Gila! Trump Ancam Putus Hubungan dengan China, Emang Bisa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
15 May 2020 16:02
Bendera Tiongkok dan AS
Foto: Bendera Tiongkok dan AS berkibar di dekat Bund, jelang delegasi perdagangan AS bertemu dengan China di Shanghai, Cina 30 Juli 2019. REUTERS / Aly Song
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mencetuskan ide untuk putus hubungan dengan mitra dagangnya (China), dengan dalih China melakukan kesalahan besar yang berujung pada meluasnya pandemi Covid-19. Retorika palsu (lagi), ataukah kali ini serius?

Hubungan AS-China mulai renggang sejak dua tahun lalu. Ketidakharmonisan ini terlihat ketika keduanya saling balas bea masuk pada Maret 2018, dalam rangkaian perang dagang AS-China. Hampir dua tahun berlangsung, perang dagang keduanya telah membuat perekonomian global goyah. Rantai pasok global terganggu dan perdagangan pun melambat.





Lalu, keduanya memilih tarik nafas dulu, dengan menandatangani kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari lalu. Substansi kesepakatan itu kurang esensial karena sebagian besar produk China senilai US$ 250 miliar masih terkena tarif 25%. Hanya barang made in China senilai US$ 125 miliar yang tarifnya didiskon 50% dari 15% menjadi 7,5%.

Walaupun substansinya tidak menyasar ke pokok permasalahan, keduanya mengatakan akan terus berupaya memperbaiki hubungan yang sempat retak. Kabarnya perjanjian dagang fase II bakal dikebut November tahun ini.

Namun impian rujuknya AS-China kembali pupus. Hubungan Trump dengan Xi Jinping kembali memanas setelah wabah virus corona (COVID-19) menyerang. China menjadi negara pertama yang terjangkit wabah. Namun setelah China lepas dari belenggu wabah, kini episentrum bergeser ke Negeri Paman Sam.

Sampai dengan hari ini sudah ada 4,4 juta orang yang dinyatakan positif Covid-19 di seluruh dunia. Amerika menyumbang 1,3 juta sendiri. Saking banyaknya korban di AS, ekonomi Negeri Adidaya pun luluh lantak akibat lockdown di berbagai negara bagian.





Angka pengangguran AS juga melonjak ke 14,7%. Sejak pertengahan Maret hingga 8 Mei lalu, klaim tunjangan pengangguran di AS sudah mencapai 36,5 juta. Ekonomi juga mengalami kontraksi terdalam sejak krisis keuangan 2008 dan untuk pertama kalinya sejak 2014 pada kuartal I-2020 dengan minus 4,8% (annualized).

Kenyataan pahit ini membuat Trump yang merupakan mantan taipan properti AS itu gusar, dan mencari biang untuk disalahkan. Ia pun menuding China gagal menangani wabah sehingga epidemi berubah menjadi pandemi yang menjangkiti lebih dari 200 negara dan teritori seperti sekarang ini.

"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters. "Saya membuat kesepakatan perdagangan yang hebat dan sekarang saya bisa katakan, saya tak merasakan hal yang sama. Tinta sudah mengering dan wabah datang. Rasanya jadi tak sama buat saya."

Ia pun melanjutkan lagi dengan mengatakan, dirinya saat ini tak mau berbicara dengan Xi Jinping. Bahkan ia berujar, bisa melakukan banyak hal untuk "menghukum" China, termasuk memutus seluruh hubungan yang telah dijalin.

"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya. Ia bahkan mengklaim bisa menghemat dana hingga US$ 500 miliar jika rencana itu dilakukan. Angka itu merujuk pada impor tahunan AS dari China.

Namun apakah benar penghematan uang senilai US$ 500 miliar itu sebanding dengan besarnya biaya yang harus ditanggung Paman Sam? Bisakah mereka berdua putus begitu saja? Tak semudah itu, Ferguso!

[Gambas:Video CNBC]



Walau terlibat dalam perang dagang hingga terlibat dalam blame game akibat corona, AS dan China sebenarnya saling membutuhkan satu sama lain, sehingga hubungan mereka sudah terlalu kompleks jika hendak diputus begitu saja.

