Tidak Hanya di Indonesia, PHK Massal Terjadi di Seluruh Dunia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 May 2020 18:20
cover topik:  PHK dalam
Foto: cover topik/ PHK dalam/Aristya Rahadian krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi corona (Covid-19) menjadi krisis kesehatan dunia yang belum pernah terjadi di era modern. Efeknya terhadap pasar tenaga kerja pun cukup dahsyat.

Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini virus tersebut sudah "menyerang" lebih dari 200 negara, menjangkiti lebih dari 4,5 juta orang, dan lebih dari 300 ribu orang meninggal dunia.

Tidak hanya krisis kesehatan, virus ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi dunia akibat kebijakan social distancing, karantina wilayah (lockdown) atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna meredam penyebarannya yang masif.

Social distancing, lockdown, maupun PSBB semuanya sama, sama-sama membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti sehingga pertumbuhan ekonomi dunia merosot bahkan menuju resesi. Tanpa perputaran aktivitas ekonomi, bisa ditebak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal sudah pasti terjadi.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan jumlah karyawan yang terimbas sudah tembus dua juta orang. Per 20 April 2020, ada 2.084.593 pekerja yang dirumahkan dan kena PHK akibat pandemi Covid-19. Sebanyak dua juta pekerja tersebut berasal dari 116.370 perusahaan.

Secara rinci ada 1.304.777 pekerja dari sektor formal yang dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara itu, pekerja formal yang kena PHK jumlahnya mencapai 241.431 yang berasal dari 41.236 perusahaan.

Tak hanya sektor formal saja, sektor informal dalam negeri juga terpukul dengan jumlah korban yang lebih banyak. Kemenaker mencatat ada 538.385 orang yang kehilangan pekerjaan dari 31.444 perusahaan atau UMKM terdampak Covid-19.

Angka dua juta itu kemungkinan besar belum final. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan angka pengangguran Indonesia bisa bertambah hingga 5 juta orang akibat pandemi ini.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan, angka pengangguran bisa bertambah sekira 2,9 juta sampai 5 juta orang, berdasarkan simulasi yang dibuat pemerintah.

"Dengan skenario ini, kita siapkan, kalau pertumbuhan ekonomi seluruh tahun 2020 pada kisaran 2,3%. Dampaknya ke kemiskinan dan pengangguran. Dampak berat 2,9 juta pengangguran. Sangat berat bisa sampai lebih dari 5 juta orang," kata Febrio dalam video conference, Senin (20/4/2020).


z
Itu baru di Indonesia. Secara global, jumlah PHK akibat pandemi Covid-19 diprediksi mencapai 195 juta orang di triwulan II-2020 oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO).

"Pekerja dan dunia usaha menghadapi bencana, baik di negara maju maupun negara berkembang. Kita harus bergerak cepat, tegas dan bersama-sama. Tindakan yang tepat bisa membuat perbedaan antara bertahan hidup dan keruntuhan" kata Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder, dalam press release 7 April lalu.

Menggunakan perhitungan jam kerja, pandemi ini diprediksi menghilangkan 6,7% jam kerja secara global, itu sama dengan dengan PHK terhadap 195 juta tenaga kerja.

Hilangnya jam kerja terbanyak diprediksi terjadi di negara-negara Arab, yakni sebesar 8,1% atau setara PHK terhadap 5 juta tenaga kerja, kemudian Eropa sebesar 7,8% sama dengan PHK 12 juta tenaga kerja, dan Asia Pasifik sebesar 7,2% atau sama dengan 125 juta tenaga kerja, menurut ILO.

Jumlah PHK tersebut tercermin dari kenaikan tingkat pengangguran di berbagai negara. Beberapa negara G-20 misalnya melaporkan tingkat pengangguran secara bulanan menunjukkan kenaikan.


Kenaikan paling parah terjadi di Amerika Serikat (AS), data terbaru menunjukkan tingkat pengangguran di bulan April sebesar 14,7%, naik dibandingkan akhir 2019 sebesar 3,5%. China, negara pertama yang mengidentifikasi virus ini mencatat kenaikan tingkat pengangguran menjadi 6% di bulan April, dibandingkan akhir tahun lalu 5,2%.

Bahkan Jepang, negara dengan tingkat pengangguran yang sangat rendah, 2,2% di akhir 2019 naik menjadi 2,5% di bulan Maret, dan diprediksi semakin meningkat di bulan April.

Korea Selatan, di akhir tahun lalu tingkat penganggurannya sebesar 3,7%, naik tipis menjadi 3,8% di bulan April. Namun, tingkat pengangguran di Negeri Ginseng di bulan Februari sebesar 3,3%, yang artinya mengalami kenaikan 0,5 poin persentase pada periode Maret dan April.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia dalam setahun terakhir mengalami penurunan sebanyak 50.000 orang menjadi 5,01%.

