
Internasional
Geger China Lockdown & Kluster Korsel, Pelonggaran Berisiko?
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
12 May 2020 06:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus COVID-19 muncul lagi di dua negara yang selama ini dipandang sudah berhasil menekan penyebaran pandemi corona. Ya, wabah ini kembali muncul di China dan membuat kluster (pusat penyebaran) baru di Korea Selatan.
Padahal, kedua negara sudah melakukan pelonggaran pada pembatasan sosial yang dilakukan. Di mana kedua negara sudah mengizinkan masyarakat untuk keluar rumah dengan protokol kesehatan.
Lalu bagaimana ceritanya?
China
Pada Senin 11/5/2020, pemerintah China melaporkan kasus baru di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Kota ini adalah awal di mana corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 berawal.
Padahal sudah sejak sebulan kemarin, Wuhan jadi ground zero virus, karena tidak ada lagi kasus baru yang ditemukan. Dari AFP, setidaknya ada lima kasus muncul di hari itu di sebuah perumahan, di mana mereka terkait pasien tanpa gejala berusia 89 tahun.
Seorang pejabat di distrik itu akhirnya dipecat pemerintah setempat. Ia dianggap lalai menahan penyebaran virus.
Di provinsi Hubei, secara garis besar sudah ada 11 kasus tanpa gejala yang dilaporkan. China merekam kasus pasien bergejala (simpotomatik) dan tidak (asimtomatik) secara terpisah.
Minggu, China juga mengumumkan lockdown parsial lagi. Kali ini dilakukan di kota Shulan, di Provinsi Jilin.
Sama seperti Wuhan, kluster baru ditemukan. Padahal sejak 9 April, kota itu juga sudah nol kasus COVID-19.
Dari South China Morning Post, diketahui kasus pertama ditemukan pada 7 Mei saat seorang wanita 45 tahun didiagnosis dengan COVID-19. Padahal kota sudah mencatat nol kasus sejak 9 April.
Wanita itu diketahui bekerja pada sebuah binatu. Bagaimana ia terinfeksi masih belum jelas, karena sejak 23 April ia tak meninggalkan provinsi itu dan tidak bertemu dengan siapapun dari luar negeri.
Alhasil, dari CGTN, semua warga wajib tinggal di rumah. Siswa SMP dan SMA juga akan kembali melakukan kegiatan belajar mengajar secara online.
Semua fasilitas umum, bioskop, perpustakaan ditutup sementara. Fasilitas kereta api, di dalam maupun ke luar kota disetop hingga akhir Mei ini.
Bus diminta menunda layanan. Sedangkan taksi tak diizinkan meninggalkan kota.
Korsel
Selama 12 hari kemarin Korsel sebenarnya mencatat satu digit kasus COVID-19. Namun per Senin, negara itu mencatat 35 kasus baru. Semuanya terkait kluster baru, yakni Itaewon, Seoul.
Hal ini membuat negeri itu kini mengantisipasi gelombang kedua penyebaran COVID-19. Walikota Seoul, Park Won Soon, mengatakan setidaknya ada 85 kasus yang terkait kluster Itaewon.
Kluster ini dimulai saat seorang pria yang menghabiskan waktu di lima klub dan bar di daerah itu pada awal Mei, diketahui terinfeksi COVID-19. Pemerintah Seoul mendesak semua orang yang mengunjungi distrik itu selama dua minggu terakhir untuk dites COVID-19.
Meski mungkin sulit. Mengingat Itaewon adalah distrik anak muda yang populer yang dikunjungi ratusan orang dalam semalam.
"Mayoritas pengunjung tidak dapat dijangkau,"kata Perdana Menteri Chung Sye Kyun dikutip dari AFP, Senin (11/5/2020).
"Jika kamu ragu (terinfeksi atau tidak), jam harian kita mungkin berhenti selama sebulan. Silakan hubungi klinik atau pusat kesehatan terdekat sekarang," lanjutnya mendesak semua orang untuk diuji.
Lonjakan infeksi baru ini muncul belum lama setelah pemerintah melonggarkan aturan jarak sosial pada Rabu lalu. Sebelumnya, Korsel dianggap negara yang berhasil mengendalikan pandemi ini.
Pemerintah kini langsung melakukan penutupan klub dan bar di Seoul, serta di provinsi tetangga Gyeonggi dan kota terdekat Incheon agar tidak terjadi gelombang kedua COVID-19.
Peringatan WHO
Sebelumnya, organisasi kesehatan dunia WHO, sempat memperingatkan negara-negara yang mulai mengendurkan pembatasan sosial dan ekonomi yang dilakukan karena COVID-19. WHO meminta hal itu harus dilakukan dengan benar-benar hati-hati.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan kehati-hatian penting agar tidak muncul kasus infeksi baru dengan cepat. Kebijakan kontrol harus kuat, mulai dari pelacakan hingga karantina.
"Risiko di-lockdown kembali sangat nyata, jika negara-negara tidak mengelola transisi dengan sangat hati-hati dan melakukannya secara bertahap," ujarnya awal Mei lalu dikutip Reuters.
Ahli epidemologi WHO, Maria Van Kerkhove, juga mengatakan kekhawatiran yang sama. "Jika tindakan lockdown dicabut secara cepat, virus bisa muncul lagi," tegasnya.