Mari ulas terlebih dahulu dari sisi AS, selaku pihak pertama yang menabuh genderang perang. China bagi AS adalah mitra dagang strategisnya. Jika mengacu pada data United States Census Bureau, China adalah mitra dagang AS terbesar ketiga setelah Meksiko dan Kanada.

Nilai perdagangan keduanya pada kuartal I-2020 mencapai US$ 98 miliar, yang terdiri dari US$ 22 miliar ekspor dan US$ 75,9 miliar impor bagi AS. Nilai perdagangan dengan China itu menyumbang 10% dari total nilai perdagangan AS sepanjang kuartal pertama tahun ini.



Konsumen AS sangat bergantung dengan produk dan barang-barang murah dari China. Maklum, China memang dikenal sebagai negara dengan biaya produksi dan biaya buruh yang murah. Mata uang China yang cenderung terus terdepresiasi memberikan keunggulan kompetitif bagi China untuk menjual barang-barangnya keluar negeri.

Lagipula sejak tahun 2010 China sudah menguasai manufaktur dunia menyalip AS. Di tahun tersebut juga China mengokohkan posisinya sebagai ekonomi nomor dua di dunia menyalip Jepang. Pada 2018 saja output manufaktur China menyumbang lebih dari seperempat output manufaktur global.

Iklim bisnis yang mendukung, ongkos tenaga kerja yang murah (dulunya), infrastruktur dan logistik yang lengkap, pasar yang besar hingga suplai tenaga kerja yang masif menjadikan China diganderungi sebagai lokasi untuk membangun pabrik. 

Keunggulan ini juga dimanfaatkan oleh banyak pengusaha asal AS yang juga bergerak di sektor teknologi seperti Apple & Tesla. Jika AS memutus hubungan dengan China maka AS juga harus merogoh kocek yang dalam untuk memberikan insentif agar perusahaan-perusahaan AS di China mau relokasi pabriknya.

Kalaupun hengkang dari China, mau pindah ke mana? Bisa saja ke Brazil, India atau bahkan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Namun lagi-lagi tak semudah itu. Brazil tak punya iklim bisnis semudah di China, India punya infrastruktur yang tak sebagus China, kawasan Asia Tenggara lain juga demikian. Tak hanya itu lewat perdagangan saja, hubungan AS dengan China juga terjalin melalui aliran investasi. Tak bisa dipungkiri, China merupakan investor strategis bagi AS. Hingga akhir tahun lalu investor China memegang lebih dari US$ 1 triliun surat utang pemerintah AS.  

Nilai tersebut hampir setara dengan nilai US Treasury yang dipegang oleh investor-investor dari Jepang. Bahkan nilainya setara dengan output perekonomian Indonesia dalam satu tahun. Jadi, sekali lagi memutus hubungan dagang hingga investasi bukanlah hal yang mudah.



Sekarang mari beralih ke Negeri Tirai Bambu. Apakah dengan putus hubungan dengan Uncle Sam, China juga merugi? Jawabannya iya. Pasar AS yang besar adalah target bagi produk-produk AS.

Pada 2019 saja nilai ekspor China ke AS mencapai lebih dari US$ 400 miliar. AS menjadi mitra dagang terbesar China sampai saat ini. Jika putus hubungan, rasanya akan sangat susah untuk China bisa mencari pasar baru yang nilainya sebesar itu.



Ambisi China untuk menguasai dunia lewat teknologi juga tampaknya akan terganjal mengingat akses terhadap komponen-komponen teknologi yang biasanya diproduksi AS menjadi susah dengan hengkangnya pabrik-pabrik AS di China. 

Upaya melepaskan diri AS dari China memang ide yang sangat kontroversial dan akan sangat susah untuk dilakukan mengingat keduanya terlibat dalam hubungan yang saling butuh.

Pada akhirnya jika ide 'gila' ini dieksekusi pepatah perang yang berbunyi 'Kalah jadi Abu, Menang jadi Arang' adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana ending dari drama paling bombastis dalam 2 tahun terakhir ini. 





TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular