Dihajar Corona, Kapan Ekonomi Bisa Bangkit Berdiri?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
07 April 2020 14:55
Dihajar Corona, Kapan Ekonomi Bisa Bangkit Berdiri?
Foto: Calon penumpang mengantre di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (16/3/2020). Pagi ini banyak penumpang MRT yang terpaksa mengantre panjang imbas dari kebijakan pembatasan gerbong dan jam operasional dalam mencegah penyabaran virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Wabah virus corona yang kian merebak menjadi ancaman bagi perekonomian global. Seberapa dalam dampak dan seberapa cepat ekonomi pulih akan sangat tergantung dari upaya suatu negara merespons pandemi global ini.

Pertama kali ditemukan di Kota Wuhan (China), kini wabah corona telah menyebar ke berbagai negara di penjuru dunia. Jumlah kasus kumulatif infeksi corona secara global sudah menyentuh angka nyaris 1,35 juta per hari ini.

Pertumbuhan kasus secara yang signifikan di Amerika Serikat dan Zona Euro kini menjadikan keduanya sebagai episentrum penyebaran virus. AS, Spanyol, Italia, Jerman dan Perancis kini menduduki peringkat lima besar negara dengan kasus infeksi corona terbanyak di dunia menggeser China.

Total jumlah kasus kumulatif di lima negara tersebut mencapai angka 839.957 dari total 1.348.184 kasus secara global. Artinya kelima negara tersebut menyumbang 62,3% dari total kasus di seluruh dunia.



Dalam sebuah kajian yang dilakukan lembaga konsultan global McKinsey & Company, setidaknya ada dua karakteristik utama bagaimana setiap negara merespons wabah corona.

Ada yang gayanya mirip China dengan membatasi pergerakan orang dan melakukan karantina, ada juga yang mirip dengan Korea Selatan dengan melakukan tes secara masif dan agresif.

Kebanyakan negara-negara barat kini cenderung mengikuti langkah China menggunakan strategi lockdown. Perancis, Spanyol dan Italia menerapkan strategi lockdown nasional di negaranya. Selagi karantina dilakukan dan orang-orang dilarang keluar rumah, pemerintah juga melakukan tes deteksi yang masif.

Wabah corona merupakan fenomena di bidang kesehatan yang merembet ke perekonomian. Dampaknya bukan main-main. Pertumbuhan ekonomi jadi taruhannya. Krisis kesehatan yang kini terjadi telah membangkitkan ancaman resesi global.

Untuk melihat seberapa parah dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh wabah, seberapa cepat pemulihan terjadi hingga model kurva pemulihan, McKinsey membuat berbagai skenario.

Faktor yang mempengaruhi seberapa parah dampak dan seberapa cepat pulih terletak pada dua hal. Pertama adalah seberapa cepat dan luas virus merebak dan intervensi di sektor kesehatan serta seberapa efektif kebijakan ekonomi pemerintah.

Laju penyebaran virus yang tak terkendali karena kegagalan upaya pengendalian disertai dengan kebijakan ekonomi yang tidak efektif membuat dampak ekonomi yang terasa makin parah dan makin lama. Periode pemulihan pun tak akan terjadi dengan cepat.

Sumber : McKinsey & Company

Dengan adanya berbagai upaya yang terus dilakukan untuk melawan wabah, maka model kurva pemulihan yang terjadi akan berbentuk antara ‘V’ atau ‘U’. Kurva ‘V’ menunjukkan periode recovery yang lebih cepat ketimbang kurva ‘U’.

Namun dampak bagi setiap negara tentu akan berbeda-beda tergantung dari efektivitas penanganan wabah itu sendiri di sektor kesehatan maupun di sektor perekonomian tentunya.

Dengan sedikit keberuntungan, China akan mengalami pelambatan yang tajam namun singkat dan relatif cepat pulih ke tingkat aktivitas sebelum krisis. Sementara PDB diperkirakan akan turun tajam pada Q2 2020. Beberapa tanda geliat ekonomi mulai tampak di Beijing, Shanghai, dan sebagian besar kota besar di luar Hubei.

Dalam skenario ini, pertumbuhan PDB tahunan Tiongkok untuk tahun 2020 akan berakhir datar. Namun demikian, pada tahun 2021, ekonomi Tiongkok akan kembali jalur pertumbuhan ekonomi pra-krisis, jika tidak terpengaruh oleh perkembangan di seluruh dunia.

Dalam skenario ini, virus di Eropa dan Amerika Serikat akan dikontrol secara efektif dengan lockdown antara dua hingga tiga bulan. Kebijakan moneter dan fiskal akan mengurangi beberapa kerusakan ekonomi dengan beberapa penundaan dalam transmisi, sehingga rebound yang kuat dapat dimulai setelah virus benar-benar dapat dihentikan pada akhir Q2 2020. Hal ini akan membuat Eropa dan Amerika Serikat dalam skenario A3.



Bahkan dalam skenario optimis ini, semua negara akan mengalami penurunan PDB yang tajam di Q2. Pengeluaran untuk barang tahan lama termasuk mobil bisa turun hingga 50-70 %; pengeluaran untuk penerbangan dan transportasi maskapai bisa turun sekitar 70%; dan pengeluaran untuk layanan seperti restoran dapat menurun antara 50-90% .

Secara keseluruhan, pengeluaran diskresi konsumen dapat tiba-tiba turun hingga 50 persen terutama di daerah-daerah yang mengalami penutupan. Sementara peningkatan belanja pemerintah yang diharapkan meredam dampak ekonomi, tidak mungkin dapat mengimbangi dengan cepat dan sepenuhnya.

McKinsey memperkirakan bahwa AS dapat melihat penurunan PDB pada laju tahunan 25-30% pada Q2 2020; ekonomi utama di zona euro diperkirakan akan berubah dalam jumlah yang sama. Laju penurunan akan jauh melampaui resesi apa pun sejak Perang Dunia Kedua.


Tentu saja, sangat mungkin bahwa banyak negara tidak terlalu efektif dalam mengendalikan virus, atau dalam mengurangi kerusakan ekonomi yang dihasilkan dari upaya untuk mengendalikan penyebaran virus. Dalam hal ini, output ekonomi pada tahun 2020 dan seterusnya akan terdampak lebih parah.

Dalam skenario yang lebih pesimistis ini, Cina akan pulih lebih lambat dan mungkin akan menghadapi gelombang virus kedua. Ini tentu akan berdampak pada penurunan ekspor ke seluruh dunia. Ekonomi Negeri Tirai Bambu dapat menghadapi kontraksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Amerika Serikat dan Eropa juga bisa menghadapi hasil yang lebih mengerikan dalam skenario ini. Mereka bisa gagal dalam mengendalikan virus dalam sehingga terpaksa untuk menerapkan beberapa bentuk kebijakan seperti physical distancing dan karantina sepanjang musim panas.

Akibatnya penurunan PDB akan terjadi pada laju tahunan 35-40% pada Q2, dengan ekonomi utama di Eropa juga mencatatkan kinerja yang sama. Kebijakan ekonomi akan gagal untuk mencegah lonjakan besar dalam pengangguran dan kebangkrutan di sektor bisnis yang menyebabkan pemulihan terjadi jauh lebih lambat bahkan setelah virus berhasil dijinakkan.

Dalam skenario yang lebih gelap ini, perlu waktu lebih dari dua tahun sebelum PDB pulih ke tingkat pra-virusnya, menempatkan Eropa dan Amerika Serikat dalam skenario A1.



Ada banyak kemungkinan memang. Sekali lagi yang perlu ditekankan terkait seberapa parah hingga butuh berapa lama untuk recovery sangat tergantung dari efektivitas kebijakan yang diambil oleh pemerintah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular