
Ungkap Kondisi Individual Bank, Audit BPK Dinilai Tidak Tepat
dob, CNBC Indonesia
08 May 2020 13:06

Jakarta, CNBC Indonesia- Publikasi Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mencantumkan informasi mengenai individual bank, dinilai tidak tepat. Bahkan, hasil audit BPK tersebut akan membahayakan sistem perbankan bila terjadi persepsi yang salah dari masyarakat terhadap kondisi bank tersebut.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Peneliti Core Indonesia, Piter Abdullah dalam mengomentari soal hasil audit BPK terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam IHPS semester II tahun 2019.
Menurut Pieter bahwa rapor merah BPK terhadap OJK bisa dilihat sebagai masukan yang konstruktif. Namun, tuturnya, hasil audit mengenai informasi individual bank menurut saya tidak tepat untuk disampaikan ke publik.
"Terutama sekali di tengah kondisi system perbankan kita dalam tekanan yang begitu besar akibat wabah covid-19 saat ini," ujarnya Jumat (8/5/2020).
Dia melanjutkan bahwa masyarakat seharusnya tidak digiring untuk mempersepsikan hasil audit BPK dan menjadikannya sebagai ukuran tingkat kesehatan secara keseluruhan bagi bank-bank tertentu.
Menurutnya, persepsi yang salah atas nama bank dimaksud dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat yang jika ditangkap secara berlebihan dapat menyebabkan efek berantai pada industri perbankan.
"Akibatnya akan sangat membahayakan system perbankan, sekali lagi justru pada saat kita harus berjuang keras menjaga kestabilan sistem perbankan," ujarnya.
BPK telah mengeluarkan hasil audit terkait pengawasan perbankan oleh OJK. Hasilnya, pengawasan OJK dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam audit tersebut, BPK pun memaparkan kondisi sejumlah bank.
Piter menegaskan bahwa di tengah wabah covid-19 yang menghantam semua negara saat ini, perekonomian Indonesia dalam tekanan dan diambang resesi. Kalau salah melangkah maka Indonesia bisa jatuh ke jurang krisis.
"Untuk menghindari terjadinya resesi terutama lagi krisis ekonomi, kita sangat memerlukan kekompakan yang didukung oleh semangat yang positif. Termasuk diantaranya dalam melihat kondisi perbankan kita saat ini. Kita harus yakin bahwa system perbankan kita kuat dan akan mampu melalui masa-masa sulit di tengah wabah covid-19," tegasnya.
Dia merinci bahwa kinerja perbankan sampai dengan Maret masih stabil dan positif. Berdasarkan data publikasi OJK kredit perbankan tumbuh sebesar 7,95% yoy, DPK perbankan tumbuh sebesar 9,54% yoy. Kemudian permodalan dan likuiditas masih memadai dengan CAR perbankan sebesar 21,77% dan rasio alat likuid/non-core deposit terpantau di level 112,90%. Profil risiko masih terjaga dengan NPL sebesar 2,77%.
"Stabilitas sistem perbankan ini tidak bisa dilepaskan dari pengawasan bank yang dilakukan secara prudent yang sudah dirintis pasca krisis 1998/1999 oleh Bank Indonesia dan kemudian diteruskan oleh OJK," tegasnya.
Di tengah wabah covid-19 saat ini, tuturnya, Indonesia sangat membutuhkan OJK untuk bisa fokus dalam menjaga stabilitas system keuangan khususnya system perbankan. Sebagaimana diketahui OJK juga harus bekerja keras mengurangi tekanan NPL perbankan melalui kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit.
Beberapa kebijakan yang ditempuh adalah kelonggaran restrukturisasi kredit, yang dimulai sejak Maret. Hal ini membuat bank bisa menghindari terjadinya permasalahan permodalan bank mengingat kredit yang direstrukturisasi dikategorikan lancar. Sementara di sisi lain restrukturisasi kredit juga akan mengurangi beban likuiditas dunia usaha.
"Dengan adanya kebijakan ini dunia usaha akan banyak terbantu untuk bisa bertahan hingga wabah covid-19 usai," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Duh Ternyata APBN 2021 Bermasalah, Nilainya Rp 8,3 Triliun
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Peneliti Core Indonesia, Piter Abdullah dalam mengomentari soal hasil audit BPK terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam IHPS semester II tahun 2019.
Menurut Pieter bahwa rapor merah BPK terhadap OJK bisa dilihat sebagai masukan yang konstruktif. Namun, tuturnya, hasil audit mengenai informasi individual bank menurut saya tidak tepat untuk disampaikan ke publik.
Dia melanjutkan bahwa masyarakat seharusnya tidak digiring untuk mempersepsikan hasil audit BPK dan menjadikannya sebagai ukuran tingkat kesehatan secara keseluruhan bagi bank-bank tertentu.
Menurutnya, persepsi yang salah atas nama bank dimaksud dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat yang jika ditangkap secara berlebihan dapat menyebabkan efek berantai pada industri perbankan.
"Akibatnya akan sangat membahayakan system perbankan, sekali lagi justru pada saat kita harus berjuang keras menjaga kestabilan sistem perbankan," ujarnya.
BPK telah mengeluarkan hasil audit terkait pengawasan perbankan oleh OJK. Hasilnya, pengawasan OJK dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam audit tersebut, BPK pun memaparkan kondisi sejumlah bank.
Piter menegaskan bahwa di tengah wabah covid-19 yang menghantam semua negara saat ini, perekonomian Indonesia dalam tekanan dan diambang resesi. Kalau salah melangkah maka Indonesia bisa jatuh ke jurang krisis.
"Untuk menghindari terjadinya resesi terutama lagi krisis ekonomi, kita sangat memerlukan kekompakan yang didukung oleh semangat yang positif. Termasuk diantaranya dalam melihat kondisi perbankan kita saat ini. Kita harus yakin bahwa system perbankan kita kuat dan akan mampu melalui masa-masa sulit di tengah wabah covid-19," tegasnya.
Dia merinci bahwa kinerja perbankan sampai dengan Maret masih stabil dan positif. Berdasarkan data publikasi OJK kredit perbankan tumbuh sebesar 7,95% yoy, DPK perbankan tumbuh sebesar 9,54% yoy. Kemudian permodalan dan likuiditas masih memadai dengan CAR perbankan sebesar 21,77% dan rasio alat likuid/non-core deposit terpantau di level 112,90%. Profil risiko masih terjaga dengan NPL sebesar 2,77%.
"Stabilitas sistem perbankan ini tidak bisa dilepaskan dari pengawasan bank yang dilakukan secara prudent yang sudah dirintis pasca krisis 1998/1999 oleh Bank Indonesia dan kemudian diteruskan oleh OJK," tegasnya.
Di tengah wabah covid-19 saat ini, tuturnya, Indonesia sangat membutuhkan OJK untuk bisa fokus dalam menjaga stabilitas system keuangan khususnya system perbankan. Sebagaimana diketahui OJK juga harus bekerja keras mengurangi tekanan NPL perbankan melalui kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit.
Beberapa kebijakan yang ditempuh adalah kelonggaran restrukturisasi kredit, yang dimulai sejak Maret. Hal ini membuat bank bisa menghindari terjadinya permasalahan permodalan bank mengingat kredit yang direstrukturisasi dikategorikan lancar. Sementara di sisi lain restrukturisasi kredit juga akan mengurangi beban likuiditas dunia usaha.
"Dengan adanya kebijakan ini dunia usaha akan banyak terbantu untuk bisa bertahan hingga wabah covid-19 usai," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Duh Ternyata APBN 2021 Bermasalah, Nilainya Rp 8,3 Triliun
Most Popular