompetitif bagi China untuk menjual barang-barangnya keluar negeri.
Lagipula sejak tahun 2010 China sudah menguasai manufaktur dunia menyalip AS. Di tahun tersebut juga China mengokohkan posisinya sebagai ekonomi nomor dua di dunia menyalip Jepang. Pada 2018 saja output manufaktur China menyumbang lebih dari seperempat output manufaktur global.
Iklim bisnis yang mendukung, ongkos tenaga kerja yang murah (dulunya), infrastruktur dan logistik yang lengkap, pasar yang besar hingga suplai tenaga kerja yang masif menjadikan China diganderungi sebagai lokasi untuk membangun pabrik.
Keunggulan ini juga dimanfaatkan oleh banyak pengusaha asal AS yang juga bergerak di sektor teknologi seperti Apple & Tesla. Jika AS memutus hubungan dengan China maka AS juga harus merogoh kocek yang dalam untuk memberikan insentif agar perusahaan-perusahaan AS di China mau relokasi pabriknya.
Kalaupun hengkang dari China, mau pindah ke mana? Bisa saja ke Brazil, India atau bahkan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Namun lagi-lagi tak semudah itu. Brazil tak punya iklim bisnis semudah di China, India punya infrastruktur yang tak sebagus China, kawasan Asia Tenggara lain juga demikian. (twg)
Next Page
Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang
Pages
Most Popular