(sef/sef) Next Article Bukan Lagi Wuhan, Kini China Lockdown Shulan
Padahal, kedua negara sudah melakukan pelonggaran pada pembatasan sosial yang dilakukan. Di mana kedua negara sudah mengizinkan masyarakat untuk keluar rumah dengan protokol kesehatan.
Lalu bagaimana ceritanya?
Pada Senin 11/5/2020, pemerintah China melaporkan kasus baru di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Kota ini adalah awal di mana corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 berawal.
Padahal sudah sejak sebulan kemarin, Wuhan jadi ground zero virus, karena tidak ada lagi kasus baru yang ditemukan. Dari AFP, setidaknya ada lima kasus muncul di hari itu di sebuah perumahan, di mana mereka terkait pasien tanpa gejala berusia 89 tahun.
Seorang pejabat di distrik itu akhirnya dipecat pemerintah setempat. Ia dianggap lalai menahan penyebaran virus.
Di provinsi Hubei, secara garis besar sudah ada 11 kasus tanpa gejala yang dilaporkan. China merekam kasus pasien bergejala (simpotomatik) dan tidak (asimtomatik) secara terpisah.
Minggu, China juga mengumumkan lockdown parsial lagi. Kali ini dilakukan di kota Shulan, di Provinsi Jilin.
Sama seperti Wuhan, kluster baru ditemukan. Padahal sejak 9 April, kota itu juga sudah nol kasus COVID-19.
Dari South China Morning Post, diketahui kasus pertama ditemukan pada 7 Mei saat seorang wanita 45 tahun didiagnosis dengan COVID-19. Padahal kota sudah mencatat nol kasus sejak 9 April.
Wanita itu diketahui bekerja pada sebuah binatu. Bagaimana ia terinfeksi masih belum jelas, karena sejak 23 April ia tak meninggalkan provinsi itu dan tidak bertemu dengan siapapun dari luar negeri.
Alhasil, dari CGTN, semua warga wajib tinggal di rumah. Siswa SMP dan SMA juga akan kembali melakukan kegiatan belajar mengajar secara online.
Semua fasilitas umum, bioskop, perpustakaan ditutup sementara. Fasilitas kereta api, di dalam maupun ke luar kota disetop hingga akhir Mei ini.
Bus diminta menunda layanan. Sedangkan taksi tak diizinkan meninggalkan kota.
Korsel
Selama 12 hari kemarin Korsel sebenarnya mencatat satu digit kasus COVID-19. Namun per Senin, negara itu mencatat 35 kasus baru. Semuanya terkait kluster baru, yakni Itaewon, Seoul.
Hal ini membuat negeri itu kini mengantisipasi gelombang kedua penyebaran COVID-19. Walikota Seoul, Park Won Soon, mengatakan setidaknya ada 85 kasus yang terkait kluster Itaewon.
Kluster ini dimulai saat seorang pria yang menghabiskan waktu di lima klub dan bar di daerah itu pada awal Mei, diketahui terinfeksi COVID-19. Pemerintah Seoul mendesak semua orang yang mengunjungi distrik itu selama dua minggu terakhir untuk dites COVID-19.
Meski mungkin sulit. Mengingat Itaewon adalah distrik anak muda yang populer yang dikunjungi ratusan orang dalam semalam.
"Mayoritas pengunjung tidak dapat dijangkau,"kata Perdana Menteri Chung Sye Kyun dikutip dari AFP, Senin (11/5/2020).
"Jika kamu ragu (terinfeksi atau tidak), jam harian kita mungkin berhenti selama sebulan. Silakan hubungi klinik atau pusat kesehatan terdekat sekarang," lanjutnya mendesak semua orang untuk diuji.
Lonjakan infeksi baru ini muncul belum lama setelah pemerintah melonggarkan aturan jarak sosial pada Rabu lalu. Sebelumnya, Korsel dianggap negara yang berhasil mengendalikan pandemi ini.
Pemerintah kini langsung melakukan penutupan klub dan bar di Seoul, serta di provinsi tetangga Gyeonggi dan kota terdekat Incheon agar tidak terjadi gelombang kedua COVID-19.
Peringatan WHO
Sebelumnya, organisasi kesehatan dunia WHO, sempat memperingatkan negara-negara yang mulai mengendurkan pembatasan sosial dan ekonomi yang dilakukan karena COVID-19. WHO meminta hal itu harus dilakukan dengan benar-benar hati-hati.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan kehati-hatian penting agar tidak muncul kasus infeksi baru dengan cepat. Kebijakan kontrol harus kuat, mulai dari pelacakan hingga karantina.
"Risiko di-lockdown kembali sangat nyata, jika negara-negara tidak mengelola transisi dengan sangat hati-hati dan melakukannya secara bertahap," ujarnya awal Mei lalu dikutip Reuters.
Ahli epidemologi WHO, Maria Van Kerkhove, juga mengatakan kekhawatiran yang sama. "Jika tindakan lockdown dicabut secara cepat, virus bisa muncul lagi," tegasnya.
(sef/sef) Next Article Bukan Lagi Wuhan, Kini China Lockdown Shulan
Most Popular