Jumlah pengangguran pada Februari 2019 tercatat 6,82 juta orang atau turun dibandingkan Februari 2018 sebanyak 6,87 juta orang. Adapun tingkat pengangguran perkotaan lebih tinggi dibandingkan pengangguran di pedesaan.

Tetapi data tersebut tentunya belum mencerminkan dampak Covid-19, mengingat Indonesia baru mengalami kasus pertama di awal Maret.

Beberapa negara di Asia, Australia, Eropa dan AS sudah mulai memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan lockdown. Namun, ini bukan solusi final. Untuk bisa kembali normal seperti era pra-pandemi, diperkirakan perlu beberapa bulan, bahkan tahun. 

Oleh karena itu, ada kemungkinan para korban PHK sulit terserap lagi hingga perekonomian sepenuhnya normal. 

Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menilai hal itu berpotensi terjadi. Namun, bergantung juga pada intensitas kesibukan bekerja di perusahaan terkait. Ia mencontohkan restoran cepat saji yang seharusnya ditopang dengan jumlah sumber daya manusia berbeda pada tiap waktunya.

"Mungkin aja korban PHK sulit terserap lagi, tapi harus datang dari customer-nya. Kalau restoran mau gunakan pegawai 50% tapi customer selalu ramai, ya bisa saja terserap lagi. Produsen akan antisipasi the new normal ini," katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (14/5).

Solusi yang paling realistis menurut Bob adalah memaksimalkan pegawai part time dengan gaji per jam, sehingga sumber daya bisa bermanfaat optimal ketika memang dibutuhkan. Namun, di sisi lain ini menimbulkan masalah baru karena tidak terserapnya pegawai secara waktu penuh.

"Makanya nanti kita harus realistis setelah banyak orang dirumahkan PHK. How to recover itu akan mulai dengan job yang sifatnya jam-jaman. Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya jam-jam-an half time, part time. Itu harus dikembangkan karena itu masih ada," katanya.



Ia menilai banyaknya kebutuhan pegawai full time baru akan dirasa pada setelah ekonomi berjalan normal. Perkiraan bahkan masih beberapa tahun ke depan. China bisa memberikan gambaran kemungkinan terjadinya hal tersebut. China sudah berhasil menanggulangi penyebaran virus corona, jumlah kasus tertahan di bawah 83.000 kasus. 

Pada bulan Januari-Februari lalu, tingkat pengangguran China sebesar 6,2%, naik dibandingkan posisi akhir tahun sebesar 5,2%. Untuk diketahui, China biasanya menggabungkan rilis data tingkat pengangguran Januari-Februari dikarenakan libur panjang hari Raya Imlek antara Januari dan Februari. 

Di bulan Maret, China mulai memutar kembali roda perekonomiannya, hal tersebut tercermin dari purchasing manager index (PMI) manufaktur yang melesat naik menjadi 52, dibandingkan bulan Februari sebesar 35,7. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawah 50 berarti kontraksi. 

Data PMI tersebut menunjukkan sektor manufaktur China kembali berekspansi di bulan Maret, setelah terkontraksi tajam bulan sebelumnya. Di saat yang sama, tingkat pengangguran China turun menjadi 5,9%. 



Namun, data terbaru yang dirilis hari ini menunjukkan tingkat pengangguran China kembali naik menjadi 6% di bulan April. Hal tersebut bisa memberikan gambaran awal jika korban PHK masih belum terserap kembali dalam waktu singkat. 

Selama virus corona masih berkeliaran di muka bumi ini, aktivitas ekonomi untuk kembali normal tentunya membutuhkan waktu yang lama.



Saat lockdown dilonggarkan, negara harus menghadapi risiko penyebaran gelombang kedua. China sudah menghadapi hal tersebut, sehiingga berujung pada temuan kasus baru di kota Shulan, sehingga provinsi Jilin di-lockdown hingga akhir Mei.

Selain China, Korea Selatan juga menjadi sorotan, jumlah kasus Covid-19 kembali mengalami peningkatan setelah lockdown dilonggarkan. Jumlah kasus hari ini dilaporkan bertambah 26 kasus, padahal beberapa pekan lalu Korsel melaporkan penambahan kasus 1 digit bahkan sempat zero infection

Penyebaran kasus baru di Negeri Ginseng tersebut terjadi di sebuah klub, dan hingga saat ini sudah lebih dari 150 orang dinyatakan positif yang terkait dengan klub tersebut. 

Oleh karena itu, roda perekonomian masih akan berputar dengan lambat selama belum ada obat ataupun vaksi Covid-19, dan pasar tenaga kerja berisiko lesu dalam waktu yang cukup lama. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular