Pandemic Bond, Obligasi Kontroversial di Kala Bencana

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
03 April 2020 06:29
Pandemic Bond, Obligasi Kontroversial di Kala Bencana

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah merilis aturan setingkat Undang-Undang yang memungkinkan penerbitan Recovery Bond, yang dana hasil emisinya akan dipakai untuk oksigen tambahan bagi pelaku usaha mengatasi dampak krisis COVID-19.

Namun dalam konferensi pers kemarin, Kementerian Keuangan memilih menyebut nama surat utang ini menjadi: Pandemic Bond, sebuah instrumen keuangan milik Bank Dunia (World Bank) yang gagal. Bagaimana detilnya dan apa perbedaannya dengan Pandemic Bond Nusantara? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesa.

Saat ini perhatian dunia terfokus pada peningkatan jumlah pasien COVID-19, dampaknya terhadap perekonomian global, dan bagaimana negara-negara di seluruh dunia berlomba mengeluarkan stimulus untuk membebat infeksi wabah ini terhadap perekonomian.

 

Namun, tidak banyak yang tahu sejak dua tahun yang lalu Bank Dunia sudah menyiapkan instrumen untuk membantu negara miskin menangani wabah corona. Sejak Juni 2017, mereka menerbitkan Pandemic Emergency Financing (PEF) Facility, atau Pandemic Bond.

Dalam dokumen berjudul "Pandemic Emergency Financing Facility: Operational Brief for Eligible Countries" (2019), PEF adalah pembiayaan berbasis asuransi yang menyediakan pendanaan guna mencegah wabah berkembang menjadi pandemi, salah satunya wabah virus corona.

 

Pandemic Bond, Obligasi Kontroversial di Kala BencanaSumber: Bank Dunia

"Nilai maksimum pembayaran per penyakit dibatasi sebesar US$ 275 juta untuk Flu pandemik, US$ 150 juta untuk Filovirus, US$ 195,83 juta untuk Coronavirus, dan US$ 75 juta untuk penyakit lain yang ditanggung (Rift Valley, demam Lassa, Crimean Congo)," demikian tulis dokumen itu.

Skemanya, mereka menerbitkan surat utang senilai US$ 330 juta pada Juni 2017 yang jatuh tempo 15 Juli 2020. Obligasi ini menawarkan kupon 6,5-11,1% di atas London Interbank Offered Rate (Libor) bagi investor. Dana pembayaran kupon berasal dari iuran 173 negara anggota International Development Association (IDA) dan donasi Jerman dan Jepang.

Total nilai manfaat yang bisa diakses adalah US$ 425 juta (Rp 7 triliun). Saat ini sebanyak 76 negara miskin memiliki akses untuk meraih pendanaan itu. Indonesia yang juga anggota IDA (unit organisasi di bawah Bank Dunia) sejak tahun 2008 sudah dinyatakan "lulus" dan tak boleh meminta pembiayaan fasilitas untuk negara miskin ini.

Namun dalam pandemi COVID-19, PEF gagal menjalankan fungsinya mencegah epidemi corona menjadi pandemi karena syarat yang terlampau ketat dan skema yang birokratis. Sebagai contoh, dana PEF baru bisa dikucurkan 12 pekan setelah wabah pecah. Padahal, COVID-19 cuma perlu 6 pekan untuk menyebar menginfeksi dunia sebagai pandemi.

Mengutip mantan penasihat ekonomi Bank Dunia Olga Jones, PEF hanya menguntungkan investor. Dana donasi yang seharusnya dipakai untuk peningkatan pengawasan, diagnosis, dan penanganan wabah di negara miskin justru terpakai bertahun-tahun untuk "men-service" investor global.

Giliran wabah terjadi, pengurusan dana hibah itu sangat sulit karena persyaratan yang rigid, diatur di dokumen setebal 386 halaman. "PEF telah gagal. Seharusnya diakhiri sedini mungkin dan dana IDA mestinya mengalir ke negara miskin, bukan ke investor," tulisnya dalam laman Nature.com.



[Gambas:Video CNBC]



Meski Menkeu memilih nama yang sama seperti obligasi kontroversial milik Bank Dunia tersebut di atas, ada perbedaan yang mendasar di Pandemic Bond versi “Nusantara”, yakni pada konsep dan skema pembiayaan. 

Obligasi pemerintah ini pada dasarnya adalah Recovery Bond, yang hasil emisinya dipakai untuk menstimulasi dunia usaha. Hal in termaktub di Pasal 2 (f) Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2020 yang baru dirilis. Kontroversinya sejauh ini hanya sebatas pada perluasan kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk membelinya di pasar primer.

Mengutip penjelasan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, Recovery Bond akan berbentuk surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang dibeli oleh BI dan pihak swasta lain, seperti importir, eksportir, dan investor.

"Dana hasil penjualan surat utang ini, dipegang oleh pemerintah lalu disalurkan ke seluruh dunia usaha dalam bentuk kredit khusus, untuk bangkitkan dunia usaha," jelas Susiwijono dalam konferensi pers, Kamis (26/3/2020).

Ini berbeda dari obligasi milik Bank Dunia yang dananya dipakai untuk membiayai program penanggulangan wabah, dan bukan pada program penanganan dampak ekonominya. Skema pembiayaannya juga berbeda, karena berbentuk surat utang konvensional. Ini berbeda dari PEF Bank Dunia yang merupakan obligasi katastropik (Cat bonds) untuk bencana biologis.

Jika pemerintah jadi menerbitkan Pandemic Bond, ini bakal menjadi Recovery Bond pertama di Asia. Dalam sejarahnya, obligasi ini pertama kali dirilis di Amerika Serikat (AS) pada era New Deal (1936), untuk memulihkan AS dari Depreasi Besar. Terbaru, mereka menerbitkan Recovery Bond untuk mendanai rekonstruksi pasca-bencana badai Katrina tahun 2005.

Australia juga pernah berencana menerbitkan Recovery Bond pada 1984 untuk mempercepat pertumbuhan industri perbankan. Namun, rencana itu batal karena pemerintah lebih memilih rekomendasi Kamar Dagang Australia untuk melakukan deregulasi perbankan dan moneter.

Irlandia pada 2009 sempat mewacanakan emisi Recovery Bond untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun rencana itu kandas dan diganti suntikan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) senilai 85 miliar euro. Sebagai gantinya, Irlandia dipaksa menjalankan program austerity berupa pemangkasan belanja pemerintah dan kenaikan pajak.

Uni Eropa juga sempat menjajaki Recovery Bonds yang akan diterbitkan melalui European Investment Fund pada tahun 2010 untuk mengatasi efek krisis Subrime Mortgage Loan di kawasan tersebut. Namun, negara zona Euro tersebut hingga kini belum sepakat mengenai detil kovenan surat utang yang diberi ama Euro-Bonds itu.

Di Indonesia Pandemic Bond atau Recovery Bond (R-Bond) juga bakal menunggu kesepakatan dengan BI terkait dengan aspek teknis pembelian, kovenan, dll. Demi melihat tujuannya yang bersifat non-komersial, menarik untuk diketahui sekomersial apa kupon atau bunganya.

Jangan sampai Pandemic Bond Indonesia cenderung “men-service” investor dengan bunga tinggi tetapi penyaluran dananya justru tidak seperti yang diharapkan. Jika itu yang terjadi, Pandemic Bond Indonesia bakal sama kontroversialnya dengan Pandemic Bond milik Bank Dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular