Internasional

Geger China Lockdown & Kluster Korsel, Pelonggaran Berisiko?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
12 May 2020 06:26
Suasana saat pencari kerja menghadiri ujian yang dilakukan di luar ruangan di Seoul, Korea Selatan. AP/Lee Jin-man
Foto: Suasana saat pencari kerja menghadiri ujian yang dilakukan di luar ruangan di Seoul, Korea Selatan. AP/Lee Jin-man
Korsel

Selama 12 hari kemarin Korsel sebenarnya mencatat satu digit kasus COVID-19. Namun per Senin, negara itu mencatat 35 kasus baru. Semuanya terkait kluster baru, yakni Itaewon, Seoul.

Hal ini membuat negeri itu kini mengantisipasi gelombang kedua penyebaran COVID-19. Walikota Seoul, Park Won Soon, mengatakan setidaknya ada 85 kasus yang terkait kluster Itaewon.

Kluster ini dimulai saat seorang pria yang menghabiskan waktu di lima klub dan bar di daerah itu pada awal Mei, diketahui terinfeksi COVID-19. Pemerintah Seoul mendesak semua orang yang mengunjungi distrik itu selama dua minggu terakhir untuk dites COVID-19.

Meski mungkin sulit. Mengingat Itaewon adalah distrik anak muda yang populer yang dikunjungi ratusan orang dalam semalam.

"Mayoritas pengunjung tidak dapat dijangkau,"kata Perdana Menteri Chung Sye Kyun dikutip dari AFP, Senin (11/5/2020).

"Jika kamu ragu (terinfeksi atau tidak), jam harian kita mungkin berhenti selama sebulan. Silakan hubungi klinik atau pusat kesehatan terdekat sekarang," lanjutnya mendesak semua orang untuk diuji.

Lonjakan infeksi baru ini muncul belum lama setelah pemerintah melonggarkan aturan jarak sosial pada Rabu lalu. Sebelumnya, Korsel dianggap negara yang berhasil mengendalikan pandemi ini.

Pemerintah kini langsung melakukan penutupan klub dan bar di Seoul, serta di provinsi tetangga Gyeonggi dan kota terdekat Incheon agar tidak terjadi gelombang kedua COVID-19.

Peringatan WHO

Sebelumnya, organisasi kesehatan dunia WHO, sempat memperingatkan negara-negara yang mulai mengendurkan pembatasan sosial dan ekonomi yang dilakukan karena COVID-19. WHO meminta hal itu harus dilakukan dengan benar-benar hati-hati.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan kehati-hatian penting agar tidak muncul kasus infeksi baru dengan cepat. Kebijakan kontrol harus kuat, mulai dari pelacakan hingga karantina.

"Risiko di-lockdown kembali sangat nyata, jika negara-negara tidak mengelola transisi dengan sangat hati-hati dan melakukannya secara bertahap," ujarnya awal Mei lalu dikutip Reuters.

Ahli epidemologi WHO, Maria Van Kerkhove, juga mengatakan kekhawatiran yang sama. "Jika tindakan lockdown dicabut secara cepat, virus bisa muncul lagi," tegasnya.



(sef/sef)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular