
Awas, Social Distancing Bisa Menjadi Social Unrest!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 April 2020 07:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejam betul virus corona atau Coronavirus Desease-2019/Covid-19. Ukurannya boleh kecil, hanya 10-20 nanometer, tetapi mampu membuat jutaan orang menderita.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 15 April 2020 mencapai 1.914.916 orang, bertambah 70.082 orang dibandingkan sehari sebelumnya. Pasien meninggal tercatat 123.010 orang, bertambah 5.989 orang.
Gara-gara penyebaran virus yang sangat cepat dan luas, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Maklum, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar seiring dengan intensitas interaksi dan kontak antar-manusia.
Social distancing dalam praktiknya adalah menjaga masyarakat agar tidak berkerumun, menjaga jarak. Aktivitas yang menyebabkan kerumunan manusia dibatasi, atau dilarang sama sekali.
Hasilnya adalah kantor dan pabrik tutup, sekolah diliburkan, restoran tidak melayani makan-minum di lokasi, pusat perbelanjaan dihindari, lokasi wisata tidak beroperasi, dan sebagainya. Mobilitas manusia sangat terbatas, karena kampanye dan kebijakan #dirumahaja.
Dunia usaha dan para wirausahawan jadi kelimpungan. Social distancing menyebabkan pemasukan minim, atau bahkan nihil. Sementara pengeluaran terus berjalan, apakah itu sewa tempat, listrik, utang bank, dan lain-lain.
Efisiensi menjadi tidak terhindarkan. Opsi yang paling memungkinkan adalah merumahkan (furlough) atau menjatuhkan vonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja.
Gelombang furlough dan PHK menjadi efek yang menyertai pandemi virus corona. Masalah kesehatan dan kemanusiaan kini sudah berubah menjadi masalah ekonomi dan sosial yang sangat nyata.
Amerika Serikat (AS) baru merilis data jumlah klaim tunjangan pengangguran atau unemployment benefits. Pada pekan yang berakhir 11 April, jumlah klaim unemployment benefits tercatat 5,24 juta.
Memang turun dibandingkan pekan sebelumnya yang sebanyak 6,61 juta. Namun dalam sebulan terakhir, jumlah klaim yang masuk mencapai hampir 22 juta.
"Laporan ini menunjukkan dampak dari pentingnya langkah-langkah kesehatan untuk menanggulangi virus corona. Rakyat AS membuat pengorbanan bagi negaranya, dan pemerintahan Presiden Donald Trump bergerak cepat untuk mendukung dunia usaha serta pekerja dalam masa sulit ini.
"Kementerian Ketenagakerjaan sudah menerbitkan panduan untuk memperluas tunjangan pengangguran dengan memberikan dana US$ 600 per pekan. Kementerian telah menyalurkan lebih dari setengah juta dolar kepada negara bagian untuk membantu lonjakan klaim. Selagi AS masih menerapkan disiplin untuk menahan laju penyebaran virus, Kementerian akan terus bekerja untuk mendukung pekerja dan dunia usaha," papar Eugene Scallia, Menteri Ketenagakerjaan AS, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Meski pemerintah AS memberikan tunjangan, tetapi tidak menghapus fakta bahwa 22,03 orang telah kehilangan pekerjaan dalam sebulan terakhir. Angka 22,03 juta setara dengan hampir 13,5% angkatan kerja di Negeri Paman Sam.
"Skala hilangnya lapangan kerja begitu luar biasa. Mungkin nyaris seluruh lapangan kerja yang tercipta sejak krisis keuangan 2008-2009 sekarang sudah lenyap hanya dalam hitungan minggu," kata James Knightley, Chief International Economist di ING yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.
Sebelumnya, kabar serupa juga datang dari Australia. Biro Statistik Australia (ABS) mengumumkan, tingkat pengangguran pada Maret 2020 adalah 5,2%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,1%.
"Kami terus memonitor dampak Covid-19 terhadap pasar tenaga kerja. Data Maret hanya menunjukkan bukti kecil, karena survei dilakukan sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi global," sebut pernyataan tertulis ABS.
Pelaku pasar pun sepakat. Kaixin Owyong, Ekonom National Australia Bank, memperkirakan tingkat pengangguran di Negeri Kanguru bisa menyentuh 11,75% pada tengah tahun ini.
"Sudah banyak laporan bahwa pekerja dirumahkan atau jam kerjanya dikurangi karena dunia usaha semakin sulit bertahan di tengah penurunan permintaan. Ini akan membuat angka pengangguran naik tajam," kata Owyong, seperti dikutip dari Reuters.
Virus corona kini sudah menyerang dapur rumah tangga. Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan, kalau begini terus mau makan apa?
Ini yang menjadi kekhawatiran banyak pihak. Lambat laun, kalau tidak tertangani dengan baik, virus corona bisa melahirkan keresahan sosial (social unrest).
"Kalau krisis kesehatan ini tidak dikelola dengan baik dan ketika bantuan dinilai tidak cukup membantu, maka Anda bisa melihat keresahan sosial," tegas Gita Gopinath, Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF), dalam wawancara dengan Reuters.
Bank Pembangunan Asia (ADB) pun melihat risiko yang sama. Tidak hanya memukul ekonomi, virus corona juga bisa memunculkan ketegangan sosial.
"Gangguan produksi dan perdagangan sudah pasti terjadi dalam skala besar. Negara yang tergantung dari remitansi pekerja migran juga akan kesulitan karena banyak negara yang sudah menutup pintu bagi orang asing. Di negara dengan sistem jaring pengaman sosial yang lemah, hilangnya pekerjaan bisa memicu keresahan sosial," tulis ADB dalam laporan Asian Development Outlook 2020 edisi April 2020.
Bahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai memperingatkan risiko tersebut. Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mengatakan pandemi virus corona bisa mengancam perdamaian dunia.
"Pandemi ini bisa menjadi ancaman bagi upaya kita untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Ada risiko peningkatan keresahan sosial dan kekerasan, yang kemudian mengurangi kekuatan kita untuk melawan virus corona," tegas Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB belum lama ini, sebagaimana diwartakan Reuters.
Oleh karena itu, mari berharap pandemi virus corona segera teratasi. Jika tidak, maka penerapan social distancing akan semakin lama dan social distancing berisiko berubah menjadi social unrest. Amit-amit, tetapi ini adalah risiko yang harus masuk perhitungan para pengambil kebijakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 15 April 2020 mencapai 1.914.916 orang, bertambah 70.082 orang dibandingkan sehari sebelumnya. Pasien meninggal tercatat 123.010 orang, bertambah 5.989 orang.
Gara-gara penyebaran virus yang sangat cepat dan luas, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Maklum, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar seiring dengan intensitas interaksi dan kontak antar-manusia.
Hasilnya adalah kantor dan pabrik tutup, sekolah diliburkan, restoran tidak melayani makan-minum di lokasi, pusat perbelanjaan dihindari, lokasi wisata tidak beroperasi, dan sebagainya. Mobilitas manusia sangat terbatas, karena kampanye dan kebijakan #dirumahaja.
Dunia usaha dan para wirausahawan jadi kelimpungan. Social distancing menyebabkan pemasukan minim, atau bahkan nihil. Sementara pengeluaran terus berjalan, apakah itu sewa tempat, listrik, utang bank, dan lain-lain.
Efisiensi menjadi tidak terhindarkan. Opsi yang paling memungkinkan adalah merumahkan (furlough) atau menjatuhkan vonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja.
Gelombang furlough dan PHK menjadi efek yang menyertai pandemi virus corona. Masalah kesehatan dan kemanusiaan kini sudah berubah menjadi masalah ekonomi dan sosial yang sangat nyata.
Amerika Serikat (AS) baru merilis data jumlah klaim tunjangan pengangguran atau unemployment benefits. Pada pekan yang berakhir 11 April, jumlah klaim unemployment benefits tercatat 5,24 juta.
Memang turun dibandingkan pekan sebelumnya yang sebanyak 6,61 juta. Namun dalam sebulan terakhir, jumlah klaim yang masuk mencapai hampir 22 juta.
![]() |
"Laporan ini menunjukkan dampak dari pentingnya langkah-langkah kesehatan untuk menanggulangi virus corona. Rakyat AS membuat pengorbanan bagi negaranya, dan pemerintahan Presiden Donald Trump bergerak cepat untuk mendukung dunia usaha serta pekerja dalam masa sulit ini.
"Kementerian Ketenagakerjaan sudah menerbitkan panduan untuk memperluas tunjangan pengangguran dengan memberikan dana US$ 600 per pekan. Kementerian telah menyalurkan lebih dari setengah juta dolar kepada negara bagian untuk membantu lonjakan klaim. Selagi AS masih menerapkan disiplin untuk menahan laju penyebaran virus, Kementerian akan terus bekerja untuk mendukung pekerja dan dunia usaha," papar Eugene Scallia, Menteri Ketenagakerjaan AS, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Meski pemerintah AS memberikan tunjangan, tetapi tidak menghapus fakta bahwa 22,03 orang telah kehilangan pekerjaan dalam sebulan terakhir. Angka 22,03 juta setara dengan hampir 13,5% angkatan kerja di Negeri Paman Sam.
"Skala hilangnya lapangan kerja begitu luar biasa. Mungkin nyaris seluruh lapangan kerja yang tercipta sejak krisis keuangan 2008-2009 sekarang sudah lenyap hanya dalam hitungan minggu," kata James Knightley, Chief International Economist di ING yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.
Sebelumnya, kabar serupa juga datang dari Australia. Biro Statistik Australia (ABS) mengumumkan, tingkat pengangguran pada Maret 2020 adalah 5,2%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,1%.
"Kami terus memonitor dampak Covid-19 terhadap pasar tenaga kerja. Data Maret hanya menunjukkan bukti kecil, karena survei dilakukan sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi global," sebut pernyataan tertulis ABS.
Pelaku pasar pun sepakat. Kaixin Owyong, Ekonom National Australia Bank, memperkirakan tingkat pengangguran di Negeri Kanguru bisa menyentuh 11,75% pada tengah tahun ini.
"Sudah banyak laporan bahwa pekerja dirumahkan atau jam kerjanya dikurangi karena dunia usaha semakin sulit bertahan di tengah penurunan permintaan. Ini akan membuat angka pengangguran naik tajam," kata Owyong, seperti dikutip dari Reuters.
Virus corona kini sudah menyerang dapur rumah tangga. Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan, kalau begini terus mau makan apa?
Ini yang menjadi kekhawatiran banyak pihak. Lambat laun, kalau tidak tertangani dengan baik, virus corona bisa melahirkan keresahan sosial (social unrest).
"Kalau krisis kesehatan ini tidak dikelola dengan baik dan ketika bantuan dinilai tidak cukup membantu, maka Anda bisa melihat keresahan sosial," tegas Gita Gopinath, Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (IMF), dalam wawancara dengan Reuters.
Bank Pembangunan Asia (ADB) pun melihat risiko yang sama. Tidak hanya memukul ekonomi, virus corona juga bisa memunculkan ketegangan sosial.
"Gangguan produksi dan perdagangan sudah pasti terjadi dalam skala besar. Negara yang tergantung dari remitansi pekerja migran juga akan kesulitan karena banyak negara yang sudah menutup pintu bagi orang asing. Di negara dengan sistem jaring pengaman sosial yang lemah, hilangnya pekerjaan bisa memicu keresahan sosial," tulis ADB dalam laporan Asian Development Outlook 2020 edisi April 2020.
Bahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai memperingatkan risiko tersebut. Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mengatakan pandemi virus corona bisa mengancam perdamaian dunia.
"Pandemi ini bisa menjadi ancaman bagi upaya kita untuk menjaga perdamaian dan keamanan. Ada risiko peningkatan keresahan sosial dan kekerasan, yang kemudian mengurangi kekuatan kita untuk melawan virus corona," tegas Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB belum lama ini, sebagaimana diwartakan Reuters.
Oleh karena itu, mari berharap pandemi virus corona segera teratasi. Jika tidak, maka penerapan social distancing akan semakin lama dan social distancing berisiko berubah menjadi social unrest. Amit-amit, tetapi ini adalah risiko yang harus masuk perhitungan para pengambil kebijakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular