
Sri Mulyani Mau Tunda Tarik Pajak, Kas Negara Tekor Berapa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 13:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyebaran virus corona adalah sebuah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun virus ini juga menyebabkan dampak ekonomi yang tidak sedikit.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Selasa (10/3/2020) pukul 11:53 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia tercatat 114.219. Korban jiwa sudah lebih dari 4.000 orang, tepatnya 4.024 orang.
Penyebaran di China, asal-muasal virus corona, semakin menurun. Kemarin, kasus baru yang terkonfirmasi di Negeri Tirai Bambu adalah 19. Sementara rasio pasien yang sembuh meningkat menjadi 74,2%.
Namun di luar China yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin banyak negara yang melaporkan kasus corona. Kemarin, ada 3.498 kasus baru di luar Negeri Panda, tertinggi di Italia yaitu 1.807 kasus. Kini kasus corona di Negeri Pizza mencapai 9.172, tertinggi di luar China.
Demi mencegah penyevarab virus lebih lanjut, pemerintah di berbagai negara sudah mengimbau warga untuk membatasi aktivitas sosial. Di Italia, pemerintah mengimbau warga untuk tetap di rumah kalau tidak bekerja atau ada urusan yang mendesak. Warga juga diminta menjaga jarak sosial, bahkan kursi di restoran tidak boleh lagi berdekatan, minimal ada jarak satu meter.
Italia, negeri indah bertabur bangunan megah dari masa lampau yang biasa dibanjiri turis dari berbagai penjuru bumi, kini sepi. Ketakutan akibat virus corona membuat sektor pariwisata Italia terpukul, padahal sektor ini menyumbang sekitar 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Masalahnya, situasi ini tidak cuma terjadi di Italia. Bukan juga cuma sektor pariwisata yang terpukul, tetapi juga manufaktur karena pabrik-pabrik banyak yang ditutup untuk mencegah penularan virus di antara pekerja.
Salah satunya adalah yang menimpa Boeing, raksasa industri aviasi dunia asal Amerika Serikat (AS). Seorang pekerja di pabrik Washington positif mengidap virus corona.
"Sebagai langkah pencegahan, kami meminta mereka yang bekerja bersama sang pasien untuk tetap di rumah dan melakukan karantina swadaya (self-quarantine)," sebut keterangan tertulis Boeing.
Gangguan-gangguan semacam ini dialami oleh banyak di sektor industri di banyak negara. Jika diakumulasikan, maka hasilnya adalah perlambatan ekonomi global. Bahkan risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.
Agar perlambatan ekonomi tidak terlalu parah dan resesi bisa dihindari, otoritas fiskal di berbagai negara sudah dan akan menggelontorkan stimulus. Pemerintah Thailand berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai THB 100 miilar.
Stimulus yang diberikan beragam. Pertama adalah penyikapan fiskal untuk membuat suku bunga kredit korporasi murah di 2%. Termasuk pemberian perpanjangan waktu pembayaran kredit.
Kedua adalah memberikan bantuan tunai kepada sebesar THB 2.000 kepada masyarakat miskin. Ketiga, pemerintah akan memberikan insentif pajak bagi investasi portofolio yang bertahan lama. Keempat, akan ada paket bantuan bagi maskapai penerbangan.
"Kebijakan ini hanya bersifat sementara untuk membantu kelompok-kelompok tertentu," kata Uttama Savanayana, Menteri Keuangan Thailand, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara di Malaysia, pemerintah tengah menyiapkan stimulus bagi industri penerbangan, ritel, dan pariwisata. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat ketahanan ekonomi domestik di tengah ancaman dari luar yaitu virus corona.
"Fokus kami adalah mendorong permintaan domestik dan pariwisata untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi," sebut keterangan tertulis siaran resmi Kementerian Perekonomian Malaysia.
Lalu di Singapura, pemerintah menganggarkan dana SG$ 4,5 miliar untuk penanganan dampak ekonomi dari virus corona. Ini menyebabkan defisit fiskal Singapura membengkak.
