Jokowi Tarik Isu Tenaga Kerja di Omnibus Law, Ini Risikonya

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
24 April 2020 20:55
Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono (Dok. Pribadi Sutrisno Iwantono)
Foto: Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Sutrisno Iwantono (Dok. Pribadi Sutrisno Iwantono)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan Presiden Jokowi yang memutuskan menarik pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) disambut riang gembira para buruh. Di sisi lain tentu kalangan dunia usaha bisa sebaliknya.

Peneliti Senior Institute of Developing Entrepreneurship (IDE) Sutrisno Iwantono memberikan pandangan konsekuensi dari keputusan Presiden Jokowi. Padahal, setelah pandemi covid berakhir butuh suatu penggerak baru dalam menata ekonomi. Apalagi ia bilang akibat dari wabah covid 19 ini nanti akan terjadi ledakan pengangguran yang luar biasa.

Tentu ini harus disiapkan sejak dini, sebab menggantungkan harapan kepada dunia usaha ke depan setelah covid-19 berakhir, juga tidak banyak bisa menjanjikan, karena jangankan untuk menampung pertambahan angkatan kerja baru, yang ada saja terjadi PHK.



Ia bilang untuk membangkitkan kembali ekonomi tidak gampang, apalagi perkirakan durasi pandemi akan cukup panjang. Menurutnya hal ini perlu diantisipasi secara dini agar tidak menimbulkan persoalan sosial yang dampaknya bisa merembet kemana-mana, salah satunya dengan omnibus law ciptaker, dan yang paling krusial justru di kluster ketenagakerjaan.

"Sehingga pembahasan omnibus law harus terkait langsung dengan upaya kita untuk membangkitkan puing-puing ekonomi ini. Jadi mestinya kita tidak bisa melihat hanya kepentingan satu sisi saja, harus mau berkorban untuk kepentingan yang lebih luas," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/4).

Ia bilang soal RUU omnibus law memang sejak awal menjadi inisiatif pemerintah, dimana pemerintah sudah menyiapkannya untuk waktu yang lama termasuk mengajak dunia usaha. Tujuan utamanya kan mengatasi angkatan kerja kita yang sangat banyak dan perlu lapangan pekerjaan.

"Jadi kalau pemerintah menunda (kluster ketenagaakerjaan di omnibus law) tentu itu hak pemerintah untuk melakukan itu," katanya.

Namun, yang perlu dicermati adalah bahwa faktanya jumlah angkatan kerja kerja di Indonesia sekitar 133 juta orang, di antaranya 126 jutaan orang bekerja. Dari jumlah itu pekerja formal sekitar 56 juta dan di sektor informal 70 jutaan orang.

Diantara penduduk yang bekerja itu, ada pekerja paruh waktu 28,5 juta, setengah nganggur 8,14 juta dan pengangguran penuh 7,05 juta sehingga jumlah orang yang tidak bekerja di bawah normal ini sekitar 45 juta orang, belum lagi setiap tahun terjadi pertambahan angkatan kerja baru sekitar 2,3 juta orang.

"Jadi tujuan pemerintah dari awal adalah bagaimana mengangkat derajat sebagian besar penduduk kita yang masih tidak normal dari sisi pekerjaan tersebut. Nah sekarang bagaimana pembahasan omnibus law apa bisa dilanjutkan tanpa klaster tenaga kerja? Kita tunggu dulu kira-kira seperti apa penjelasan pemerintah lebih rinci menyikapi ini," katanya.

Ia juga memberikan catatan soal masalah penyediaan lapangan kerja ini kan aspeknya banyak, selain persoalan-persoalan hambatan investasi yang menyadi klue utama dalam upaya penciptaan lapangan kerja.

"Persoalan utama investasi adalah aturan yang ruwet, tumpeng tindih, tidak efisien dan mahal. Hal ini yang akan diperbaiki. Tanpa investasi tidak akan terjadi penciptaan lapangan kerja," katanya

Selain itu, Iwantono bilang hal yang menyangkut karakter dari sektor-sektor yang mampu menyumbangkan lapangan kerja yaitu 70 jutaan angkatan kerja itu adanya di sektor informal Usaha ultra mikro, usaha mikro, usaha kecil dan menengah.

"Sehingga pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah ini menjadi kata kunci juga dalam omnibus law ini. Jika kemudian masalah ketenagakerjaan ditinggalkan apa bisa ya? Kan ini persoalan terkait satu sama lain dan mestinya dijalankan secara komprehensif," katanya.

[Gambas:Video CNBC]




(hoi/hoi) Next Article UU Cipta Kerja Inkostitusional, Begini Nasib UMP 2022!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular