
Simak! Eks Wamen ESDM Kupas Habis Kaitan Harga Minyak & BBM
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 April 2020 16:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat anjlok bahkan sampai minus. Jenis minyak ini banyak diperdagangkan di pasar Amerika Serikat (AS).
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar mencoba mengupas anjloknya harga minyak di AS ini.
Menurut Archandra anjloknya harga minyak WTI pada Senin lalu disebebkan beberapa faktor. Pertama, storage di AS sudah penuh. Kondisi ini membuat tidak ada lagi ruang penampungan dari produksi minyak AS yang kini mencapai kisaran 12 - 13 juta barel per hari (bph).
Faktor kedua, kata Archandra, ketika transaksi perdagangan akan ditutup untuk pengantaran bulan Mei, hanya sedikit yang melakukan trading. Sehingga harga terus turun.
"Dan harga ini belum tentu mencerminkan harga yang sebenarnya," ungkapnya dalam akun Instagramnya @arcandra.tahar, Rabu, (23/04/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam situasi ini akan muncul pertanyaan, apabila harga minyak di AS US$ 0 per barel, apakah harga BBM (gasoline) di SPBU per gallon juga US$ 0? Menurut Archandra jawabannya tentu tidak.
Berdasarkan data di AS tahun lalu, struktur harga BBM di SPBU per gallon ditentukan oleh beberapa komponen.
1. Transportation & Marketing : US$ 39 cent
2. Refining Cost & Profit : US$ 34 cent
3. Federal Gasoline Tax : US$ 18 cent
4. Average State Tax : US$ 36 cent
"Total akan diperoleh angka US$ 1,27 per gallon. Dengan tambahan margin di SPBU sekitar US$ 10 cent per gallon, harga jual BBM sebesar US$ 1,37 per gallon atau setara US$ 0,36 cent per liter," jelasnya.
Apabila dirupiahkan setara dengan Rp 5.422 per liter dengan kurs Rp 15.00 per dollar. Beberapa negara bagian, biaya Transportation & Marketing dan juga State Tax bisa lebih rendah dari angka di atas.
"Di Texas misalnya State Tax hanya US$ 20 cent per gallon. Inilah kira-kira komposisi pembentuk harga retail SPBU di AS dengan asumsi harga minyak US$ 0," paparnya.
Dampak ke masa depan dengan situasi ini menurutnya, AS akan memangkas produksi minyaknya dari 12,7 juta bph menjadi dibawah 11 juta bph atau sekitar 10,5 juta bph. Apabila AS sampai menurunkan produksi ke angka produksinya hingga 2.2 juta bph dan OPEC+ juga akan memangkas produksi 9,7 juta bph, maka ketika permintaan minyak dunia akan naik di tahun 2021.
"Dengan harapan wabah Covid-19 sudah mereda, harga minyak saat ini kemungkinan akan naik tajam," kata Archandra.
Menurutnya, kondisi prediksi kenaikan kebutuhan minyak di dunia tahun 2021 diperparah lagi lantaran selama 5 tahun terakhir tidak banyak proyek eksplorasi minyak konvensional yang dikembangkan di seluruh dunia. "Karena itu penting sekali mengembangkan strategi yang tepat agar jatuhnya harga minyak saat ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan di masa depan," tuturnya.
(gus) Next Article Harga Minyak Terjun Bebas, DPR Tagih Pertamina Turunkan BBM
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar mencoba mengupas anjloknya harga minyak di AS ini.
Menurut Archandra anjloknya harga minyak WTI pada Senin lalu disebebkan beberapa faktor. Pertama, storage di AS sudah penuh. Kondisi ini membuat tidak ada lagi ruang penampungan dari produksi minyak AS yang kini mencapai kisaran 12 - 13 juta barel per hari (bph).
"Dan harga ini belum tentu mencerminkan harga yang sebenarnya," ungkapnya dalam akun Instagramnya @arcandra.tahar, Rabu, (23/04/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam situasi ini akan muncul pertanyaan, apabila harga minyak di AS US$ 0 per barel, apakah harga BBM (gasoline) di SPBU per gallon juga US$ 0? Menurut Archandra jawabannya tentu tidak.
Berdasarkan data di AS tahun lalu, struktur harga BBM di SPBU per gallon ditentukan oleh beberapa komponen.
1. Transportation & Marketing : US$ 39 cent
2. Refining Cost & Profit : US$ 34 cent
3. Federal Gasoline Tax : US$ 18 cent
4. Average State Tax : US$ 36 cent
"Total akan diperoleh angka US$ 1,27 per gallon. Dengan tambahan margin di SPBU sekitar US$ 10 cent per gallon, harga jual BBM sebesar US$ 1,37 per gallon atau setara US$ 0,36 cent per liter," jelasnya.
Apabila dirupiahkan setara dengan Rp 5.422 per liter dengan kurs Rp 15.00 per dollar. Beberapa negara bagian, biaya Transportation & Marketing dan juga State Tax bisa lebih rendah dari angka di atas.
"Di Texas misalnya State Tax hanya US$ 20 cent per gallon. Inilah kira-kira komposisi pembentuk harga retail SPBU di AS dengan asumsi harga minyak US$ 0," paparnya.
Dampak ke masa depan dengan situasi ini menurutnya, AS akan memangkas produksi minyaknya dari 12,7 juta bph menjadi dibawah 11 juta bph atau sekitar 10,5 juta bph. Apabila AS sampai menurunkan produksi ke angka produksinya hingga 2.2 juta bph dan OPEC+ juga akan memangkas produksi 9,7 juta bph, maka ketika permintaan minyak dunia akan naik di tahun 2021.
"Dengan harapan wabah Covid-19 sudah mereda, harga minyak saat ini kemungkinan akan naik tajam," kata Archandra.
Menurutnya, kondisi prediksi kenaikan kebutuhan minyak di dunia tahun 2021 diperparah lagi lantaran selama 5 tahun terakhir tidak banyak proyek eksplorasi minyak konvensional yang dikembangkan di seluruh dunia. "Karena itu penting sekali mengembangkan strategi yang tepat agar jatuhnya harga minyak saat ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan di masa depan," tuturnya.
(gus) Next Article Harga Minyak Terjun Bebas, DPR Tagih Pertamina Turunkan BBM
Most Popular