"Penyebaran virus corona pasti akan mempengaruhi perekonomian kami. Oleh karena itu, kami akan mengerahkan seluruh upaya untuk menekan penyebaran virus," tegas Heng Swee Keat, Menteri Keuangan Singapura, sebagaimana diwartakan Reuters.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal berupa subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.
Kemudian, ada pula rencana stimulus tahap dua berupa insentif pajak. Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah menunda penarikan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan 25.
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Contohnya adalah pajak yang dibayarkan oleh karyawan.
Sementara PPh Pasal 25 pajak yang dibayar secara angsuran. Pembayaran harus dilakukan sendiri, tidak bisa diwakilkan.
Apabila pemerintah memutuskan untuk tidak memungut PPh Pasal 21 dan 25, maka penerimaan negara akan berkurang. Pada 2019, PPh Pasal 21 menyumbang Rp 148,63 triliun ke kas negara. Sementara penerimaan dari PPh Pasal 25 (dan 29) adalah Rp 267,97 triliun.
Selama 2010-2019, rata-rata pertumbuhan penerimaan PPH 21 adalah 11,24%. Sementara pertumbuhan PPH 25 (dan 29) adalah 8,78%.
Kita asumsikan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh 25 pada 2020 tumbuh di angka itu. Artinya, perkiraan penerimaan PPh tahun ini adalah Rp 165,34 triliun. Sedangkan proyeksi penerimaan PPh Pasal 25 (dan 29) adalah Rp 282,72 triliun.
Untungnya pemerintah (katanya) hanya akan memberlakukan pembebasan PPh Pasal 21 dan 25 selama beberapa bulan. Kalau setahun penuh pada 2020, kira-kira angka di atas adalah gambaran kekurangan penerimaan negara. Lumayan besar.
Saat penerimaan berkurang sementara belanja bertambah untuk kebutuhan stimulus, defisit anggaran pasti membengkak. Pemerintah memperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai 2,2-2,5% terhadap PDB. Saat ini target defisit anggaran adalah 1,76% PDB.
Dalam situasi yang tidak biasa, pemerintah tidak boleh bertindak biasa saja. Harus ada terobosan, extra effort, untuk meningkatkan permintaan domestik. Walau itu harus dibayar dengan defisit anggaran yang semakin dalam.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Selasa (10/3/2020) pukul 11:53 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia tercatat 114.219. Korban jiwa sudah lebih dari 4.000 orang, tepatnya 4.024 orang.
Penyebaran di China, asal-muasal virus corona, semakin menurun. Kemarin, kasus baru yang terkonfirmasi di Negeri Tirai Bambu adalah 19. Sementara rasio pasien yang sembuh meningkat menjadi 74,2%.
Demi mencegah penyevarab virus lebih lanjut, pemerintah di berbagai negara sudah mengimbau warga untuk membatasi aktivitas sosial. Di Italia, pemerintah mengimbau warga untuk tetap di rumah kalau tidak bekerja atau ada urusan yang mendesak. Warga juga diminta menjaga jarak sosial, bahkan kursi di restoran tidak boleh lagi berdekatan, minimal ada jarak satu meter.
Italia, negeri indah bertabur bangunan megah dari masa lampau yang biasa dibanjiri turis dari berbagai penjuru bumi, kini sepi. Ketakutan akibat virus corona membuat sektor pariwisata Italia terpukul, padahal sektor ini menyumbang sekitar 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Masalahnya, situasi ini tidak cuma terjadi di Italia. Bukan juga cuma sektor pariwisata yang terpukul, tetapi juga manufaktur karena pabrik-pabrik banyak yang ditutup untuk mencegah penularan virus di antara pekerja.
Salah satunya adalah yang menimpa Boeing, raksasa industri aviasi dunia asal Amerika Serikat (AS). Seorang pekerja di pabrik Washington positif mengidap virus corona.
"Sebagai langkah pencegahan, kami meminta mereka yang bekerja bersama sang pasien untuk tetap di rumah dan melakukan karantina swadaya (self-quarantine)," sebut keterangan tertulis Boeing.
Gangguan-gangguan semacam ini dialami oleh banyak di sektor industri di banyak negara. Jika diakumulasikan, maka hasilnya adalah perlambatan ekonomi global. Bahkan risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.
Agar perlambatan ekonomi tidak terlalu parah dan resesi bisa dihindari, otoritas fiskal di berbagai negara sudah dan akan menggelontorkan stimulus. Pemerintah Thailand berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai THB 100 miilar.
Stimulus yang diberikan beragam. Pertama adalah penyikapan fiskal untuk membuat suku bunga kredit korporasi murah di 2%. Termasuk pemberian perpanjangan waktu pembayaran kredit.
Kedua adalah memberikan bantuan tunai kepada sebesar THB 2.000 kepada masyarakat miskin. Ketiga, pemerintah akan memberikan insentif pajak bagi investasi portofolio yang bertahan lama. Keempat, akan ada paket bantuan bagi maskapai penerbangan.
"Kebijakan ini hanya bersifat sementara untuk membantu kelompok-kelompok tertentu," kata Uttama Savanayana, Menteri Keuangan Thailand, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara di Malaysia, pemerintah tengah menyiapkan stimulus bagi industri penerbangan, ritel, dan pariwisata. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat ketahanan ekonomi domestik di tengah ancaman dari luar yaitu virus corona.
"Fokus kami adalah mendorong permintaan domestik dan pariwisata untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi," sebut keterangan tertulis siaran resmi Kementerian Perekonomian Malaysia.
Lalu di Singapura, pemerintah menganggarkan dana SG$ 4,5 miliar untuk penanganan dampak ekonomi dari virus corona. Ini menyebabkan defisit fiskal Singapura membengkak.
"Penyebaran virus corona pasti akan mempengaruhi perekonomian kami. Oleh karena itu, kami akan mengerahkan seluruh upaya untuk menekan penyebaran virus," tegas Heng Swee Keat, Menteri Keuangan Singapura, sebagaimana diwartakan Reuters.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal berupa subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.
Kemudian, ada pula rencana stimulus tahap dua berupa insentif pajak. Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah menunda penarikan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan 25.
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Contohnya adalah pajak yang dibayarkan oleh karyawan.
Sementara PPh Pasal 25 pajak yang dibayar secara angsuran. Pembayaran harus dilakukan sendiri, tidak bisa diwakilkan.
Apabila pemerintah memutuskan untuk tidak memungut PPh Pasal 21 dan 25, maka penerimaan negara akan berkurang. Pada 2019, PPh Pasal 21 menyumbang Rp 148,63 triliun ke kas negara. Sementara penerimaan dari PPh Pasal 25 (dan 29) adalah Rp 267,97 triliun.
Selama 2010-2019, rata-rata pertumbuhan penerimaan PPH 21 adalah 11,24%. Sementara pertumbuhan PPH 25 (dan 29) adalah 8,78%.
Kita asumsikan penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh 25 pada 2020 tumbuh di angka itu. Artinya, perkiraan penerimaan PPh tahun ini adalah Rp 165,34 triliun. Sedangkan proyeksi penerimaan PPh Pasal 25 (dan 29) adalah Rp 282,72 triliun.
Untungnya pemerintah (katanya) hanya akan memberlakukan pembebasan PPh Pasal 21 dan 25 selama beberapa bulan. Kalau setahun penuh pada 2020, kira-kira angka di atas adalah gambaran kekurangan penerimaan negara. Lumayan besar.
Saat penerimaan berkurang sementara belanja bertambah untuk kebutuhan stimulus, defisit anggaran pasti membengkak. Pemerintah memperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai 2,2-2,5% terhadap PDB. Saat ini target defisit anggaran adalah 1,76% PDB.
Dalam situasi yang tidak biasa, pemerintah tidak boleh bertindak biasa saja. Harus ada terobosan, extra effort, untuk meningkatkan permintaan domestik. Walau itu harus dibayar dengan defisit anggaran yang semakin dalam.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular