
Dampak Corona, Kontraktor Migas RI Mulai Ajukan Force Majeure
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 April 2020 12:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak dari corona virus (Covid-19) membuat para kontraktor migas mulai ramai-ramai ajukan force majeur.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengajukan force majeur ataupun penghentian kegiatannya di lapangan akibat Covid-19.
"Wabah Covid-19 ini harus dicermati hati-hati. Namun kita tidak harus menghentikan kegiatan dan wajib melakukan penangkalan," kata Dwi dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut dirinya mengatakan dampak dari penyebaran Wabah Covid-19 berpengaruh pada realisasi kegiatan pemboran dan menurunnya permintaan gas dari para pembeli. Selain itu, dampak dari Covid-19 ini juga menghambat realisasi kegiatan operasional lainnya.
Selain itu, progress beberapa proyek hulu migas yang dijadwalkan onstream di tahun 2020 diprediksi melambat. Progres proyek pengembangan Lapangan Bukit Tua Phase 3 oleh PCK2L lebih rendah dari target karena rig terlambat masuk ke lokasi. Selain itu dampak Covid-19 juga dirasakan di proyek pemasangan kompresor Betung yang dilakukan Pertamina EP SF Aset 2.
Proyek yang seharusnya sudah selesai, baru mencapai 69,8% karena terkendala oleh FAT, transportasi dan instalasi kompresor karena sebagian sumber daya manusia yang dibutuhkan pada proyek tersebut merupakan warga Malaysia dan India yang saat ini lock down akibat Covid-19.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong mengatakan anjloknya harga minyak ini berdampak pengusaha migas. Mereka lebih berhati-hati dalam berivestasi di hulu.
"Saat ini terutama karena harga minyak yang sedang rendah maka pada umumnya perusahaan perusahaan sedang mempertimbangkan kembali rencana investasinya dengan hati-hati," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Sebelumnya, beberapa kontraktor migas mulai memagkas anggaran akibat dampak dari Covid-19 yang membuat harga minyak anjlok. Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Jamsaton Nababan mengatakan menyikapi anjloknya harga minyak skenario yang diambil yakni menurunkan anggaran biaya operasi (ABO) dan anggaran biaya investasi (ABI).
"ABO kita turunkan sampai 30% dari Rencana Anggaran Kerja Perusahaan (RKAP) 2020 dan ABI sekitar 14% dari original RKAP 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Hingga kini pihaknya masih terus melakukan diskusi terkait simulasi ini, dan diharapkan harga minyak bisa kembali naik. Skenario menurunkan ABO dan ABI dilakukan dengan asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 30 per barel.
"Sekarang pun sudah tetap kita lakukan pemotongan. Yang tadi US$ 30 per barrel itu hanya asumsi ICP dalam RKAP revisi nanti. Sudah ada perintah dari Dirut Pertamina (Persero) untuk melakukan pemotongan ABO 30% walaupun harga minyak di US$ 34 per barrel," paparnya.
Sementara, Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad mengatakan pihaknya masih membahas hal ini secara internal. Juga dengan partner-partner di Corridor Block dalam waktu dekat, baru kemudian akan dibahas bersama bersama dengan SKK Migas.
"Memang kedua hal tersebut (Covid-19 dan harga minyak anjlok) berdampak terhadap Work Program & Budget (WP&B). Berapa besarnya masih dihitung dan dibahas," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Direktur Utama Pertamina Nanang Abdul Manaf mengatakan dengan ICP US$ 30 per barel secara umum masih tetap bisa profit. Caranya dengan melakukan penyesuaian di beberapa program. "Seperti operating expenses (Opex) harus dipotong 10-20% dan capital expenditures (Capex) dipotong 20-30%," ungkapnya, Kamis, (02/04/2020).
Jika harga minyak di bawah US$ 30 per barel, maka pemangkasannya pun lebih besar. "Kalau di bawah US$ 30 capex dipotong 40-50% dan opex 20% masih bisa survive," imbuhnya.
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.
"Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks," jelasnya.
(gus) Next Article Tak Kuat, 14 Kontraktor Migas RI Minta Revisi Target Produksi
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengajukan force majeur ataupun penghentian kegiatannya di lapangan akibat Covid-19.
"Wabah Covid-19 ini harus dicermati hati-hati. Namun kita tidak harus menghentikan kegiatan dan wajib melakukan penangkalan," kata Dwi dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, progress beberapa proyek hulu migas yang dijadwalkan onstream di tahun 2020 diprediksi melambat. Progres proyek pengembangan Lapangan Bukit Tua Phase 3 oleh PCK2L lebih rendah dari target karena rig terlambat masuk ke lokasi. Selain itu dampak Covid-19 juga dirasakan di proyek pemasangan kompresor Betung yang dilakukan Pertamina EP SF Aset 2.
Proyek yang seharusnya sudah selesai, baru mencapai 69,8% karena terkendala oleh FAT, transportasi dan instalasi kompresor karena sebagian sumber daya manusia yang dibutuhkan pada proyek tersebut merupakan warga Malaysia dan India yang saat ini lock down akibat Covid-19.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong mengatakan anjloknya harga minyak ini berdampak pengusaha migas. Mereka lebih berhati-hati dalam berivestasi di hulu.
"Saat ini terutama karena harga minyak yang sedang rendah maka pada umumnya perusahaan perusahaan sedang mempertimbangkan kembali rencana investasinya dengan hati-hati," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Sebelumnya, beberapa kontraktor migas mulai memagkas anggaran akibat dampak dari Covid-19 yang membuat harga minyak anjlok. Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Jamsaton Nababan mengatakan menyikapi anjloknya harga minyak skenario yang diambil yakni menurunkan anggaran biaya operasi (ABO) dan anggaran biaya investasi (ABI).
"ABO kita turunkan sampai 30% dari Rencana Anggaran Kerja Perusahaan (RKAP) 2020 dan ABI sekitar 14% dari original RKAP 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Hingga kini pihaknya masih terus melakukan diskusi terkait simulasi ini, dan diharapkan harga minyak bisa kembali naik. Skenario menurunkan ABO dan ABI dilakukan dengan asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 30 per barel.
"Sekarang pun sudah tetap kita lakukan pemotongan. Yang tadi US$ 30 per barrel itu hanya asumsi ICP dalam RKAP revisi nanti. Sudah ada perintah dari Dirut Pertamina (Persero) untuk melakukan pemotongan ABO 30% walaupun harga minyak di US$ 34 per barrel," paparnya.
Sementara, Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad mengatakan pihaknya masih membahas hal ini secara internal. Juga dengan partner-partner di Corridor Block dalam waktu dekat, baru kemudian akan dibahas bersama bersama dengan SKK Migas.
"Memang kedua hal tersebut (Covid-19 dan harga minyak anjlok) berdampak terhadap Work Program & Budget (WP&B). Berapa besarnya masih dihitung dan dibahas," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis, (09/04/2020).
Direktur Utama Pertamina Nanang Abdul Manaf mengatakan dengan ICP US$ 30 per barel secara umum masih tetap bisa profit. Caranya dengan melakukan penyesuaian di beberapa program. "Seperti operating expenses (Opex) harus dipotong 10-20% dan capital expenditures (Capex) dipotong 20-30%," ungkapnya, Kamis, (02/04/2020).
Jika harga minyak di bawah US$ 30 per barel, maka pemangkasannya pun lebih besar. "Kalau di bawah US$ 30 capex dipotong 40-50% dan opex 20% masih bisa survive," imbuhnya.
Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan dampak terhadap lifting dalam jangka pendek belum terasa, karena operasi masih bejalan seperti biasa. Namun, dalam dua sampai tiga bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa.
Mulai ada perlambatan mobilitas, baik di dalam pergerakan orang maupun logistik. Kondisi ini dipastikan akan berdampak pada kegiatan operasional di hulu dan kemudian lifting. "Harga minyak yang rendah, cepat atau lambat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan melakukan penyesuaian di dalam budget dan expenses," jelasnya.
Di jangka pendek, imbuhnya, akan berdampak ke anggaran untuk kegiatan lifting. Lalu jangka menengah dan panjang berdampak ke investasi lain seperti eksplorasi, enhanced oil recovery (EOR), maupun projek-projek baru.
"Berapa kuantitatifnya? Saya kira semua sedang berupaya menghitungnya, sambil terus memantau perkembangan yang terjadi. Kalau hanya harga minyak yang turun, lebih mudah memperkirakannya, tetapi ini juga bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga memang lebih kompleks," jelasnya.
(gus) Next Article Tak Kuat, 14 Kontraktor Migas RI Minta Revisi Target Produksi
Most Popular