
Pandemic Bond, Obligasi Kontroversial di Kala Bencana

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah merilis aturan setingkat Undang-Undang yang memungkinkan penerbitan Recovery Bond, yang dana hasil emisinya akan dipakai untuk oksigen tambahan bagi pelaku usaha mengatasi dampak krisis COVID-19.
Namun dalam konferensi pers kemarin, Kementerian Keuangan memilih menyebut nama surat utang ini menjadi: Pandemic Bond, sebuah instrumen keuangan milik Bank Dunia (World Bank) yang gagal. Bagaimana detilnya dan apa perbedaannya dengan Pandemic Bond Nusantara? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesa.
Saat ini perhatian dunia terfokus pada peningkatan jumlah pasien COVID-19, dampaknya terhadap perekonomian global, dan bagaimana negara-negara di seluruh dunia berlomba mengeluarkan stimulus untuk membebat infeksi wabah ini terhadap perekonomian.
Namun, tidak banyak yang tahu sejak dua tahun yang lalu Bank Dunia sudah menyiapkan instrumen untuk membantu negara miskin menangani wabah corona. Sejak Juni 2017, mereka menerbitkan Pandemic Emergency Financing (PEF) Facility, atau Pandemic Bond.
Dalam dokumen berjudul "Pandemic Emergency Financing Facility: Operational Brief for Eligible Countries" (2019), PEF adalah pembiayaan berbasis asuransi yang menyediakan pendanaan guna mencegah wabah berkembang menjadi pandemi, salah satunya wabah virus corona.
![]() |
"Nilai maksimum pembayaran per penyakit dibatasi sebesar US$ 275 juta untuk Flu pandemik, US$ 150 juta untuk Filovirus, US$ 195,83 juta untuk Coronavirus, dan US$ 75 juta untuk penyakit lain yang ditanggung (Rift Valley, demam Lassa, Crimean Congo)," demikian tulis dokumen itu.
Skemanya, mereka menerbitkan surat utang senilai US$ 330 juta pada Juni 2017 yang jatuh tempo 15 Juli 2020. Obligasi ini menawarkan kupon 6,5-11,1% di atas London Interbank Offered Rate (Libor) bagi investor. Dana pembayaran kupon berasal dari iuran 173 negara anggota International Development Association (IDA) dan donasi Jerman dan Jepang.
Total nilai manfaat yang bisa diakses adalah US$ 425 juta (Rp 7 triliun). Saat ini sebanyak 76 negara miskin memiliki akses untuk meraih pendanaan itu. Indonesia yang juga anggota IDA (unit organisasi di bawah Bank Dunia) sejak tahun 2008 sudah dinyatakan "lulus" dan tak boleh meminta pembiayaan fasilitas untuk negara miskin ini.
Namun dalam pandemi COVID-19, PEF gagal menjalankan fungsinya mencegah epidemi corona menjadi pandemi karena syarat yang terlampau ketat dan skema yang birokratis. Sebagai contoh, dana PEF baru bisa dikucurkan 12 pekan setelah wabah pecah. Padahal, COVID-19 cuma perlu 6 pekan untuk menyebar menginfeksi dunia sebagai pandemi.
Mengutip mantan penasihat ekonomi Bank Dunia Olga Jones, PEF hanya menguntungkan investor. Dana donasi yang seharusnya dipakai untuk peningkatan pengawasan, diagnosis, dan penanganan wabah di negara miskin justru terpakai bertahun-tahun untuk "men-service" investor global.
Giliran wabah terjadi, pengurusan dana hibah itu sangat sulit karena persyaratan yang rigid, diatur di dokumen setebal 386 halaman. "PEF telah gagal. Seharusnya diakhiri sedini mungkin dan dana IDA mestinya mengalir ke negara miskin, bukan ke investor," tulisnya dalam laman Nature.com.